“Bu dokter ini sembakonya mau ditaruh di mana?” Tanya pengurus sebuah wihara kepadaku. “Oh bisa ditaruh di dekat ruang puja bakti dulu bapak, nanti kalau penerima sembakonya sudah datang baru dikeluarkan untuk dibagikan. Ingat pakai masker ya pak, trus jaraknya nya dijaga jangan sampai berkumpul dan bergerombol!” sahutku sambil berjalan keluar wihara. “Siap bu dokter!”
Begitulah mereka memanggilku. Aku Fitria, seorang dokter spesialis penyakit dalam. Pada masa merebaknya Corona di tempatku tinggal, banyak orang yang hidup berkesusahan, banyak pekerja yang di-PHK dan dirumahkan.
Banyak pembisnis yang mengalami kerugian dan kebangkrutan, seperti pembisnis di bidang pariwisata, florist dan bisnis besar kecil lainnya. Pekerjaan kantoran dan sekolah dirumahkan, Semua orang diminta untuk diam di rumah. Rumah sakit pun penuh dengan pasien yang harus ditangani. Para perawat bekerja tanpa lelah, membantu pekerjaan kami sebagai dokter.
Sekarang waktuku sering dihabiskan di rumah sakit, sangat jarang bertemu keluarga di rumah, apalagi punya “Me time”. Waktu luang menjadi amat sangat berharga, dan di saat itu lah aku bisa menemui keluargaku dan menyempatkan diri mengirim sembako membantu yang berkesusahan. Apalagi yang bisa aku lakukan untuk membantu mereka yang membutuhkan di zaman seperti ini.
Ketika mengunjungi wihara ini teringat aku di kala itu. Siang hari ketika aku bersama nenek di rumah. Ketika itu nenek nampak berpakaian rapih. Dia memakai baju kemeja berbahan tipis dan bercorak bunga-bungaan dengan bawahan kain batik yang diadikan semacam rok kebaya, kebaya pada masa itu.
Nenek memang senang sekali berbusana seperti itu dari sejak dahulu aku mengenalnya. Ada banyak sekali kain bercorak yang indah di lemari pakaiannya. Dia lebih senang dibelikan kain dari pada baju-baju kaos, blouse atau sebagainya. Nenekku senang pakai kebaya.
“Fi mau ikut emak…!!!” Begitu rengekku kepada nenek. Aku selalu saja ingin selalu bersama nenek. Kemana pun ia pergi aku ingin selalu berada di dekatnya. Aku menyayangi nenek lebih dari aku menyayangi orangtua ku sendiri. Bersamanya sungguh membuatku sangat bahagia.
Aku hanyak tak bisa lepas darinya, tidur pun bersama nenek. Teringat ketika tengah malam aku haus, yang kupanggil hanyalah nenek. Lalu ia akan terbangun dan membawakanku segelas air minum. Nenek idolaku sejak aku kecil.
“Iya boleh ikut, nanti tunggu orang jemput dulu!” kata nenek kepadaku. Aku senang sekali kalau diajak pergi dan dibolehkan ikut. Pernah suatu ketika nenek tidak mengajakku pergi. Aku menangis sejadi-jadinya, meronta di jalanan kampung, merengek di atas tanah sambil menangis memaksa ikut.
Nenek yang saat itu hampir naik angkot pun tak tega melihat cucu manjanya menangis, ia pun akhirnya menjemputku. Iya nenek sayang sekali denganku, cucu perempuan semata wayangnya yang dititipkan oleh anak perempuannya yang pergi ke kota demi mencari keberuntungan dan sesuap nasi.
Sesaat mobil sedan hitam mendarat di gang rumah kami. Para tetangga memberitahu nenek kalau orang yang menjemputnya sudah datang. “Yuk naik ke mobil!” ajak nenek. Nenek dan aku naik mobil mewah itu. Di dalam perjalanan, nenek diajak ngobrol oleh om dan tante yang tidak aku kenal.
Aku tidak terlalu mengerti dengan apa yang mereka bicarakan dan juga tidak terlalu peduli. Aku hanya sangat senang diajak pergi bersama nenek, melihat jalan raya yang penuh kendaraan dipayungi oleh bayangan pohon-pohon yang berbaris di pinggir jalan.
Sesaat saja kami sampai. Untungnya perjalanan itu hanya sebentar saja. Nenek tahu betul mengapa ia tidak mau mengajakku pergi jauh, karena aku sering mabuk jika naik mobil terlalu jauh.
Tempat yang kami kunjungi itu dipenuhi asap wangi. Bangunan dan temboknya bercat merah. Ada banyak lukisan dan patung-patung berpakaian seperti pendekar dan raja di zaman dahulu kala. Aku tak tahu di mana aku dibawanya saat itu.
Nenek mengambil beberapa batang dupa dan memberikan beberapa kepadaku. Nenek dan aku menyalakan dupa itu dan seketika saja asapnya berhampuran kemana-mana. Mataku terasa perih, dan air mataku mulai berhambur keluar. Kututup mataku sebentar dan memicingkannya perlahan, air mata yang keluar itu pun membantuku melihat melihat lebih jelas.
Nenek mulai menaikan dupanya dan berdoa. Ditancapkannya dupa tersebut satu persatu ke dalam sebuah wadah penuh abu. Aku tak mengerti apa yang dibicarakan nenek di dalam doanya. Aku hanya mengikutinya dan mendoakan semoga semua bahagia.
Selesai berdoa, nenek membawaku masuk ke dalam ruangan yang terdapat patung besar di dalamnya. Aku kenal rupa patung itu, dia rupa seorang Buddha Gaotama. Sosok seorang raja dunia yang berhasil menaklukan dirinya sediri melalui pelatihan yang tidak mudah. Aku tahu cerita ini, guru sekolah minggu di kampungku yang menceritakannya kepadaku.
Kemudian nenek bersimpuh di depan rupang Buddha itu. Aku mengikutinya, tapi aku tak bisa bersimpuh dengan baik. Lututku sakit dan berkoreng karena luka akibat terjatuh saat berlari. Nenek tahu aku tak bisa berlutut lama, setelah selesai berdoa dan menghormat ia pun dengan hening bangun mengangkat tubuhnya.
Waktu berlalu dan kini 20 tahun sudah aku kembali lagi ke tempat ini, mengingat nenek yang telah tiada meninggalkan seberkas kenangan indah. Setelah pulang dari tempat ini, nenek hanya bertahan beberapa tahun saja dari sakit kankernya, dan tepat ketika aku berumur 7 tahun ia meninggalkanku.
Aku membayangkan dirinya ketika di dalam kelenteng saat itu, berdoa agar diberikan kesehatan, agar bisa hidup lebih lama, agar bisa melihat cucunya bertumbuh besar dan menemaninya tidur.
Walaupun ternyata kehidupan tidak berjalan sesuai harapan nenek, namun sosok tegar dan semua cinta yang nenek berikan selalu hidup di dalam ingatanku. Seorang pewaris yang meneruskan cita-citamu agar kehidupan menjadi lebih baik.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara