• Friday, 1 December 2017
  • Hendry F. Jan
  • 0

“Braaak…” Ronald membanting buku ke lantai dengan keras. Seluruh mata tertuju padanya. Sedetik kemudian, Ronald tersadar bahwa saat ini ia sedang berada di perpustakaan, bukan di kamar kost-nya. “Aduh… maaf saya tidak sengaja…,” kata Ronald penuh penyesalan. Ronald segera berdiri, lalu mengatakan, “Permisi…”

Ronald melangkahkan kaki meninggalkan perpustakaan Vihara Vimala Dharma diikuti pandangan mata umat di perpustakaan dan sekitar perpustakaan. Maksud hati menenangkan diri dari masalah yang dialami dengan membaca, apa daya justru rasa malu luar biasa yang didapat.

Masalah yang dihadapi Ronald bukan problem sederhana. Ini sebuah dilema. Langkah yang akan diambilnya adalah keputusan terbesar dalam hidupnya. Apa yang akan diputuskan, akan menentukan bagaimana masa depannya nanti.

Selama ini, ia patuh pada apa yang disarankan oleh Mamanya. Sejak kecil ia selalu menuruti semua yang dipilihkan Mama. Dari TK hingga SMA, semua sekolah adalah pilihan Mama. Dianjurkan kuliah di Fakultas Ekonomi, ia ikuti. Kuliah sambil bekerja, ia jalani. Ia bisa memaklumi semua permintaan Mamanya karena ia tau Mama tentu sayang pada anaknya.

Soal kuliah sambil bekerja, sepenuhnya Ronald maklum, Ronald paham kondisi keuangan mereka.  Ia anak tunggal dan sudah tak punya Papa sejak ia duduk di kelas 6 SD. Sebenarnya Ronald bukan anak satu-satunya, ada Kevin, adiknya. Tapi bagi Ronald, Kevin tidak masuk hitungan. Kevin terlahir sebagai anak down syndrome.

Sejak SMP Ronald sudah membantu Mama mencari nafkah. Mama mencari uang dengan segala kemampuannya. Menerima jahitan pakaian, membuat kue lalu dititipkan di kantin sekolah, dan usaha apa saja yang bisa menghasilkan uang. Ronald yang bertugas mengantarkan jahitan yang sudah selesai ke rumah pelanggan, membeli keperluan untuk menjahit, juga mengantarkan kue ke kantin sekolah.

Ronald, Kevin dan Mama selalu tinggal bersama. Hanya saat kuliah Ronald merantau ke Bandung, sementara Mama dan Kevin tetap tinggal di Jambi.

Rasanya sudah cukup Ronald menuruti kemauan Mama sejak kecil hingga sekarang. Tapi permintaan kali ini, rasanya tidak bisa ia ikuti. Masa’ calon pendamping hidup pun ia harus ikut dengan keinginan Mama? “Yang akan menikah dan menjalani hidup adalah Ronald, bukan Mama,” kata Ronald saat terakhir Mama menelepon.

Sejak itu, Ronald tidak lagi mengangkat telepon jika Mama yang menghubungi. Paling Mama mendapat kabar tentang Ronald dari Ii Meilan* yang sering menelepon Ronald. Ronald tau, ini pasti permintaan mama.

* * *

Lo nggak salah Ron, mau sampai kapan kamu jadi anak Mama?” kata Deddy sambil menekankan kata ‘anak mama.’ “Dari kecil lo udah bantu Mama. Sementara Kevin adik lo nggak ngapa-ngapain. Cuma makan tidur saja,” Deddy menghembuskan asap rokoknya.

Udah yuk… kita cabut. Bosen di kost-an mulu,” Deddy sudah memakai sepatu dan melangkah keluar dari kamar kost Ronald. Ronald dan Deddy pun menuju warnet, tempat mereka biasa bermain games online. Ronald kenal Deddy juga di warnet saat menunggu giliran main games online. Awalnya Ronald main games online hanya iseng karena suntuk dengan tugas kuliah ditambah perselisihannya dengan Mamanya. Hanya pelarian dari masalah, tapi akhirnya Ronald jadi kecanduan, jadi maniak games.

* * *

“Tika, kamu mau kasih apa pada Mama-mu untuk surprise hari ibu ini,” tanya Della.

“Ehm… tahun ini kayaknya aku akan pesan makanan cepat saji dan kirim sekuntum bunga mawar merah,” kata Tika. “Kalau Della?” Viantika balik tanya.

“Aku akan ajak Mama jalan ke mal dan makan berdua. Aku akan ajak Mama menikmati makanan kesukaannya,” Della tersenyum penuh arti. “Emang makanan cepat sajinya tidak basi ketika sampai ke Palembang?” tanya Della sambil mengutak-atik BB-nya.

“Zaman sudah canggih dan serba online gini, masa’ masih harus kirim dari Bandung ke Palembang? Tinggal telepon ke fast food di Palembang, transfer via ebanking, kasih tau alamat yang dituju, beres deh… Jadi jarak bukan halangan. Teknologi memungkinkan itu semua. Hanya saja kita belum bisa sentuhan langsung dengan orang di tempat berbeda. Beda dengan Della yang tinggal satu kota dengan Mama, bisa memeluk dan mencium Mama,” kata Tika sambil mengerlingkan mata.

Ronald hanya terdiam mendengar percakapan teman-teman di vihara setelah usai kebaktian. Boro-boro menyenangkan Mama. Telepon masuk dari Mama pun sedang tak ingin dijawabnya.

Mengapa sih harus ada banyak agama? Mengapa pula aku harus ketemu gadis manis yang menarik perhatian dan cocok denganku tapi kami berbeda keyakinan, batin Ronald.

“Ron, kok ngelamun,” sapa Ko Ananda. “Ada masalah apa nih…?” tanya Ko Ananda.

NgggNggak ada apa-apa kok,” Ronald berusaha menutupi.

“Tak usah sungkan, jika ada masalah, ceritakan saja. Siapa tau Ko Ananda bisa kasih solusi.”

Hening sejenak. “Oh ya Ron, nanti ikut ‘kan acara kunjungan ke panti wreda di awal tahun?” lanjut Ko Ananda.

“Pasti ikut Ko!” Ronald  pura-pura bersemangat. “Kapan acaranya?” tanya Ronald lagi.

“Tanggal pasti belum diputuskan, tapi sebelum tanggal 5 Januari kayaknya. Itu dalam rangka hari Metta,” jelas Ko Ananda. “Oke, Ko Ananda pulang dulu ya? Ada janji sama teman. Kalau ada yang ingin dibicarakan, main saja ke rumah. Sore ini dari sekitar jam 3 sampai jam 6 Ko Ananda ada di rumah. Namo Buddhaya…,” Ko Ananda pamit sambil beranjali.

Ko Ananda pasti tau saya sedang ada masalah, sampai memberitahukan ia punya waktu luang jam sekian sampai jam sekian, batin Ronald.

Ko Ananda adalah sosok yang sudah sangat familiar bagi muda-mudi di Vihara Vimala Dharma Bandung. Sosok yang “dituakan” dan sering diminta pendapat oleh muda-mudi yang sedang mengalami problema kehidupan. Ko Ananda mengenal hampir semua aktivis vihara, termasuk latar belakang keluarga mereka. Ko Ananda sering bertanya bagaimana kabar keluarga para aktivis bila sedang ngumpul di vihara.

* * *

Setelah janjian via BBM, akhirnya sore itu Ronald main ke rumah Ko Ananda. Halaman rumah Ko Ananda tampak asri. Mereka berdua duduk santai di teras.

“Silakan diminum Den…,” kata pembantu Ko Ananda yang mengantar dua gelas kosong,  sebotol soft drink, dan pisang goreng.

“Terima kasih…,” kata Ronald.

“Ayo tak usah malu, silakan dicicipi hidangannya,” kata Ko Ananda ramah.

“Ehm… langsung saja Ko,” ujar Ronald setelah meneguk soft drink.

“Ko, Mama saya tidak setuju saya pacaran dengan cewek yang beda agama. Saya bertengkar dengan Mama tentang hal ini. Selama ini, saya selalu menurut pada apa yang Mama mau. Tapi untuk soal pasangan hidup, saya akan menentukan pilihan saya sendiri. Ini hidup saya, saya yang akan menjalaninya. Sudah seminggu ini saya jadi tidak menjawab telepon Mama,” cerita Ronald. “Bagaimana pendapat Ko Ananda?” Ronald minta pendapat.

“Ini masalah yang banyak dialami muda-mudi zaman sekarang. Bukan hanya muda-mudi Buddhis, tapi muda-mudi berbagai agama. Pada dasarnya semua agama punya pandangan yang sama soal ini. Pasangan hidup yang ideal adalah pasangan yang satu keyakinan, atau satu agama dalam bahasa awamnya. Dalam Dhamma disebutkan untuk mencapai pernikahan bahagia, pasangan yang akan menikah sebaiknya punya 4 kesamaan yakni sama sadha atau sama keyakinan, sama sila atau sama moralitas, sama cagga atau sama kedermawanan, sama panna atau sama kebijaksanaan,” Ko Ananda berhenti sejenak.

“Sekarang Ko Ananda tanya, apakah Ronald ingin pindah keyakinan?”

“Tidak Ko!”

“Pacar Ronald yang mau beralih keyakinan menjadi Buddhis?”

“Saya tidak yakin. Ia juga berat untuk pindah.”

“Hmmm… dari awal saja sudah ada permasalahan. Dan ke depannya, tentu problemnya masih banyak. Kalau nekat menikah dengan komitmen jalani keyakinan masing-masing, problem tidak selesai sampai di situ. Waktu menikah, salah satu terpaksa berbohong, seolah mengikuti agama pasangannya. Setelah punya anak, agama apa yang akan diajarkan kepada anak. Jika kelak salah seorang sakit, akan didoakan sesuai agama yang sakit atau yang sehat. Begitu pula saat meninggal, apakah prosesinya sesuai agama yang meninggal atau sesuai agama pasangan yang menyelenggarakan prosesinya. Beda keyakinan tentu lebih banyak mendatangkan permasalahan,” jelas Ko Ananda.

Ronald terdiam. Ia tak pernah memikirkan sampai sejauh itu. Hanya lebih mementingkan ego-nya. Ronald hanya merasa selama ini terlalu diatur oleh Mamanya. Saat pilihan hatinya tidak disetujui, ego-nya memberontak. Pasangan hidup harus pilihannya, bukan pilihan Mamanya.

“Ron, ketidaksetujuan Mama-mu ada benarnya. Beliau juga ingin kelak kamu hidup bahagia. Jangan sakiti hati Mama yang telah merawatmu sejak bayi hingga sekarang hanya demi seorang wanita yang baru kamu kenal beberapa bulan ini,” akhirnya Ko Ananda memecah keheningan.

“Nanti kamu telepon Mama. Minta maaf atas sikapmu selama ini yang telah menyiksa beliau. Tidak baik mendiamkan Mama, apalagi sebentar lagi hari ibu. Jasa ibu sangat besar. Kita tak mungkin bisa kita membalas jasa baik mereka,” lanjut Ko Ananda.

Ronald mengangguk, meski ego-nya belum bisa sepenuhnya menerima saran Ko Ananda. “Ko, terima kasih atas waktu dan sarannya.”

* * *

Dalam kamar kost-nya, Ronald masih bimbang. Ego-nya masih menolak untuk menelepon Mama duluan dan meminta maaf atas kesalahannya. Sudah jam 11 malam, mata Ronald masih sulit terpejam.

“Hanya ada satu guru yang kupuja…,” ringtone Sang Guru lewat suara Meicie Widjaja terdengar dari BlackBerry Ronald. Ronald terkesiap. Siapa yang menelepon malam-malam begini?

Diraihnya BB dari atas meja, “Ii Meilan Memanggil” tulisan di layar BB. Langsung dijawabnya, “Ya Ii, ada apa?”

“Ron, Mama sudah tidak ada…,” jawab Ii Meilan sambil menangis. “Tadi Kevin yang menangis terus-menerus dan memanggil-manggil Mama. Tetangga sebelah rumah mengetuk pintu rumah dan Kevin membukanya. Tetangga mendapati Mama terbaring di lantai dan sudah tidak bernapas.”

Semua menjadi gelap, langit seakan runtuh. Ronald pun pingsan…

* Ii Meilan = Tante Meilan (Ii adalah tante dari pihak ibu) dalam bahasa Tionghoa/ Mandarin.

Hendry Filcozwei Jan

Penulis cerpen Buddhis, suami dari Linda Muditavati, ayah dari 2 putra (Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan), pengelola blog www.vihara.blogspot.com dan www.rekor.blogspot.com pendiri group WA: KCB (Komunitas Cerpen Buddhis), tinggal di Bandung.

Cerpen “Ego” ini dikutip dari buku kumpulan cerpen Buddhis “Ketika Metta Memilih” karya Hendry yang diterbitkan Ehipassiko Foundation (2014).

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Hendry F. Jan

Hendry Filcozwei Jan adalah suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.

Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

http://www.vihara.blogspot.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *