• Sunday, 23 September 2018
  • Sasanasena Hansen
  • 0

Apabila di Barat kita mengenal hari Thanksgiving, maka di Timur ada Mid Autumn Festival atau Festival Pertengahan Musim Gugur (中秋節 Zhōngqiū Jié). Festival ini jatuh pada tanggal 15 bulan 8 penanggalan lunar China dan dirayakan oleh orang-orang Tionghoa di seluruh dunia.

Tidak hanya itu saja, bahkan festival ini juga dirayakan di beberapa negara di Asia Tenggara terutama di Vietnam, Malaysia, dan Singapura. Makna perayaan ini hampir mirip dengan Thanksgiving yaitu menyambut hasil panen yang berlimpah.

Selain itu, Festival Musim Gugur juga merayakan kebersamaan bersama keluarga dimana anggota keluarga akan pulang dan berkumpul serta berdoa bersama.

Asal 

Festival Musim Gugur merupakan salah satu festival tertua yang diadakan oleh manusia. Sejarah mencatat festival ini telah dirayakan sejak jaman Dinasti Shang (1600-1046 SM). Meskipun demikian, perayaan ini baru mulai populer di masa Dinasti Tang (618-907 M).

Pada perayaan ini, bulan memegang peranan penting. Contohnya bagi orang-orang Zhuang, mereka percaya bahwa matahari dan bulan ada sepasang suami-istri sedangkan bintang-bintang adalah anak-anak mereka. Ketika bulan penuh, maka bulan sedang hamil. Sedangkan bulan berbentuk sabit, artinya bulan telah melahirkan anaknya (bintang). Kepercayaan ini begitu mendalam sehingga para wanita akan memberikan persembahan kepada bulan.

Persembahan juga ditujukan kepada Dewi Bulan Chang’e. Mitos terkait Chang’e dan penyembahan bulan memiliki dua versi. Yang pertama, Chang’e adalah istri dari Hou Yi – seorang pahlawan dengan keahlian memanah yang lihai. Suatu ketika, muncul 10 matahari yang menyebabkan kesulitan bagi banyak orang. Huo Yi memanah 9 dan menyisakan 1 matahari.

Atas aksi heroiknya, sesosok dewa memberikan ramuan hidup abadi kepada Huo Yi. Huo Yi yang tidak ingin hidup abadi seorang diri, meminta istrinya untuk menyimpan dan merahasiakan ramuan tersebut. Tetapi rahasia ini diketahui Peng Meng, salah satu murid Huo Yi. Saat Chang’e seorang diri di rumah, Peng Meng datang dan memaksa Chang’e untuk menyerahkan ramuan tersebut. Tetapi Chang’e menolak dan meminumnya sendiri.

Akhirnya Chang’e menjadi abadi dan terbang ke langit untuk menjauhi Peng Meng. Namun karena tidak ingin berjauhan dengan suaminya, Chang’e memilih berdiam di bulan. Huo Yi yang mengetahui hal itu merasa sedih. Untuk memperingati istrinya, dia mempersembahkan kue dan buah-buahan kesukaan istrinya di halaman. Tetangga yang mengetahui kisah ini mulai mengikuti ritual Huo Yi dengan memberikan persembahan kepada bulan.

Versi kedua menceritakan bahwa setelah Huo Yi menjadi pahlawan, dia diangkat menjadi kaisar. Tetapi sayangnya dia berubah menjadi beringas dan kejam. Agar bisa hidup abadi, dia meminta Xiwangmu obat umur panjang. Chang’e yang tidak ingin rakyat menderita berkepanjangan, meminum obat itu dan terbang ke bulan. Huo Yi yang murka tak lama kemudian meninggal. Rakyat yang bahagia kemudian mulai memberikan persembahan sebagai ungkapan syukur dan terima kasih atas pengorbanan Chang’e.

Kelinci bulan

Dalam mitologi China, terdapat juga legenda mengenai seekor kelinci yang tinggal di bulan sambil memukul lesung untuk membuat ramuan obat (玉兔搗藥 Yutu Daoyao). Legenda ini tampaknya berakar dari cerita Buddhis yaitu Sasa Jataka (No. 316). Jataka ini menceritakan tentang seorang brahmana yang meminta beberapa hewan untuk memberikan makanan. Hewan-hewan ini antara lain seekor monyet, serigala, berang-berang, dan kelinci. Semua hewan mampu membawakan makanan tetapi tidak dengan si kelinci.

Si kelinci memaksa untuk mengorbankan dirinya sendiri dan terjun ke dalam bara api di hadapan brahmana. Ajaibnya, api itu tidak panas dan ternyata brahmana itu adalah jelmaan Dewa Sakka yang berniat menguji nilai kebajikan para hewan ini. Atas sikap rela berkorbannya, Dewa Sakka menempatkan gambaran kelinci di bulan.

Dalam legenda versi China, kelinci ini tinggal di bulan sambil membuat ramuan obat dan menemani Dewi Bulan Chang’e. Cerita serupa tentang seekor kelinci di bulan juga dapat ditemukan dalam cerita-cerita rakyat di Korea, Jepang, Indian Amerika, dan Aztec/Meksiko.

Kue bulan

Salah satu penganan yang wajib ada dalam perayaan Musim Gugur adalah kue bulan (mooncake atau 月餅 yuebing). Secara tradisional, kue ini berbentuk bulat atau kotak dengan kulit luar crust dan isian lembut didalamnya. Isian ini bisa berupa pasta biji teratai, kacang manis, dan jujube.

Kadang ada pula diisi kuning telur bebek di dalamnya untuk menyerupai bulan purnama. Masing-masing daerah di China memiliki ragam variasi kue bulannya sendiri seperti versi Teochew, versi Kanton, dan versi Taiwan. Sekarang ini populer pula versi modern kue bulan dengan kulit berwarna putih salju atau kulit jelly.

Di atas kue bulan biasanya terdapat motif yang menggambarkan simbol-simbol Tionghoa atau didesain dengan kaitan Perayaan Musim Gugur. Kue ini biasanya akan dipotong kecil-kecil dan dimakan bersama dengan keluarga atau sahabat ditemani dengan teh hangat dan buah-buahan.

Upasaka Sasanasena Seng Hansen

Sedang menempuh studi di Australia.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *