• Sunday, 22 September 2019
  • Ravindra
  • 0

Gunung Lawu merupakan gunung yang terkenal sebagai gunung angker di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Konon ceritanya, Gunung Lawu merupakan tempat petilasan terakhir Brawijaya ke-V raja terakhir Majapahit pasca dikalahkan Demak. Gunung ini berada di antara Kab. Karanganyar dan Kab. Magetan. Lawu menjadi salah satu gunung favorit para pendaki karna memicu adrenalin dengan berbagai kisah legenda dan sejarah yang ada di gunung tersebut.

Di kaki gunungnya bisa kita temui Dukuh Wonomulyo, Desa Genilangit, Kab. Magetan, Jawa Timur. Siapa sangka di tempat ini berdiri sebuah Vihara Vimalakirti. Umat Buddha di Wonomulyo kurang lebih berjumlah 250 orang atau sekitar 70’an KK (Kepala Keluarga). Umat Buddha di Wonomulyo kebanyakan adalah petani dan tukang bangunan.

Baik laki-laki atau perempuan di sini semua bekerja. Bahkan pekerjaan mengangkat batu juga dilakukan para perempuan di desa ini. Jalanan pegunungan yang terjal dan curam tak menjadi halangan. Pertanian di  Wonomulyo pun sudah terbilang cukup modern, untuk mengganti hujan yang sudah 6 bulan tidak turun, para warga yang sebagian besar adalah umat berinovasi membuat hujan buatan melalui pipa yang mengalirkan air ke ladang atau biasa disebut sprinkle.

Tanamannya pun bervariasi, mulai dari wortel, tomat hingga bawang prei. Bahkan, para pemuda sedang mencoba menanam asparagus, namun kesulitan dalam pemasarannya karena pasar sudah dihegemoni oleh tengkulak.

Kelompok pemuda desa ini bisa dibilang cukup maju dalam bertindak dan kritis dalam berfikir, salah satu pemuda desa ini baru saja menyelesaikan studinya di Liverpool, Inggris, setelah menyelesaikan S1-nya di fakultas Psikologi UI. Bahkan mereka berhasil menyelenggarakan kegiatan pelatihan profesional muda yang diikuti seluruh pemuda se-Indonesia yang berjumlah sekitar 300’an orang yang diselenggarakan kurang lebih 4-5 hari.

Menurut Pak Jono, sejak zaman Majapahit, tempat ini merupakan Padepokan Ki Hajar Wonokoso. Ki Hajar Wonosoko merupakan Rsi Kerajaan Majapahit, sekaligus tokoh yang membabat alas Dukuh Wonomulyo, Desa Genilangit, Kecamatan Poncol, Kabupaten Magetan.

Bahkan pernah ditemukan sebuah arca kepala yang menyerupai raksasa di desa ini. Hingga pada masa Ketika orde lama mulai tumbang, desa ini menjadi tempat pelarian kaum Marhaen (loyalis Soekarno) dari kejaran rezim orde baru yang berupaya melakukan de-Soekarnoisasi.

Namun, ditengah ganasnya rezim orde baru pada saat itu masyarakat tetap mendukung Soekarno, bahkan hingga saat ini nasionalisme masyarakat di sini tidak dapat diragukan lagi. Setiap bulan Agustus, desa ini menjadi warna-warni karena dipenuhi oleh lampu kelap-kelip, bendera di setiap rumah dan sepanjang jalan sebagai simbol dan semangat atas kemerdekaan bangsa Indonesia.

Toleran

Walaupun baru dibangun sebuah pesantren di sekitar desa, masyarakat tetap hidup berdampingan dengan rukun dan saling membantu dalam kegiatan-kegiatan keagamaan apa pun. Masyarakat selalu memperingati Nyepi dan Galungan walaupun bukan beragama Hindu, karena sudah membudaya sebab dahulu corak Hindu cukup kuat di wilayah ini.

Sebelum agama Buddha masuk ke wilayah ini, masyarakat banyak yang menjadi penghayat kepercayaan, namun sekitar tahun 1978, agama Buddha mulai masuk ke dukuh Wonomulyo dibawa oleh mbah Wiro kayun (Ayah dari Pak Jono) yang melakukan babad alas dari arah Solo dengan jalan kaki melintasi hutan belantara dan tebing-tebing terjal.

Saat kami datang, Vihara Vimalakirti sedang direnovasi dan diperluas. Pemugaran vihara ini dilakukan secara gotong-royong oleh para pemuda dan pemudi dari pagi hingga malam walaupun pada malam hari suhu udara di sini bisa mencapai 12°C.  Selama vihara dipugar, kegiatan sembahyang dilakukan di rumah warga secara bergantian sampai vihara selesai di bulan Desember.

Menurut penuturan dari Mas Winarto (tokoh pemuda Buddha di Wonomulyo), ke depan selain menjadi objek wisata alam, desa ini digadang-gadang akan menjadi pusat wisata religi Buddhis di Kabupaten Magetan malahan di Jawa Timur karena dalam waktu dekat diwacanakan akan di bangun kuil berskala internasional yang pastinya sangat potensial jika diarahkan untuk kesejahteraan umat serta pengembangan agama Buddha jangka panjang.

Di tengah pesatnya pembangunan di desa ini, para umat sedari dulu memiliki prinsip hidup mandiri dan tidak suka meminta-minta sumbangan walaupun mayoritas kehidupan di sini kurang begitu sejahtera. Mereka sangat berdikari dan gotong royong dalam segala hal, walaupun jika ada yang ingin berinisiatif untuk menyumbang tentu tidak akan ditolak sebagaimana budaya Jawa yang cukup kental di desa ini yaitu menghargai tamu yang berkunjung dengan niat baik yang dibawanya.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *