Di kawasan Mandala Agung Borobudur yang dibangun pada abad ke-8, ternyata terdapat danau purba yang memiliki lebar sekitar 8 kilometer dari sekitar 10 ribu tahun yang lalu atau zaman Plistosen Akhir. Danau tersebut hilang akibat proses alamiah dan non-alamiah karena mengalami proses pendangkalan.
Hal itu dapat diamati dari material penutup endapan danau yang merupakan hasil dari aktivitas vulkanik, tektonik, gerakan masa tanah, dan batuan, serta aktivitas manusia. Bahkan jejak lingkungan danau juga dapat ditelusuri dari relief candi dan troponin yang menunjukkan adanya lingkungan danau.
Hal tersebut disampaikan dosen Teknologi Mineral UPN Veteran Yogyakarta, Helmy Murwanto, dalam diskusi yang digelar Medang Heritage Society dengan tema “Danau Purba Borobudur Perspektif Paleogeomorfologi”. Diskusi digelar Kamis (29/3/2018) di Edu Hostel Yogyakarta.
Helmy memaparkan keberadaan danau purba di sekitar Borobudur dapat dikenali melalui singkapan endapan danau berupa lempung hitam yang tersingkap di dasar-dasar sungai. Endapan danau yang tersingkap ini diakibatkan oleh proses geomorfologi.
Sebaran endapan lempung hitam cukup luas itu ditemui di lembah Sungai Pacet yang berada di kaki Bukit Tidar, Mertoyudan yang diperkirakan sebagai bagian utara danau, hingga mencapai lembah Sungai Sileng, kaki Pegunungan Menoreh, sisi selatan danau dengan jarak sekitar 8 kilometer.
“Kalau banjir lahar Gunung Merapi atau Sindoro-Sumbing zaman dahulu mengendapnya pasti di Danau Borobudur,” kata Helmy.
Keberadaan danau purba
Dari hasil penelitian disertasinya, Helmy mengungkapkan material penutup endapan danau berasal dari material vulkanik dan sedimen dari Pegunungan Menoreh. Didukung hasil interprestasi citra satelit ia menunjukkan bahwa beberapa tempat merupakan lembah yang menyerupai alur sungai.
Lembah tersebut dimanfaatkan masyarakat untuk lahan pertanian. Lembah ini berada di sekitar desa Bumisegoro, Pasuruhan, Saitan, dan Deyangan.
Dirinya memaparkan, perubahan bentuk lahan danau menjadi dataran lakustrin disebabkan oleh aktivitas vulkanik, tektonik, longsoran lahar, dan aktivitas manusia. Pendangkalan danau menjadi dataran lakustrin diakui Helmy tidak berlangsung dalam satu waktu namun berkali-kali.
Tidak hanya itu, perubahan pola aliran sungai yang mengalir ke danau purba Borobudur terbentuk akibat proses pendangkalan dan pengeringan danau. Keberadaan jalan lurus penghubung antara Candi Mendut, Pawon, dan Borobudur dimungkinkan keberadaannya setelah danau mengalami pengeringan secara sebagian.
Relief Mandala Agung Borobudur
“Aktivitas manusia di sekitar Borobudur dipengaruhi oleh keberadaan danau. Hal ini terefleksikan dalam relief Borobudur dan troponin di sekitar Borobudur,” ungkapnya.
Dari hasil pemetaan spasiotemporal, danau ini dibagi menjadi tiga periode yakni Kala Plistosen Akhir, Kala Holosen, dan Kala Resen. Pembagian waktu ini didasarkan pada hasil uji umur batuan. Pada masing-masing kala tersebut mempunyai luasan danau yang sangat berbeda-beda. Kala Plistosen Akhir sendiri masanya di atas 10 ribu tahun yang lalu.
“Danau ini awalnya sangat luas dan saat itu masih belum terdapat peradaban, bahkan di Borobudur saja belum dibangun,” tandasnya.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara