
“Harga masker melonjak tajam, hand sanitizer susah didapatkan,” begitu berita di media online. Virus corona atau dikenal dengan nama covid-19 membuat seisi dunia heboh. Virus ini diduga berasal dari kelelawar, dan virus ini bermula dari Kota Wuhan, China kini jadi pembicaraan dunia.
Semua heboh membicarakan soal corona. Pekerja kantor ngomong soal corona, ibu-ibu membicarakan hal yang sama, di warung, di tukang sayur keliling, sampai di sekolah ketika menunggu anak pulang. Info hoax pun menyebar di medsos sehingga menimbulkan kepanikan.
Anjuran menggunakan masker dan membersihkan tangan adalah dua cara praktis mencegah kita tertular virus ini. Ada orang baik hati yang membagikan info benar yang menenangkan tapi ada pula orang jahat yang membagikan hoax yang membuat orang-orang jadi panik.
Kepanikan semakin menjadi saat dua warga Depok positif corona. Harga masker melonjak tajam, semula sekotak masker isi 50 harganya Rp 20.000 – Rp 25.000, sekarang dijual hingga Rp 500.000!
“Pak, kalau mau beli masker dengan harga normal di mana ya?” tanya driver ojol.
“Coba Bapak tanya ke toko obat?” jawab penumpang. “Maaf Pak, saya bukan asli sini. Kemarin saya baru tiba dari Jakarta. Ada tugas kantor,” jelas si penumpang.
“Oh … maaf, saya kira Bapak asli sini,” kata driver.
“Di sini sulit mendapatkan masker?” penumpang balik tanya.
“Iya Pak. Akhir-akhir ini memang agak sulit mendapatkan masker. Kalaupun ada, harganya mahal. Sejak virus corona menyebar, apalagi sekarang sudah ada warga Indonesia yang kena virus ini. Nah … hari ini lebih parah lagi, Gunung Merapi meletus,” kata driver.
Kemudian driver melanjutkan, “Kalau cuma virus corona, saya tidak begitu takut Pak. Di sini ‘kan jauh dari Depok? Tapi kalau abu Gunung Merapi, Bapak lihat sendiri. Debunya tebal. Saya terpaksa narik karena butuh uang Pak, jadi saya akalin saja. Saya pakai sapu tangan dan saya lapisi handuk tipis, saya ikat, kemudian kaca helm saya tutup,” jelasnya panjang lebar. “Malah ada teman yang nekat pakai masker yang dibuat dari pantyliner, Lebih murah daripada harus beli masker dengan harga gila. Istrinya yang buatkan masker dari pantyliner,” kata driver sambil terus tertawa.
“Pak, saya ada beberapa masker, nanti saya bagikan ke Bapak,” kata penumpang.
“Waduh … terima kasih banyak Pak,” jawab driver dengan gembira. “Ongkosnya tidak usah bayar Pak. Saya ikhlas Pak,” jawab driver. “Saya sudah tanya beberapa toko, tapi tidak ada stok. Kalaupun ada yang jual, harganya selangit Pak. Saya tidak jadi beli. Saya dapat uang dari ngojek nggak seberapa, kalau saya beli masker harga segitu, lebih baik saya nggak narik,” jelas driver.
“Saya tetap bayar Pak, saya memang punya stok masker dan tidak semua terpakai,” lanjut penumpang.
“Sekali lagi, terima kasih banyak Pak,” kata driver.
“Sama-sama …” jawab penumpang.
Raka menelepon rekannya. “Bro, bisa bantu saya nggak?”
“Apa yang bisa saya bantu Boss?” jawab Gandhi.
“Bisa bantu saya dapatkan satu box masker? Saya mau danakan kepada driver ojol. Mereka seharian di jalan, mereka butuh masker.”
“Oke, Boss saya coba bantu pesankan,” kata Gandhi.
Beberapa saat kemudian, Raka sudah mendapatkan nama toko dan alamat lengkapnya. Harganya Rp 360.000 per box. Raka segera meluncur ke sana.
Toko itu tampak dipadati banyak pembeli. Raka berjalan mendekat, Raka tak ingin segera dilayani, ia ingin melihat dan mencari tau dulu apakah benar cerita driver kemarin.
“Saya sudah cari ke mana-mana, masker sudah tidak ada. Tinggal di sini yang ada,” kata seorang ibu.
“Iya, saya juga minta anak pesankan online, harganya juga sama mahalnya, belum lagi harus tambah ongkir dan harus menunggu pengiriman dari Jakarta,” kata ibu lain.
“Bu, bisa beli eceran?” tanya seorang Bapak.
“Nggak jual eceran Pak,”kata pemilik toko.
“Harganya turunkan sedikit Bu, uang saya dan teman-teman tidak cukup untuk beli satu kotak,” kata Bapak itu lagi.
“Harganya sudah tidak kurang lagi Pak. Kesehatan dan nyawa jauh lebih penting Pak, jangan sayang uang. Bapak mau? Kalau tidak mau, orang lain juga perlu,” kata pemilik toko.
“Bu, saya mau ambil pesanan. Tadi Pak Gandhi sudah pesankan, saya tinggal bayar dan ambil satu box masker,” kata Raka.
“Aduh maaf Pak, tadi saya salah lihat. Masker lama sudah habis, ini ada stok baru. Kami beli dengan harga baru, jadi harganya Rp 500.000 per box. Bapak mau?” tanya pemilik toko.
Raka menghela napas panjang. Kalau menuruti emosi, ia sudah ingin ngamuk atau batal saja beli satu box masker. Tapi ia teringat niatnya ingin berdana satu box masker. “Iya, saya ambil satu box,” kata Raka sambil menyerahkan uang Rp 500.000
Raka sudah berada di dalam pesawat terbang, dalam perjalanan pulang ke Jakarta. Dua hari lalu ia sudah menyerahkan satu box masker kepada Pardi, nama driver yang mengantarnya dan terlibat percakapan panjang soal mahalnya masker. Raka sengaja mendatangi tempat mangkalnya agar bisa bertemu langsung dengan Pardi dan menyerahkan masker untuk dibagikan kepada rekannya sesama driver ojol.
Para driver berkali-kali mengucapkan banyak terima kasih dan membungkuk hormat. Sampai Raka akan meninggalkan pangkalan ojol, Raka masih mendengar ucapan terima kasih.
Ada rasa bahagia bisa ikut meringankan beban driver ojol, tapi di sisi lain, ada rasa miris menyadari ada orang yang menggunakan momen bencana untuk mengambil keuntungan besar buat diri sendiri. Menari di atas penderitaan orang lain.
Raka membuka koran dan mulai membaca. Ketika membaca berita, matanya tertuju pada foto yang melengkapi berita itu. Raka mengenali foto itu. Itu foto toko tempat ia membeli masker. Dilihatnya judul berita, “Suami Istri Tewas di Kamar, Diduga Keracunan Asap Genset.”
Raka membaca beritanya: Sepasang suami istri ditemukan tewas di kamar mereka. Sementara dua putri mereka selamat karena sedang menginap di rumah neneknya. Dugaan sementara mereka tewas karena mengisap asap genset yang mereka nyalakan semalam. Tadi malam sebagian kota gelap karena listrik padam akibat ada gardu PLN yang tersambar petir.
Kemungkinan mereka tewas akibat asap genset. Saat ditemukan, genset masih menyala ….
Raka tak melanjutkan berita yang dibacanya, matanya memandang ke luar jendela, melihat awan dan matanya berkaca-kaca.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara