Sasanasena Hansen | Saturday, 7 April 2018 11.00 AM Life
Agung Wijaya
Aku tak pernah menyangka aku akan menderita seperti ini. Sebelumnya, aku selalu berpikir bahwa aku akan baik-baik saja. Selalu baik-baik saja!
Di usiaku yang 30 ini, aku rasa aku telah mencapai banyak hal yang mungkin tidak dapat dicapai oleh kebanyakan orang seusiaku. Aku sukses. Aku punya pekerjaan yang baik. Karirku berjalan mulus. Aku punya gelar sarjana teknik dan master hukum.
Aku dihormati kolegaku. Hubunganku dengan keluargaku sangat erat. Aku sayang orangtuaku, saudara-saudariku, dan semua keponakanku. Aku bahkan bisa membelikan rumah baru untuk kedua orangtuaku. Membawa mereka jalan-jalan ke luar negeri setiap tahun.
Demikian pula hubunganku dengan pacar. Kami telah bertunangan. Aku selalu mendukungnya. Dia pun selalu menyemangatiku. Kadang kami memang tidak banyak bicara. Tapi kami saling mengerti dan percaya. Kami punya banyak rencana untuk meniti masa depan bersama. Kami ingin ini, ingin itu. Banyak sekali.
Kini, semua itu terasa tidak begitu penting lagi. Aku divonis kanker otak. Sekarang semua terang bagiku. Kenapa setahun belakangan ini aku sering sakit kepala. Dokter menyuruhku untuk istirahat. Berhenti dari pekerjaanku. Dan cukup menikmati sisa hidupku yang tinggal beberapa bulan lagi. Tak ada yang bisa dilakukannya. Setelah berjuang berbulan-bulan lamanya, kini rasanya aku sudah tak sanggup lagi.
Aku terbaring lemah. Mataku sayu berusaha menangkap bayangan yang ada di sampingku. Aku tahu itu pasti dia, wanita cantik tunanganku. Ya. Dia memang selalu menemaniku selama bulan-bulan ini. Dia menjadi saksi bisu perubahan tubuhku dari gembrot menjadi kurus seperti ini.
Awalnya aku merasa tidak terima. Kenapa harus aku? Kenapa aku? Aku punya segalanya. Aku masih punya banyak hal yang ingin kulakukan. Aku sering membantu orang lain. Aku hampir tidak pernah mencelakakan orang. Jadi kenapa aku? Di mana letak keadilannya? Sh*t!!! Aku membentak dalam benakku yang berkecamuk liar.
Tapi semakin lama semakin aku menyadari bahwa aku bukanlah segalanya. Aku bukanlah siapa-siapa. Aku melihat banyak orang yang datang silih berganti. Mengunjungi dan menguatkanku. Awalnya ramai. Mereka datang untuk memberiku semangat. Aku tak tahu bagaimana meresponnya. Mereka tidak mengerti perasaan dan sakit yang kualami.
Perasaan tersisih
Lalu, lama-kelamaan mereka yang datang semakin berkurang. Aku menjadi semakin tersisih. Mereka bilang mereka sibuk. Mereka janji akan datang menjengukku minggu depan, bulan depan, atau entahlah… Hal ini membuatku menyadari bahwa aku seharusnya berterima kasih, atas kedatangan dan empati dari orang-orang yang telah bersedia mengunjungiku.
Meski tidak membawa apa pun, meski tidak bisa merasakan perihnya sakitku; setidaknya mereka bisa membuatku lupa sejenak dengan apa yang sedang kualami.
Aku juga melihat, betapa banyak orang lain yang juga menderita sepertiku. Mereka bahkan lebih baik sifatnya dariku. Ada anak kecil. Umurnya mungkin sekitar 10 tahun.
Dia selalu riang dan membuatku tertawa di kamar bersama. Tetapi dia justru harus pergi terlebih dahulu. Hari itu aku menjadi sangat sedih. Semua ini membuatku sadar bahwa bukan ‘siapa/apa’ yang penting dalam hidup ini, tetapi ‘bagaimana’ menjalaninya; itulah yang terpenting.
Wanita di sampingku menyadarkanku dari lamunan, “Sayang, apa yang kau rasakan?”
“Ooh.. Tidak apa-apa,” balasku. “Aku hanya merasa bahwa hidup itu memang terlalu singkat. Kita selalu merasa bahwa diri kita begitu spesial tetapi hal ini sering membuat kita justru merasa berhak atas segalanya.”
“Apa maksudmu?” tanya tunanganku.
“Ya, seperti itu. Pada kenyataannya selalu ada saat-saat kita di atas angin, ada pula sebaliknya. Itu semua wajar. Yang terpenting adalah bagaimana mengatasi hal-hal itu dengan sebaik mungkin. Tidak menyerah tapi ikhlas. Tidak dendam tapi terbuka. Begitulah…”
“Wuah. Rasanya kamu tambah bijak saja sayang,” candanya. Kami pun tertawa bersama.
“Tunggulah sebentar di sini. Temani aku,” pintaku padanya.
Sambil tersenyum wanita itu berkata, “Baiklah. Akan kukupas apel untukmu.”
Dia pun pergi mengambil apel di seberang ranjangku. Aku melihat gerak-geriknya yang lembut dan penuh perhatian. Dia memilah-milah buah apel yang dinilainya bagus untukku. Dia pun mulai mengupas kulit apelnya. Aku selalu suka makan apel tanpa kulitnya. Dia di sini dan aku memandanginya dengan mataku yang semakin lelah. Lagu Gaze by Adhitia Sofyan.
Ilustrasi: Agung Wijaya
Upasaka Sasanasena Seng Hansen
Sedang menempuh studi di Australia.
Setelah melalui proses selama 9 tahun, BuddhaZine kini telah berpayung hukum dengan naungan Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara. Kami berkantor di Dusun Krecek, Temanggung. Dengan yayasan ini kami berharap bisa mengembangkan Buddhadharma bersama Anda dan segenap masyarakat dusun.
Kami meyakini bahwa salah satu pondasi Buddhadharma terletak di masyarakat yang menjadikan nilai-nilai ajaran Buddha dan kearifan budaya sebagai elemen kehidupan.
Anda dapat bergabung bersama kami dengan berdana di:
Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara
Bank Mandiri
185-00-0160-236-3
KCP Temanggung