Di bawah guyuran hujan deras umat Buddha Vihara Ananda Dusun Piyudan, Desa Padureso, Kec. Jumo, Temanggung menyelenggarakan acara abhiseka dan peresmian kuti pada Sabtu (22/01). Acara dihadiri oleh empat bhikkhu: Bhikkhu Subhapanno, Bhikkhu Guttadhammo, Bhikkhu Dhammiko, dan Bhikkhu Khemadhiro, Direktur Urusan dan Pendidikan Agama Buddha Supriyadi bersama jajaran pejabat Dijen Bimas Buddha, para donatur, dan umat Buddha dari 11 vihara di Kec. Jumo.
Widiyatno, ketua panitia acara sekaligus ketua panitia pembangunan kuti menyampaikan butuh waktu bulan untuk persiapan acara. “Kami juga melibatkan para pengurus KBTI serta Wandani Kec. Jumo yang membantu dalam penyelenggaraan acara ini. Sebagai hiburan, nanti malam juga ada pagelaran wayang kulit bersama Ki Mara dengan lakon Semar Mbagun Khayangan. Sepertinya ini lebih cocok dengan kondisi kami yang baru saja selesai membangun kuti,” katanya.
Bangunan kuti seluas 9 x 5 m tersebut mulai dibangun pada bulan Juni 2021 dan selesai pada Januari 2022. Anggaran dana yang dibutuhkan sebesar Rp. 446.000.000 bersumber dari instansi pemerintah dan para donatur. Kuti terletak di lantai dua bangunan sebelah kiri dhammasala yang terdiri dari dua kamar, satu ruang tamu, dan teras.
Direktur Urusan dan Pendidikan Agama Buddha, Supriyadi menyampaikan rasa terima kasih atas terbangunnya kuti kepada umat Buddha Vihara Ananda. “Keberadaan kuti ini menjadi penyempurna dari pada keberadaan sebuah vihara. Karena itu saya berharap dengan adanya kuti ini, umat Buddha semakin aktif untuk datang ke vihara,” kata Supriyadi.
Selain itu, ia juga mendorong umat Buddha untuk tetap memegang teguh nilai Pancasila sebagai dasar negara serta mengungkapkan kesannya terhadap kehidupan masyarakat Temanggung. “Salah satu contohnya yang ada di Dusun Krecek, Kaloran itu nilai toleransinya masih sangat tinggi. Maka sempat saya hadirkan Kepala Badan Litbang untuk mengadakan jagong moderasi. Bahkan saya melihat hampir setiap tempat di Temanggung ini atap rumah antara warga satu dengan lainnya itu saling berhimpitan, tapi tidak terjadi keributan. Itulah bukti toleransi di Temanggung masih tinggi.”
Pesan Dhamma
Bhante Subhapanno, ketua Umum Sangha Theravada Indonesia juga memberikan apresiasi atas upaya umat Buddha untuk menyediakan kuti sebagai tempat tinggal bhikkhu. “Memang bukan suatu keharusan seorang bhikkhu tinggal di kuti, tetapi karena ini wujud kecintaan dan kedermawanan umat kepada para bhikkhu maka dibangunkan kuti, bahkan megah-megah bangunannya,” kata bhante.
Namun demikian, bhante juga menyampaikan adanya ketidakseimbangan antara jumlah kuti yang dibangun dengan jumlah bhikkhu yang ada saat ini. Terutama di Indonesaia jumlah bhikkhu masih terbilang kurang, oleh karenanya dalam kesempatan kali ini bhante menghimbau kepada para umat yang mempyunyai anak laki-laki untuk di dorong supaya tertarik menjadi bhikkhu.
“Merelakan anaknya menjadi bhikkhu juga sebuah bentuk dana, bahkan ini nilainnya luar biasa karena berdana untuk Buddhasasana. Kayaknya bagi orang tua yang mendanakan anaknya untuk menjadi bhikkhu akan mendapat jaminan, tapi yang menjamin diri sendiri, yaitu setelah meninggal akan lahir di alam surga.”
“Di temannggung ini ada sebanyak 87 vihara yang di ingat tapi bhikkhunya cuma ada dua, itu juga dua-duanya dikontrak di luar kota. Bhante Dhammakaro di Jakarta dan Bhante Guttadhammo di Batam. Saya berharap di Temanggung ini ada yang tertarik untuk menjadi bhikkhu kembali, karena memang para bhikkhu di tunggu kehadirannya tetapi ternyata jumlah bhikkhunya sedikit,” imbuhnya.
Abhiseka Sebagai Penyelarasan
Terkait dengan Abhiseka. Bhante menjelaskan bahwa abhiseka adalah salah satu cara untuk menyelaraskan atau mengharmonisasikan. Dalam pelaksanaan abhiseka biasanya bhikkhu akan membacakan paritta, membacakan sabda-sabda Sang Buddha yang bertujuan untuk menyelaraskan kepada alam dan kepada kehidupan semua makhluk. “Kalau hidup ini setara, serasi kan hidup ini nyaman. Karena semua orang bisa merasakan kehadiran orang lain, karena kita hidup tidak bisa sendiri. Hidup selalu membutuhkan orang lain, kalau kita bisa selaras kita akan nyaman.”
Salah satu bagian dari keselarasan adalah terwujudnya toleransi, baik kepada sesama manusia, alam, dan maklhuk-maklhuk lainnya. “Saya pernah mendengar dari beberapa sumber bahwa di Temanggung ini budaya puja yang saya maksudkan dengan budaya sesajian atau sesajen itu masih berlangsung, apalagi umat Buddha. Sajen itu dari kata sesajian, jadi seperti tadi berdana makanan atau minuman kepada para bhante itu juga termasuk sesajian. Itu juga sajen, disajikan dengan cara yang baik, ucapan yang baik, pikiran yang baik itu supaya selaras.”
“Bahkan alam pun di kasih sesajen, misalnya sumber mata air, atau tempat-tempat wingit. Ini adalah cara untuk menyelaraskan kehidupan dengan alam. Secara simbolik kita bisa memaknai sesajian, contoh bunga mawar itu indah, cantik, kalau kita pandang membahagiakan. Ini kita maknai sebuah keindahan daripada kebaikan, perlu dikembangkan. Bunga kantil, kita maknai jangan kintil, jangan melekat. Kalu kita tidak melekat pada sesuatu kita bisa melepas, artinya kita bisa mengurangi penderitaan. Bunga Kenanga, kita maknai sebagi kenangan. Mengenang yang baik-baik tentang siapa saja, jangan kita pikirkan keburukannya karena semua orang mempunyai sisi baik dan buruknya. Ada benar dan salah, karena kita belum menjadi orang yang suci sempurna.”
“Memang semua itu pada hakekatnya adalah ketidak kekalan atau anicca. Nah itulah makna daripada simbol-simbol sesajian yang semuanya itu mengarah kepada keselarasan dan keharmonisan. Dengan tujuan kebahagiaan bagi kita semua dan bagi semua maklhuk,” pungkas bhante. [MM]
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara