• Sunday, 8 April 2018
  • Hendry F. Jan
  • 0

Suasana perjalananku kali ini berbeda. Biasanya, selama di kereta, pikiranku sudah melayang ke jalan Malioboro, makan nasi kucing, main ke Kraton Yogya, dan lain-lain. Kali ini, yang ada di benakku, bagaimana tempat kost-ku nanti, bagaimana suasana dan lingkungan kerja di kantor baruku nanti.

Tempat kost sudah dapat, temanku yang bantu mencarikan. Kata Brian, tempat kost-nya pasti cocok. Suasananya nyaman, tidak jauh dari kantor.

Sebenarnya aku hanya iseng ngelamar kerja ke sebuah perusahaan di Yogya. Kalau Aya tau, kemungkinan dia tidak akan setuju. Aya punya pengalaman pahit pacaran jarak jauh, LDR. Putus karena kekasihnya selingkuh dengan wanita lain.

Saat mengirim lamaran, aku sedang jenuh dengan suasana kantorku. Pimpinanku rasis. Aku selalu ditekan, diberi pekerjaan paling banyak, dan kenaikan gajiku paling kecil. Susah minta izin, cuti pun dipersulit. Entah mengapa ia bersikap seperti itu padaku. Mungkinkah karena aku dianggap pesaing yang dapat mengganjal kariernya atau bahkan dapat menyingkirkannya? Entahlah… ia seolah musuh dari kehidupan lampauku.

Saat jenuh itulah Brian menginformasikan ada lowongan yang pas untukku. Kantor tempat kerjaku ini tidak jauh dari kantor tempat Brian bekerja, masih dalam satu kompleks.

Untungnya aku bisa meyakinkan Aya. Aku ambil lowongan baru ini agar bisa menabung untuk persiapan menikah, meski aku sendiri pun belum yakin bagaimana akhir cerita cinta kami.

Aku sudah bekerja sejak masih kuliah. Di tempat kerja itulah aku kenal Aya. Karena kami berasal dari universitas yang sama, kami jadi dekat. Cinta tumbuh begitu saja.

“Mas, mau liburan ke Yogya?” tanya Ibu yang duduk di depanku.

“Maaf, apa Bu?” tanyaku. Aku tidak menangkap dengan jelas apa yang ditanyakan ibu itu. Maklum, aku sedang melamun.

“Mas, mau liburan ke Yogya?” Ibu itu mengulangi pertanyaannya.

“Tidak Bu, saya mau bekerja. Ibu liburan ke Yogya?” basa-basi aku balik tanya.

“Tidak. Saya pulang ke Yogya, habis nengok cucu di Bandung,” jawab si ibu. Kami terlibat percakapan cukup panjang, sebelum akhirnya si ibu ngobrol dengan anaknya.

Aku mengalihkan pandangan ke penumpang lain di dalam kereta. Banyak yang sudah terlelap. Aku melanjutkan lamunanku.

Ada rasa senang dan sedih bersamaan. Senang karena aku dapat suasana baru, tempat kerja baru. Lepas dari cengkeraman pimpinan sadis nan rasis. Tapi aku juga sedih karena harus berpisah dengan Aya.

Entah jam berapa aku tertidur. Aku terbangun saat ibu di depanku membangunkan. “Dik, kita sudah sampai di Yogya,” katanya sambil menyentuh lenganku.

“Terima kasih Bu,” kataku. Setelah kereta berhenti, aku segera mengambil koperku. “Sampai jumpa Bu,” kataku ketika melihat si ibu sudah dijemput suaminya. Aku memandang ke luar jendela, mencari sosok Brian di antara para penjemput. Singkat cerita aku dan Brian akhirnya sampai di tempat kost. Setelah ngobrol sejenak, Brian pamit untuk ke kantor. Aku besok baru masuk kerja.

Baru sejenak berbaring, ingin melanjutkan tidur, ponselku berdering. Kak Rina memanggil, begitu tulisan yang tertera di layar ponselku. Deg… jantungku berdegup lebih kencang. Ada firasat buruk terlintas. Ada apa Kak Rina meneleponku pagi-pagi? Benar saja, Kak Rina menyampaikan bahwa Aya meninggal dunia.

Aku langsung menelepon Brian, Brian langsung balik ke kost-ku dan mengantarku ke Stasiun Tugu. Aku langsung kembali lagi ke Bandung.

Sungguh aku tak tau harus bagaimana berada di tengah-tengah keluarga Aya. Aku merasa semua mata memandangku, seolah aku-lah yang harus bertanggung jawab atas kepergian Aya.

Aku bersyukur ada Kak Rina. Di tengah duka kehilangan adik yang sangat dekat dengannya, Kak Rina menguatkan aku. “Kevin, kita ikhlaskan kepergian Aya. Kak Rina tau, Kevin tidak bersalah. Aya sudah cerita semua di suratnya,” Kak Rina berbisik padaku. “Maafkan ayah dan ibu jika mereka bersikap kurang baik. Mereka sedang sangat berduka ditinggal Aya,” pinta Kak Rina. Aku mengangguk, air mata tak henti mengalir dari kedua bola mataku. “Selamat jalan Aya…”

Seminggu aku berada di Bandung, keadaan benar-benar seperti di neraka. Semua kenangan kebersamaan aku dan Aya di rumah maupun di tempat-tempat yang pernah kami datangi sangat menyiksaku.

Akhirnya aku kembali ke Yogya, bekerja di sana. Tidak mudah menghapus semua kenangan manis kebersamaan kami. Seiring berjalannya waktu, perlahan aku bisa kembali ke “kehidupan normal”, hingga 2 tahun lalu aku menemukan Keiko.

Aku masih ingat semua detail surat singkat yang diberikan Aya dulu, saat aku akan berangkat ke Yogya.

“Kevin sayang…

Selamat jalan, semoga karier Kevin di sana bagus. Aya turut berbahagia jika Kevin sukses. Jangan lupakan Aya di Bandung ya?

Teramat banyak kenangan manis yang terajut selama kita bersama. Kevin pergi saat Aya menemukan tempat bersandar. Kevin, Aya takut Kevin tidak akan kembali ke Bandung lagi.

Kevin, Aya sangat sedih menjelang kepergian Kevin. Perlahan namun pasti, akhirnya tiba juga saatnya. Apakah Kevin akan kembali lagi, itu pertanyaan yang selalu terlintas di benak Aya. Kevin, Aya lelah. Aya ingin tidur panjaaang… Selamat tinggal Kevin. Peluk cium sayang untuk Kevin seorang.

“Kevin, kau satu terbaik yang kupunya, tapi tak bisa kumiliki.”

Love, Aya

* * * * *

Cinta tidak bisa dibagi. Aku tidak bisa membagi hatiku untuk 3 wanita yang sangat kusayangi. Dalam hatiku, ada 100% cinta untuk Mamaku, Kumala Dewi namanya. Ada 100% cinta untuk Kanaya. Dan… ada 100% cinta untuk Keiko yang kelak akan menjadi ibu dari anak-anakku. Ada cintaku untuk Kanaya, tapi Keiko tidak perlu tau, apalagi cemburu. Kini, di dunia ini ada cinta untuk 2 wanita berinisial K, Kumala, Mamaku dan Keiko. Jangan memaksaku untuk memilih satu di antara keduanya.

Sungguh aku juga tak bisa memilih 1 K di antara 3 K: Kanaya, Keiko, atau Kumala, mana yang paling kusayangi? Semuanya punya tempat khusus di hatiku, tak perlu saling cemburu.

Ilustrasi: Agung Wijaya

Hendry Filcozwei Jan

Suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Hendry F. Jan

Hendry Filcozwei Jan adalah suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.

Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

http://www.vihara.blogspot.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *