“Pa, kenapa kalau ada yang ngomong sesuatu dan banyak yang setuju, hal itu seolah sudah pasti benar?” tanya Revata, anak bungsu penulis.
“Ya, memang hal demikianlah yang sering terjadi,” jawab penulis. “Memang umumnya yang diyakini orang banyak atau mayoritas, biasanya benar. Tapi harus diingat, tidak selamanya pendapat orang banyak, otomatis menjadikan hal itu pasti benar. Itu tergantung beberapa hal, misalnya siapa saja orang banyak itu dan bagaimana kondisinya,” lanjut penulis.
“Contohnya bagaimana?” Revata penasaran.
“Waktu Papa kerja dulu, satu ruangan ada 6 karyawan. Ada satu karyawan yang suka iseng. Ia suka sekali menggoda salah seorang karyawati yang sudah berumur, belum menikah, dan memang sangat cerewet dengan cara memancingnya untuk berkomentar,” penulis berhenti sejenak.
“Saat suasana kantor sepi, karyawan ini nyeletuk, semalam saya dengar Ruth Sahanaya nyanyi di TV. Keren sekali Ruth Sahanaya menyanyikan lagu ‘Hati yang Luka’, suaranya bagus, aksi panggungnya juga keren. Kontan saja sang karyawati terpancing dan langsung protes. Asal ngomong saja, semalam saya juga nonton TV. Yang nyanyi lagu ‘Hati yang Luka’ itu Betharia Sonata, protes sang karyawati. Biasanya debat ini tambah rame karena karyawan lain ikutan jahil. Semua membenarkan kata karyawan tadi dengan gaya yang sangat meyakinkan. Sampai akhirnya sang karyawati pun mulai bimbang. Ia yang benar atau ia yang keliru,” penulis mengakhiri cerita.
“Semula kita yakin tentang suatu hal, tapi jika orang di sekeliling kita mengatakan hal sebaliknya dengan sangat meyakinkan, kadang kita bisa jadi bimbang. Saya benar atau saya salah. Jika hal itu tentang fakta seperti nama penyanyi dalam kasus tadi, sekarang kita bisa googling, untuk mencari tau kebenarannya,” penulis menambahkan.
Revata mengangguk tanda setuju.
Bermotor vs tinju
Bicara soal apa yang dipercaya mayoritas sering dianggap sebagai suatu kebenaran, penulis langsung teringat pada kelirumologi yang digagas Jaya Suprana.
Apa itu kelirumologi? Menurut penggagasnya, Dr. Jaya Suprana, kelirumologi diartikan ilmu atau boleh juga dibilang semangat mempelajari segala sesuatu yang telah dianggap benar oleh masyarakat, padahal sebenarnya keliru.
Contoh yang paling sering penulis paparkan tentang kelirumologi adalah mengenai “samurai” (kiriman seorang pembaca yang dimuat di buku Kaleidoskopi Kelirumologi karya Dr. Jaya Suprana).
Apa yang terlintas di benak Anda saat mendengar kata “samurai”? Penulis yakin, sebagian besar akan mengatakan “pedang khas Jepang.” Kalau Anda juga berpandangan demikian, inilah salah satu contoh kekeliruan massal.
Baca juga: Gender Sebenarnya Dibentuk oleh Keluarga, Bukan Karena Kodrat
Kita sudah telanjur menganggap “samurai” sebagai “pedang khas Jepang.” Padahal yang benar, “samurai” adalah pendekar Jepang, sedangkan pedangnya yang selama ini kita yakini sebagai “samurai” sebenarnya bernama “katana”!
Satu contoh lagi tentang kelirumologi adalah pemakaian helm.
Anda mengendarai motor di jalan raya tanpa helm, Anda akan ditilang. Padahal, Anda belum tentu mengalami kecelakaan yang akan mengakibatkan kepala kita terbentur.
Anda tentu pernah menyaksikan pertandingan tinju profesional di televisi. Apakah petinjunya memakai helm? Tidak! Faktanya, dalam 1 ronde yang lamanya 3 menit, berapa kali kepala petinju terkena pukulan dari lawannya? Sekali bertanding, berapa kali kepala petinju terkena pukulan dari lawannya? Kok petinju profesional tidak diwajibkan memakai helm?
Kita tidak pernah protes akan hal ini. Mengendarai motor wajib pakai helm, petinju profesional tak perlu pakai helm. Itu hal yang sudah umum, dan kita meyakini itu sudah benar atau kita menganggap itu sebuah kebenaran.
Olahraga itu menyehatkan
Apa definisi olahraga? Penulis kutip dari KBBI daring (dalam jaringan alias online), olahraga: gerak badan untuk menguatkan dan menyehatkan tubuh (seperti sepak bola, berenang, lempar lembing).
Kita berolahraga, badan akan sehat. Anda sepakat? Penulis yakin, Anda sepakat. Kita kembali ke soal olahraga tinju. Anda yakin petinju profesional yang sering bertanding akan sehat? Sehat keuangannya, mungkin iya, jika ia sering menang.
Secara umum kita akan melindungi sekujur tubuh kita dari benturan apa pun. Bagaimana dengan petinju? Memang saat bertanding mereka akan melindungi tubuh mereka (dari pinggang ke atas) dari pukulan lawannya. Tapi rasanya ‘hil yang mustahal’ (meminjam istilah alm, Asmuni) selama bertanding sang petinju tidak pernah sekali pun terkena pukulan.
Bagian mana dari tubuh lawan yang paling diincar oleh seorang petinju? Tentu kepala. Anda tahu di dalam kepala kita kita ada otak yang sangat vital bagi manusia. Kepala kita yang tak sengaja terbentur saja atau mata yang tak sengaja “kecolok” jari tangan kita sendiri, sakitnya luar biasa. Itu yang tak sengaja.
Bagaimana jika kepala atau mata kita terkena pukulan keras yang memang sengaja dilakukan seperti halnya dalam pertandingan tinju. Itu bukan hanya sekali, tapi berkali-kali dalam 1 ronde. Sekali bertanding bukan hanya 1 ronde.
Dengan fakta bahwa kepala yang tak terlindung helm sering terkena pukulan keras, akankah olahragawan (petinju profesional) hidup sehat di masa tuanya?
Suatu hal yang diyakini banyak orang (dipercaya orang dalam jumlah besar), tidak otomatis hal pasti itu benar karena banyak hal keliru yang telanjur dianggap benar.
Semoga Anda tidak termasuk orang yang sering kerilu eh… keliru, menganggap hal yang keliru sebagai sebuah kebenaran.
Suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara