• Saturday, 9 June 2018
  • Junarsih
  • 0

Acara dihadiri oleh umat Buddha sekitar Kabupaten Wonogiri dan mahasiswa dari berbagai kampus PTAB ini merupakan puncak peringatan Waisak mahasiswa STAB Negeri Raden Wijaya. Sebagai pembukaan, mahasiswi STAB Negeri Raden Wijaya mempersembahkan lancaran Wonogiri dan tari Gambyong.

Senin (4/6) Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB) Negeri Raden Wijaya menyelenggarakan Dharmasanti Waisak 2562 BE/2018 dengan tema “Kebhinnekaan dalam Spiritual, Seni, dan Budaya”.

“Mahasiswa sangat mandiri dalam membangun kegiatan, karena tanpa campur tangan dari para dosen. Saya mengharapkan dari kegiatan malam ini, kemandirian mahasiswa lebih terbentuk, serta Dharmasanti Waisak tahun 2019 bisa lebih ditingkatkan,” tutur Hesti selaku ketua STAB N Raden Wijaya.

“Menyadari kelahiran sebagai manusia menjadi benar-benar bernilai, berharga. Buddha mengatakan bahwa betapa mulianya terlahir sebagai manusia, menyadarkan atas kelahiran kita sebagai manusia. Sehingga saat menjalani kehidupan, kita menapaki jalan besar menuju visi jalan utama, yaitu ‘kebebasan’,” ucap Bhante Sasana Bodhi mengawali pesan Dhamma-nya.

“Pendidikan sebagai jalan awal yang disertai komitmen dan kesungguhan. Pendidikan akan mencetak Dharmaduta yang mutlak dibutuhkan dunia. Bukan berawal ingin meng-agamakan Buddha untuk umat dunia. Tapi hasrat utamanya adalah membuat cahaya Dharma ini terang benderang, sehingga sebagai sumber pencerah setiap insan.”

“Buddha sendiri menunjukkan sifat kebijaksanaannya bagi seluruh makhluk. Karena mereka puya latar belakang dan karakter yang berbeda, dan hanya ketika seorang siswa mampu menembus makna Dharma, maka akan menemukan sisi universal Dharma itu sendiri sehingga perasaan aneh atau negatif tidak ada, meski saat bersama-sama dengan agama yang berbeda.”

“Sebagai penganut Buddha, hendaknya dapat menumbuhkan rasa persahabatan pada siapa saja. Apa pun bahasanya, budaya, dan latar belakangnya. Kita bisa menjadi kalyanamitta, sahabat baik bagi semua makhluk,” tegas Bhante.

Sikap toleransi sebenarnya juga sudah ada sejak dahulu, “Contoh teladan tentang toleransi terdapat dalam Pilar Asoka yang merupakan kesadaran akan kebhinnekaan dan pluralitas ditegakkan kembali. Pilar itu berbunyi: Barang siapa yang ingin mengagungkan agamanya sendiri dan menjelekkan agama lainnya. Sama dengan merendahkan agamanya sendiri,” tutur beliau.

“Leluhur kita juga menegaskan sikap toleransi yang baik. Hal ini bisa dilihat di kompleks Candi Prambanan. Di sana ada Candi bercorak Buddha dan Hindu, yang dahulunya Pramordawardhani dari Syailendra yang beragama Buddha menikah dengan Rakai Pikatan yang beragama Siwa, membangun Candi Plaosan dan Candi Sewu,” pungkas Bhante.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *