• Tuesday, 13 November 2018
  • Hartini
  • 0

Pada tanggal 29 September 2012, para penganut keyakinan yang fanatik telah menghancurkan 12 pagoda dan lebih dari 50 rumah di Ramu, Cox’s Bazar, di tenggara Bangladesh. Kekerasan tersebut dipicu oleh rumor bahwa seorang pemuda Buddhis telah melecehkan Quran yang suci di Facebook. Dikutip dari Dailystar.net.

Kita tinggal di dunia yang tak terbayangkan oleh kakek nenek kita – sebuah dunia yang jauh lebih terintegrasi serta saling berbagi, sebagai hasil dari perkembangan dan kemajuan teknologi modern yang membawa banyak harapan serta kemungkinan yang luar biasa. Tetapi juga sekaligus sebuah dunia yang dihadapkan pada berbagai kontradiksi yang mencemari serta menghancurkan janji-janji serta harapan yang sama.

Berbagai kekuatan yang saling bertentangan menarik kita ke arah keselarasan seraya secara simultan dan kasar mendorong kita untuk tercerai-berai dalam jalan yang intoleran serta penuh kekerasan.

Kemaslahatan masyarakat modern menggarisbawahi, yang tak pernah terjadi sebelumnya, kepedulian kita untuk hidup serta berpartisipasi dalam sebuah dunia yang saling terhubung dan berbagi, dalam berbagai tingkatan internasional, nasional, regional, lokal, serta individual.

Kita tidak lagi dapat mengisolasi diri ataupun mengabaikan perbedaan antara kita dengan ”yang lain.” Kecuali jika kita hidup dalam masyarakat yang homogen dan terisolasi, karena, jika tidak demikian adanya, maka kita harus berhadapan dengan aneka perbedaan dan keragaman di sekitar kita.

Pembantaian kaum Protestan Perancis pada hari Santo Bartholomeus pada tahun 1572, oleh Francois Dubois. Diambil dari Wikimedia.org.

Kita berkutat dan direbus dalam tungku ketidakmengertian, delusi, serta kebencian, ditaklukkan atau bergumul dengan penuh kesia-siaan berjuang mencari jalan keluar dari belenggu jerat ini. Sebagaimana tertera dalam Visuddhimagga, “Kekusutan dalam dan kekusutan luar – generasi ini telah terperangkap. Siapa gerangan yang berhasil menguraikan kekusutan ini?” Sebuah dialog yang tulus dan penuh keterbukaan antar kalangan akan dapat menjadi sebuah langkah yang moderat terkait dengan upaya “menguraikan (kekusutan)” ini.

Baca juga: Kemana Sikap Damai Umat Buddha?

Sejak masa yang tak lagi dapat diingat, kita telah terjangkit wabah berupa prasangka dan kesalahpahaman agama, kebencian, serta kekerasan yang ditujukan demi membela “kebenaran” dari agama “ku”, serta kebutuhan agar setiap orang mengikuti sistem kepercayaan yang sama. Tak ada satu agama pun yang kebal terhadap virus ini, yang muncul dari kemelekatan kita yang keras kepala, terhadap berbagai ilusi yang disebabkan oleh ketidaktahuan, delusi, dan kebencian.

Pengungsi kanak-kanak suku Rohingya, nyaris putus asa mengharapkan bantuan, menangis saat ia memanjat sebuah truk yang mendistribusikan bantuan bagi sebuah organisasi non pemerintah setempat, dekat kamp pengungsi Balukali di Bangladesh pada tanggal 20 September 2017. Diambil dari huffingtonpost.com.

Sebuah dialog lintas keyakinan bukan sebuah obat yang mujarab bagi semua masalah, tetapi bisa menjadi sebuah langkah penting dalam mengurangi kekerasan serta tekanan antaragama, seraya memungkinkan setiap pihak untuk saling menerima, memahami, serta bersuka cita dalam keragaman beragama. Tujuannya, adalah untuk bangkit melampaui penghargaan dan pemahaman bersama yang dangkal/bersifat hanya kulit luar saja, dalam rangka mengembangkan empati sejati terhadap agama lain.

Dalam pertemuan lintas agama, para partisipan dari berbagai tradisi religius hidup bersama, menjadi lebih dapat menghargai tentang betapa kaya dan tulusnya kehidupan spiritual dari yang lain, tanpa stereotip/penggambaran yang negatif.

Dialog lintas agama mencakup spektrum yang luas tentang berbagai penerapan, mulai dari ranah diskusi atau percakapan sederhana antar individu dari berbagai keyakinan, hingga pendekatan yang lebih akademis melalui studi komparatif.

“Dialog lintas agama merupakan hal yang tak terelakkan, karena tanpa perdamaian antarkomunitas religius, kedamaian di dunia adalah hal yang mustahil. Melalui dialog, pemahaman dan penerimaan terhadap nilai-nilai serta tradisi-tradisi yang lain akan dapat ditumbuhkembangkan; kebencian dan intoleransi akan dapat dikurangi.” (Ven. Hin Hung, penasihat senior pada Pusat Studi Buddhis Universitas Hongkong (Centre of Buddhist Studies, The University of Hong Kong). Buddhistdoor.net.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *