Minggu lalu, sewaktu menyaksikan sebuah tayangan televisi, seorang pemuka agama sempat menyampaikan satu pernyataan yang unik. Bahwa dalam ajaran agama yang dianutnya, utang yang tidak dibayar dikategorikan sebagai perbuatan mencuri.
Segera saja rasa penasaran saya “terpancing”. Sebab, utang-piutang ialah persoalan yang lumrah terjadi di masyarakat. Persoalan itu bisa terjadi pada setiap individu, keluarga, organisasi, perusahaan, atau bahkan negara. Makanya, jangan heran kalau mayoritas masyarakat pasti pernah “bersentuhan” dengan soal utang-piutang, setidaknya beberapa kali dalam hidupnya.
Lantas, saya jadi bertanya-tanya. Apakah dalam Buddhadharma, ada sebuah sutta yang membahas secara spesifik soal utang-piutang? Pertanyaan itu akhirnya mengantar saya untuk “membongkar” file-file di komputer yang memuat ajaran Buddha. Hasil? Saya belum menemukan satu sutta yang secara spesifik memaparkan persoalan tersebut.
Saya hanya mendapat beberapa informasi yang menyinggung hal itu di beberapa cerita di dalam sutta. Sebut saja “wejangan” ayahanda Visakha, Dhananjaya, tentang sepuluh hal yang wajib dijalankan Visakha dalam menjalani kehidupan rumah tangga.
Baca juga: Meringankan Penderitaan
Seperti dikisahkan di dalam sutta, pada saat itu, Visakha akan melewati satu momen penting dalam hidupnya, yaitu pernikahan. Ia telah dijodohkan dengan seorang pria bernama Punnavaddhana. Punnavaddhana berasal dari keluarga yang kaya raya dan terpandang. Ia punya kedudukan yang setara dengan Visakha dalam ekonomi dan sosial. Makanya, perjodohan mereka terasa pas dan direstui oleh kedua keluarga.
Jelang pernikahannya, ayahanda Visakha datang menemuinya. Ayahandanya kemudian menyebutkan sepuluh poin yang harus dipegang teguh oleh Visakkha dalam menjalani bahtera rumah tangga bersama suaminya.
“Putriku, seorang istri yang melayani suaminya dengan penuh kesetiaan harus mengetahui prinsip-prinsip ini dan mempraktikkannya dengan benar.
1. Tidak boleh membawa keluar api dari dalam rumah
2. Tidak boleh membawa masuk api dari luar rumah
3. Hanya meminjamkan kepada mereka yang mengembalikan apa yang mereka pinjam
4. Tidak meminjamkan kepada mereka yang tidak mengembalikan apa yang mereka pinjam
5. Harus memberi kepada mereka tanpa memedulikan apakah mereka memberikan kepadamu atau tidak
6. Duduk dengan tertib
7. Makan dengan tertib
8. Tidur dengan tertib
9. Mengurus api dengan hormat
10. Menyembah para dewa rumah
Di antara sepuluh poin di atas, dua poin secara khusus menyinggung soal utang-piutang. Bahwa dalam penghidupannya, Visakha tidak boleh memberi utang kepada orang yang tidak sanggup melunasinya, dan ia hanya boleh meminjamkan uang kepada mereka yang mampu saja. Sebagai anak yang berbakti, Visakha kemudian menjalankan semua amanah tersebut dengan sebaik-baiknya.
Hanya itu “sekelumit” informasi tentang utang-piutang yang saya peroleh di dalam sutta. Makanya, lantaran keterbatasan informasi, sampai sekarang, saya belum menemukan satu sutta yang secara khusus menguraikan persoalan utang-piutang.
Namun demikian, ada pertanyaan lain yang juga “mengganjal” pikiran saya. Apakah perbuatan tidak bayar utang termasuk sebagai tindakan mencuri, seperti pandangan agama lain? Pertanyaan itu agak sulit dijawab. Sebab, kita perlu menganalisisnya lebih jauh.
Sila
Dalam Buddhadharma, perbuatan mencuri merupakan pelanggaran sila kedua. Adinnadana Veramani Sikkhapadam Samadiyami. Aku bertekad melatih diri menghindari mengambil barang yang tidak diberikan.
Kata adinnadana diterjemahkan “mengambil barang yang tidak diberikan”. Makanya, perbuatan demikian memiliki persamaan makna dengan tindakan mencuri, merampok, menjambret, dan merampas. Singkatnya, kalau kita mengambil barang yang tidak diberikan oleh orang lain secara paksa, perbuatan demikian bisa disebut sebagai pelanggaran sila kedua.
Berdasarkan konsep demikian, perbuatan tidak bayar utang tentu tidak bisa digolongkan pelanggaran sila tersebut. Sebab, dalam prosesnya, peminjam dan pemberi pinjaman sudah membuat kesepakatan. Pemberi pinjaman secara sadar menyerahkan pinjaman kepada peminjam dengan suatu ketentuan, dan peminjam pun diwajibkan melaksanakan ketentuan yang sudah disepakati.
Makanya, kalau si peminjam gagal melaksanakan kewajiban untuk melunasi utangnya, ia tak melanggar sila kedua. Lebih tepat, ia melanggar sila keempat, yang menyangkut ucapan tidak benar. Sebab, ia tidak menepati janji yang diucapkannya sebelumnya.
Akan tetapi, timbul satu pertanyaan lain. Andaikan si peminjam utang sejak awal tidak berniat melunasi utangnya, apakah perbuatan itu termasuk pelanggaran sila kedua? Pertanyaan itu lebih sulit lagi dijawab. Sebab, ia berada di tataran mental.
Baca juga: Dharma dan Adharma
Biarpun sudah pasti melanggar sila keempat karena si peminjam memberi “janji palsu” akan melunasi utangnya, saya masih ragu apakah perbuatan tersebut juga melanggar sila kedua, dan dikategorikan sebagai pencurian. Makanya, persoalan tersebut perlu dikaji lebih jauh.
Walaupun sulit dipisahkan dalam ekonomi masyarakat, sebagai umat Buddha, kita harus belajar menangani soal utang-piutang dengan sebaik-baiknya. Jangan sampai hidup kita menjadi sulit lantaran kurang terampil mengelola utang-piutang, sehingga kita berpotensi melakukan pelanggaran sila.
Syukur-syukur kita mempunyai sedikit, atau bahkan tidak punya utang sama sekali. Sebab, sebagaimana sabda Buddha, satu kebahagiaan yang dirasakan para perumahtangga ialah bisa hidup bebas dari jeratan utang.
Salam.
Adica Wirawan
Seorang yang suka menulis
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara