• Tuesday, 19 June 2018
  • Junarsih
  • 0

Bhante Dhammasubho memberikan ceramah Dhamma dalam acara Bhakti Sati Bhumi Sambarabuddhara (12/6) di pelataran Candi Borobudur.

“Keberuntungan itu buah dari kebajikan, yaitu kebajikan gemar berdana, memiliki moral yang baik, mempunyai pengendalian diri. Itulah kebajikan yang harus dimiliki kaum pria dan wanita. Karena itu, kalau berdana dengan keyakinan, kalau sila dilatih dengan baik, kalau samadhi dikembangkan dengan benar, ke mana pun pergi dilindungi para dewa,” kata Bhante mengawali ceramah.

“Negara ini akan kokoh apabila bangsanya tidak melupakan sejarah, rakyatnya tidak meninggalkan sastra budaya sendiri. Pemimpin-pemimpinnya punya malu berbuat jahat, takut akan akibatnya. Doa-doanya, semoga hujan turun tepat pada musimnya, semoga tetumbuhan tumbuh dengan subur, semoga dirinya maju dengan kesan dan damai, semoga pemerintah, para raja berlaku jujur, semoga para aparat, para birokrat, para penjahat, para pejabat mau bertirakat, semoga para penjahat segera bertobat, semoga para korban segera mendapat pertolongan, semoga semua makhluk berbahagia,” tambah Bhante.

Bhante melanjutkan, bahwa “Kita butuh sinergi untuk menyamakan pola pikir, menyamakan suara hati. Bahasa itu banyak tapi sering berbeda-beda. Satu kata yang sama dengan nada yang berbeda, artinya pun berbeda. Tapi kalau kita bicara dengan suara hati, dengan bahasa apa pun pasti sama. Itulah pentingnya hati. Seperti orangtua yang memberikan ucapan “hati-hati” untuk anaknya yang akan bepergian. Oleh karena itu diperlukan bahasa hati, suara hati itu sama untuk menjadikan manusiawi.”

Baca juga: Kemeriahan Waisak di Candi Borobudur

“Nah Bapak/Ibu/Saudara sekalian, pada persembahan ini kita melakukan puja manta. Puja itu hormat dan manta adalah suara indah. Para bhikkhu mengawali puja ini dengan suara indah atau samanta,” “Kalau kita mengucapkan suara indah bersama-sama, suaranya menembus ke cakrawala. Sesuatu yang disentuh dengan lembut, dengan indah, dia juga akan menjadi indah. Kalau ngecat pakai kuas, ngecatnya halus, hasilnya halus. Kalau dengan kasar, set… set… set…., hasilnya kasar.

Ketika Anda make up dengan halus, hasilnya halus. Tapi kalau dengan kasat set…set…ser…, jadinya kuntilanak.” “Nah, maka dari itu Bapak/Ibu/saudara sekalian, kita akan membaca Karaniya metta sutta. Ini merupakan salah satu khotbah Buddha yang paling banyak dibaca di dunia, paling sering diulang. Dan inti dari Karaniya metta sutta ini menciptakan suasana hati yang damai dengan wujud cinta kasih. Nanti buahnya apa? Kebahagiaan yang tinggi.”

Itu digambarkan seperti ibu yang melindungi anak tunggalnya. Memberikan apa yang anaknya butuhkan tanpa syarat, tak terkecuali air susunya (ASI) demi pertumbuhan anaknya. “Itulah makanya di dalam Karaniya metta sutta,  Buddha mengatakan metta yang saya maksud adalah seperti seorang Ibu yang melindungi anak tunggalnya, tanpa syarat. Diberikan kepada siapa? Kepada semesta, makanya dituliskan sabbe satta bhavantu sukkhitatta.”

“Dari khotbah Buddha dalam Tripitaka yang sebesar Borobudur, hanya di dalam Karaniya metta sutta kita temukan sabbe satta bhanvantu sukkhitatta diulang sampai dua kali. Begitu pentingnya sabbe satta bhavantu sukkhitatta, semoga semua makhluk berbahagia.”

“Saudara-saudara sekalian, inilah yang dibutuhkan dunia saat ini, suara hati. Suara yang indah, suara yang menyenangkan, menenangkan, menyehatkan, menguatkan, menenteramkan. Inilah yang dinamakan manta dalam bahasa Pali, mantra dalam bahasa Sanskerta, dan montro dalam bahasa Jawa, mantre dalam bahasa Bali.”

“Kita mengambil tempat di Borobudur yang merupakan sinopsis dari Tripitaka. Itu isinya Tripitaka. Kalau sampean melihat candi itu cuma tumpukan batu-batu, sampean ndak ngerti. Semua sudut bisa bicara, Candi Borobudur dibangun atas tiga asas pemikiran, kognitif, afektif, dan normatif.”

Bhante juga menuturkan beberapa aspek untuk pembangunan Candi Borobudur, “Aspek kognitif dari candi ini adalah dibangun dengan inovatif, teknologi tingkat tinggi. Zaman dulu bisa seperti ini, numpuk batu setinggi itu.” “Yang kedua, afektif dari ilmu kesatuan, ilmu humanity, ilmu kemanusiaan, maka semua sudut bisa bicara karena muatan seni, pahatan dan ukiran. Seni, sentuhan hati. Maka seni menjadi ukiran martabat suatu bangsa.

Semakin halus moralnya, semakin tinggi karyanya. Kalau lagi sabar, damai, ayem, kerjanya apa saja karyanya indah. Tapi kalau lagi emosi, bahasa Jawa ndesi lagi amsyong, kerja apa saja tidak indah.” “Yang ketiga yaitu normatif, kerohanian. Candi sebagi tempat ibadah massal. Candi ada tiga macem, seperti candi untuk meditasi seperti Candi Mendut dan Candi Gedongsongo, yang ada ruangan di dalam. Ada juga untuk krematorium bila candi puncaknya datar seperti di Candi Panataran Blitar.

Baca juga: Arkeolog Menjawab Klaim Borobudur Sebagai Peninggalan Nabi Sulaiman

Ketiga, ada candi bentuk kubah punya empat pintu sebagai tempat ibadah. Bisa melakukan puja dari empat sisi.” “Candi Borobudur adalah sinopsis dari kitab suci Tripitaka. Ketika mau membangun diawali dengan muatan-muatan dengan kajian secara ilmiah, humanity, kemanusiaan, kemoralan, dan spiritual.” “Meski terlalu sering digunakan untuk upacara dan acara. Meski upacara tidak seperti ini, kadang-kadang untuk launching program, untuk arak-arakan, doa politik. Maka beruntunglah dan berbahagialah yang turut cara ini. Karena ini yang dibutuhkan dunia saat ini.

“Tapi kenapa Bhante ini yang ikut sedikit? Justru dari yang sedikit ini menjadi khusyuk. Kalau banyak ya demo.” Candi Borobudur pernah ditinggalkan, atau ditinggalkan pada zamannya, mungkin runtuh, atau karena tangan jahil pada zamannya. Tapi ada zaman lain yang mengatakan bahwa ada bencana alam, letusan Gunung Merapi pada abad ke-9, sehingga materialnya menutupi candi-candi di Jawa Tengah dan penduduknya harus mencari hunian baru ke Jawa Timur. Kerajaan Jawa Kuno yang membangun Borobudur, membangun paradaban baru di Jawa Timur mendirikan Kerajaan Kediri.

Dengan waktu yang sangat lama, roda berputar, bahasa spiritual sirkuler, berbeda dengan bahasa IT linier. Tapi beda dengan spiritual, sirkuler. Itulah bedanya orang IT, scientist berpikiran berbasis garis lurus linier, yang ada awalnya akan berakhir. Beda dengan orang spiritual garis sirkuler, apa yang ditemukan di awal akan ditemukan lagi. Begitu pula dengan orang-orang spiritual berlaku hati-hati dalam bertindak karena perbuatan yang dilakukan akan kembali pada dirinya sendiri.

“Maka akhirnya Candi Borobudur ditemukan dan ada satu pesan spiritual Pak Pendeta kalau tidak salah, dulu di Jawa, Raden Panji Sosrokartono meninggalkan surat wasiat sebelum wafat. “Supaya Indonesia menjadi maju, menjadi bangsa yang kembali kebesarannya. Candi Borobudur harus dibangun.” Surat wasiat ini ia tulis dan berpesan jangan dibaca sebelum meninggal.

Pada 14 Februari 1952, pada era kemerdekaan dibuka. “Itulah sebabnya, menjadi catatan penting, Candi Borobudur ini harus dibangun kembali, harus difungsikan kembali sebagai objek spiritual, pemancar seperti IT, keseluruh cakrawala dunia, dan suara Anda nanti akan didengar di seluruh dunia,” pungkas Bhante mengakhiri ceramahnya.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *