• Monday, 28 November 2016
  • Vimala Viriya
  • 0

“Sebelum menulis, belajarlah dan berpikirlah.” (Boileau)

Kehidupan modern tidak bisa lepas dari media. Kehidupan sosial dan bermasyarakat tak pernah luput dari media, begitu juga dalam perkembangan agama Buddha. Himpunan Mahasiswa Buddhis (HIKMAHBUDHI) Kota Tangerang mengundang tiga narasumber, yakni Agus Hartono (Yayasan Institut Nagarjuna), Sutar Soemitro (pemimpin redaksi BuddhaZine), dan Arman Dhani (jurnalis dan penulis nasional) untuk menggali lebih jauh bagaimana peranan media dalam perkembangan agama Buddha. Sedangkan pembicara muda Randy Tunggeleng menjadi moderator. Seminar ini digelar di Pusdiklat Buddhis Sikkhadama Santibhumi, BSD City, Tangerang Selatan, Banten pada Minggu (13/11).

Membaca Dulu, Menulis Kemudian
Narasumber pertama, Agus Hartono lebih menerangkan dan memandang permasalahan media melalui pola kebiasaan yang ada pada suatu kelompok atau golongan, dalam hal ini bangsa Indonesia. Agus Hartono berpandangan bahwa masyarakat Indonesia masih sangat rendah dalam budaya membaca. Oleh karena itu, dibutuhkan teladan dan figur-figur yang senang membaca bagi bangsa ini.

Orang yang bisa dan biasa membaca, kebanyakan adalah orang yang bisa menulis, dan hal itu membuat seseorang memiliki wawasan dan inisiatif. Oleh sebab itulah, Agus Hartono menekankan, sebagai generasi muda kita harus bangkit, berinteraksi, bergaul, menjadi pribadi yang unggul, melalui berbudaya membaca, menulis, dan berinteraksi dengan wawasan. Dengan itu kita bisa membuat media yang mampu membantu orang mencapai kebebasan positif, secara pribadi maupun sosial.

Media Digital: Biaya Minimal, Dampak Maksimal
Narasumber kedua adalah Sutar Soemitro, pendiri dan pemimpin redaksi BuddhaZine. Sutar Soemitro adalah generasi yang memilih teknologi sebagai sebuah media. BuddhaZine yang berdiri independen dan non-sektarian kini mampu melayani lebih dari 50 ribu pengunjung setiap bulan, atau sekitar 1600 pengunjung setiap hari.

“BuddhaZine dengan pengeluaran yang sangat kecil, (dikerjakan oleh) tidak banyak orang, tapi bisa berkontribusi untuk orang banyak,” jelas Sutar. Dari sini kita bisa melihat potensi digital biayanya sangat murah, tidak memerlukan sumber daya yang banyak dan lebih mudah dikelola, tapi bisa menghasilkan dampak yang besar dan menjangkau orang lebih banyak.

“Namun tentu saja, untuk belajar meditasi, mendengarkan Dhamma tetap harus pergi ke vihara, dan membaca paritta juga ke vihara, bukan melalui online. Tetap ada pengalaman-pengalaman spiritual yang tidak bisa digantikan oleh digital,” Sutar mengingatkan.

Lawan Berita Kebencian dengan Berita Kebajikan
Narasumber terakhir, Arman Dhani menyampaikan, generasi saat ini lebih akrab dengan teknologi, berbeda dengan generasi lampau yang diperkenalkan oleh orangtuanya pada media cetak seperti koran dan majalah dinding. Saat ini orang lebih cenderung memilih untuk menggunakan teknologi dalam mengakses berbagai macam informasi. Dan isi terpenting dari media adalah konten, namun kebanyakan dari kita mengetahui berita hanya dari judulnya saja. Contoh seperti berita di Twitter, kita hanya mengetahui judul kemudian membagikannya dan kemudian mengomentari, padahal belum melihat isinya.

Menurutnya, ini kerap terjadi karena kemampuan digiteralisasi kita sangat rendah, orang hanya mau melihat yang tampak dan tidak mau melihat yang tidak tampak. Ini sangat disayangkan karena menjadi ladang yang dimanfaatkan oleh media-media yang suka menyebarkan berita bohong dan berita kebencian. Ada beberapa media yang tidak patuh pada standar klarifikasi, dan hal itu yang membuat media asal-asalan dalam membuat konten, yang mereka cari hanyalah “klik” dari orang-orang yang membuka situs tersebut sehingga kebencian di media sosial tetap terpelihara.

Bagi orang-orang yang ingin menyebarkan kebencian, mereka selalu mencari alasan dari sumber-sumber yang tidak benar untuk menimbulkan kebencian. Sedangkan informasi tentang kebajikan, sikap baik atau toleransi kurang diminati. Hal itulah yang dimanfaatkan oleh media untuk memecah belah dan mencari keuntungan. Banyak konten bahkan menyebarkan terorisme dan penebaran kejahatan. Menurut Arman, pola perekrutan terorisme saat ini dilakukan melalui media sosial, melalui konten kebencian.

“Oleh karena itu, kita jangan kalah dengan kebencian tadi. Meskipun banyak konten kebencian, melalui media kita perlu menyebarkan kebaikan secara konsisten,” ajak Arman.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *