Berbicara tentang umat Buddha pedesaan, tentu tidak akan asing dengan Kabupaten Banyuwangi sebagai salah satu basis umat Buddha di Jawa.
Kabupaten berjuluk The sunrise of Java ini juga meyimpan jejak sejarah masa silam. Hal itu bisa dilihat dari kepercayaan lama yang masih dianut sebagian masyarakatnya, yaitu Budho Jawi Wisnu yang menjadi cikal bakal kebangkitan agama Buddha di daerah ujung timur pulau Jawa ini.
Salah satu lokasi keberadaan umat Buddha yang bisa dijumpai saat ini ada di Vihara Dhamma Kerti Dusun Rejoagung, Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi. Saat kunjungan tim Buddhazine pada Jum’at (18/12/2020) jumlah umat di vihara ini terbilang cukup banyak, yaitu kurang lebih 61 KK dengan jumlah umat sebanyak 161 orang.
Awal masuknya agama Buddha di Desa Sumberagung sekitar tahun 65-67. Tahun-tahun dimana pemerintah menetapkan aturan wajib tiap warga negara memilih salah satu dari 5 agama yang diakui pemerintah masa itu. Agama Buddha menjadi pilihan sebagian warga sebagai tempat bernaung, dan dijadikan pedoman hidup sehari-hari.
Eksistensi agama Buddha di Kecamatan Pesanggaran berkat peran para tokoh yang membawa agama Buddha antara lain adalah Mbah Sulaiman, Mbah Maji, dan Mbah Satimo. Mbah Sulaiman sendiri adalah tokoh yang berasal dari Dusun Rejoagung, sementara dua tokoh lainnya dari dusun lain tapi masih satu kecamatan. Dari para pelopor inilah perlahan agama Buddha menyebar ke hampir seluruh dusun-dusun di Kecematan Pesanggaran.
“Kala itu di Kecamatan Pesanggaran belum ada tempat ibadah jadi menggunakan bale, dan masa itu perkembangan umat Buddha di kecamatan Pesanggaaran sangat pesat, banyak dusun-dusun yang mayoritas warganya memeluk agama Buddha. Dulu tahunya hanya agama Buddha saja, tidak ada sekte ini itu jadi kita merayakan hari rayanya di bulan suro yang berlangsung sekitar tahun 65 sampai tahun 74, baru pada tahun 75 umat mengenal Waisak sebagai hari raya agama Buddha. Mulai saat itu umat di Pesanggaran ini memperingati Waisak,” terang Pak Karis, Ketua Vihara Dhamma Kerti.
Baca juga: Ada Batik Banyuwangi Bercorak Buddhis
Cukup lama umat berkegiatan menggunakan bale hingga pada tahun 1998 mempunyai tempat ibadah berupa cetiya dengan nama Dhamma Kerti. Lima tahun kemudian yaitu tahun 2003 terbangunlah vihara yang sampai saat ini digunakan umat berkegiatan.
Lahan vihara yang diresmikan pada 28 November 2003 ini cukup luas dengan bangunan Dhammasala yang megah serta lengkap dengan fasilitas olahraga dan pendopo menjadikan vihara Dhamma Kerti sangat nyaman untuk berkegiatan baik bagi muda-mudi maupun orang tua.
Meskipun di tengah-tengah pedusunan namun kemajuan vihara terbilang bagus bahkan saat ini sudah ada dua tenaga yang setiap hari standby di kantor sekretariat yang bertugas mengurus administrasi dan keperluan kegiatan umat di samping itu juga bertangung jawab atas kebersihan lingkungan vihara .
Kegiatan rutin umat juga cukup padat, seperti yag disampaikan Yessa, salah satu tenaga sekretariat vihara. “Di sini setiap tahunnya umat mengadakan acara peringatan hari-hari besar agama Buddha mulai dari Waisak, Kathina, Sadha, dan Maghapuja. Ada juga kegiatan unduh-unduh rutin setiap tahun, yaitu mengumpulkan hasil bumi ke vihara untuk diberikan kepada Sangha pada setiap ulang tahun vihara. Kalau kegiatan rutin harian yaitu hari Minggu sore kegiatan ibu-ibu Wandani, kemudian Minggu pagi untuk anak-anak SMB, sempat juga ada latihan menari bagi remaja-remaja vihara tapi sekarang sudah tidak ada,” katanya.
Kegiatan lainnya yaitu setiap Senin malam anjangsana ke rumah-rumah umat yang akhirnya ditempatkan di vihara karena pandemi. Setiap Kamis malam ada puja bhakti umum, sementara khusus setiap malam Ju’mat legi adalah kegiatan pattidana dengan membawa takir dan mendoakan para leluhur.
Baca juga: Batik Kinnara Kinnari
Tidak hanya cukup sampai di situ, saat ini ada hal menarik lain dari Vihara Dhamma Kerti. Masuknya program dari STAB Nalanda, Jakarta, menambah satu daftar kegiatan umat yaitu membatik. Program Participatory Action Research (PAR) yang dimulai bulan Agustus 2020 hingga sekarang memberi warna baru rutinitas umat Buddha di Rejoagung.
Mereka menamai hasil kerajinan tangan mereka dengan ‘Batik Kinara-kinari’. Berkat ketelatenan dan keuletan umat serta konsistensi bimbingan dari pihak STAB, batik dengan motif bercorak Buddhis telah menjadi produk yang layak untuk diminati umat Buddha.
“Pada waktu awal program ini ada sekitar 25 ibu-ibu yang ikut kegiatan ini, tapi lama-lama berkurang dan yang bertahan saat ini tinggal tujuh orang. Tapi meskipun tinggal tujuh orang produksi batik sampai saat ini sudah menghasilkan puluhan motif,” jelas Dian Tika Sujata, peneliti pendamping program PAR.
Kombinasi motif dan warna batik yang beragam menawarkan berbagai pilihan selera batik umat Buddha di seluruh Indonesia. Bagi umat Buddha dari luar yang menghendaki batik kinara-kinari bisa datang dan singah langsung di vihara atau juga bisa pesan via media sosial. Di samping itu bisa juga menjadi cindera mata bagi para umat yang berkunjung ke vihara Dhamma Kerti.
“Harapannya dengan batik ini bisa menjadi satu lapangan pekerjaan dan bisa menjadi penambah penghasilan umat, di samping itu sebagian keuntungan hasil penjualan batik akan menjadi pemasukan dana untuk vihara,” pungkas Dian.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara