“Mau dibuat seperti apa pun tata etika, kalau manusianya tidak diperbaiki bakalan percuma” ~ Semar
Merayakan Hari Raya Tri Suci Waisak 2562 BE/ 2018, umat Buddha Desa Sampetan, Boyolali menggelar pertunjukan wayang kulit dengan dalang Ki Eko Prasetyo Sabdo Gotama (2/6).
Ki Eko Prasetyo Sabda Gotama adalah alumni Pascasarjana, Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta sekaligus menjadi dalang dan seorang dosen Akademi Seni Mangkunegaran Surakarta dan STAB Smaratungga, Ampel, Boyolali.
Dalam pertunjukannya, Ki Eko Prasetyo membawakan lakon “Mbangun Candi Sapto Argo”. “Masyarakat sini itu beli tanah berupa perbukitan kecil yang akan digunakan untuk tempat semadi namanya Giri Sasana Semedi. Tapi masih dalam proses pembangunan, makanya meminta lakon mbagun candi,” tutur Ki Eko kepada BuddhaZine jelang pertunjukan digelar.
Menurut Ki Eko, cerita ini termasuk karangan baru, karena lakon “Mbangun Candi” di dalam konvensi wayang tradisi justru tidak menceritakan proses pembangunan candi, bahkan Ki Eko pun tidak paham kenapa judul dan ceritanya tidak nyambung.
Kisah berawal ketika Pandawa kalah dadu dengan Kurawa, yang akhirnya Pandawa diasingkan di hutan. Nah selama di hutan ini terjadi suatu peristiwa yang menyebabkan Prabu Newoto Kawoco meninggal.
Dari kisah inilah kemudian dikarang dan dibuat kisah baru oleh Ki Eko. Mbangun Candi Sapto Argo versi Ki Eko Prasetyo. Pada satu masa, Negara Amarta dilanda berbagai masalah. Banyak terjadi kerusuhan, pembunuhan, pencurian, dan korupsi yang merajalela dalam pemerintahan, sehingga kestabilan kerukunan masyarakat pun terganggu.
Baca juga: Wayang: Kisah Nyata atau Hanya Dongeng?
Melihat keadaan ini, Arjuna menjadi prihatin dan akhirnya meminta nasihat kepada Semar untuk memperbaiki keadaan negara Amarta. Semar menyarankan, yang harus didandani (diperbaiki) dalam hal ini adalah manusianya. Mau dibuat seperti apa pun sistem pemerintahannya, kalau manusianya tidak diperbaiki bakalan percuma.
Semar memberikan saran supaya masyarakat harus eling (ingat) ajaran para leluhur. Semar menjelaskan ajaran Buddha tentang dasar moral minimal yaitu Pancasila Buddhis. Pancasila sebagai disiplin moral yang pasif, yaitu tidak membunuh, tidak mengambil barang yang tidak diberikan, tidak bertindak asusila, tidak berkata yang salah, dan tidak mengonsumsi minuman atau obat-obatan yang dapat menyebabkan lemahnya, bahkan hilangnya kesadaran.
Sedangkan disiplin moral yang aktif yaitu melakukan kebajikan. Semar pun melanjutkan nasihatnya kepada Arjuna, bahwa minimal dengan menjalankan yang pasif saja sudah menjadikan Negara Amarta menjadi tenteram.
Setelah mendapatkan nasihat dari Semar, akhirnya Arjuna memiliki niat untuk membangun Candi yang fungsinya sebagai tempat Ndandani (memperbaiki) batin dan untuk Ngluhurake (meluhurkan) para leluhur dengan cara Pattidana, dan lain sebagainya, karena sudah terlalu lama masyarakat meninggalkan petuah atau nasihat para leluhur.
Niat baik Pandawa ternyata menimbulkan maksud buruk para Kurawa yang selalu menginginkan kematian Pandawa. Di pihak Kurawa, muncul pandita baru yang menawarkan diri membantu Kurawa untuk membunuh Pandawa. Pandita baru mengusulkan cara untuk membunuh dahulu Semar, karena menurut pandita baru, Semar adalah sumber kehidupannya Pandawa. Jadi ketika Semar mati maka Pandawa pun ikut mati.
Semar sebagai tokoh yang waskito (bijaksana) pun mengetahui tentang siasat pandita baru yang membantu Kurawa. Semar dengan kecerdikannya memerintahkan Hanuman untuk menyamar sebagai dirinya, maka berubahlah Hanuman menjadi Semar palsu yang akhirnya ditangkap oleh Kurawa dan dibawa ke kerajaan Hastina.
Candi
Sementara di sisi lain, Pandawa sebelum membangun candi meminta restu kepada para pepunden; Bisma dan Wiyasa. Setelah mendapat restu, mulailah Pandawa melakukan babat alas (membuka lahan) Kandowo Prastho untuk awal proses membangun candi.
“Kalau dalam versi umum, kalimosodo itu kalimat syahadat, kalau dalam versi Buddhis yaitu Pancasila Buddhis,” jelas Ki Eko.
Diceritakan Prabu Nahuso pada satu masa adalah pendiri Negara Prayasa, yang berkedudukan setara dengan Indra. Ketika bepergian Prabu Nahuso selalu meminta ditandu, yang membawa tandu adalah para Brahmana.
Suatu ketika, salah satu Brahmana pembawa tandu kelelahan sehingga tidak bisa berjalan dengan cepat, melihat hal ini Prabu Nahuso marah. Dengan menggunakan kaki kirinya Prabu Nahuso menendang bagian kepala Brahmana yang kelelahan tersebut hingga tersungkur ke tanah.
Dari perlakuan tersebut menjadikan Prabu Nahuso disabda bahwa kelak setelah kematian akan terlahir kembali menjadi binatang, akhirnya setelah kematiannya Prabu Nahuso terlahir menjadi ular raksasa yang hendak memangsa Puntodewo.
Baca juga: Menemukan Kembali Superhero Kita dengan Wayang Jataka
Kembali ke kisah Semar bajakan yang ditangkap Kurawa. Ketika Semar bajakan hendak dibunuh oleh pandita baru di Hastina, Semar bajakan pun menampakkan wujud aslinya menjadi Hanuman. Setelah kembali ke wujud asli, Hanuman langsung menyerang dan menggigit pandita baru dan akhirnya pandita baru berubah ke wujud aslinya menjadi Dasamuka.
Sempat terjadi percakapan pendek antara Hanuman dan Dasamuka. Hanuman menanyakan kenapa ternyata Dasamuka masih hidup? Dasamuka menjawab dengan tegas, ”Selama masih ada pohon serut dan burung perkutut, Dasamuka tidak bakalan mati.” Artinya, “Kemurkaan masih terus ada sebagai pelengkap kehidupan,” Ki Eko menjelaskan.
Akhir cerita, Hanuman kembali ke Pandawa dan para Pandawa melanjutkan pembangunan candi hingga Candi Sapto Argo terbangun sempurna. Selain sebagai penutup dalam rangkaian acara peringatan Hari Raya Waisak, pagelaran wayang ini juga merupakan wujud doa dan harapan umat Buddha Desa Sampetan agar pembangunan Giri Sasana Semedi bisa terlaksana dengan lancar dan terbangun dengan sempurna.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara