Puncak Tri Suci Waisak Nasional 2557 BE/2013 di Candi Mendut-Borobudur tanggal 25 Mei 2013 yang diselenggarakan oleh Perwakilan Umat Buddha Indonesia (Walubi) masih jadi bahan obrolan sebagian orang. Sayangnya bukan kesan positif, melainkan kesan negatif.
Walubi memulai upacara Waisak dengan melakukan upacara menyambut detik-detik Waisak pukul11.24.39 WIB di Candi Mendut. Setelah makan siang, tepatnya pukul 13.30, dilanjutkan dengan prosesi dari Candi Mendut ke Candi Borobudur.
Penjagaan ekstra ketat diberikan, terlebih akibat sedang panasnya isu Rohingya yang dikhawatirkan berimbas kepada umat Buddha di Indonesia. Polisi bersenjata laras panjang berdiri di sisi jalan sepanjang rute prosesi. Memasuki kawasan candi, antrean gerbang mengular sangat panjang, apalagisemua peserta prosesi harus melewati dua buah metal detector.
Peserta prosesi berkumpul di tenda majelis masing-masing hingga pukul 18.00. Ada 9 tenda lengkap dengan altar masing-masing di zona dua candi. Sedangkan acara puncak di altar utama di pelataran candi dimulai pukul 7 malam. Untuk masuk ke area altar utama, kembali harus melewati metal detector. Antrian yang lebih padat dan semrawut pun tak terelakkan, apalagi kali ini metal detector cuma satu.
Begitu masuk ke pelataran altar utama, ternyata sudah penuh. Ironisnya, karpet yang seharusnya menjadi tempat duduk para umat Buddha justru dipenuhi turis, sebagian besar anak muda yang tidur-tiduran sambil bercanda ria. Jumlah turis bahkan jauh lebih banyak dibandingkan umat Buddha yang akan melakukan puja bhakti. Para turis datang tidak hanya dari sekitar Jawa Tengah dan Yogya, namun juga banyak yang datang dari Jakarta. Tampaknya, tahun ini adalah tahun teramai perayaan Waisak di Candi Borobudur.
Acara yang seharusnya dimulai pukul 7 malam harus ditunda karena menunggu kedatangan Menteri Agama Suryadarma Ali. Ketika hal itu diumumkan lewat pengeras suara, langsung disahuti sorakan “Huuuu…”. Sementara hujan mulai turun. Suryadarma Ali kembali dapat sorakan serupa ketika datang dan hendak memberikan sambutan. Namun dapat dipastikan, sorakan tidak mengenakkan tersebut lebih banyak berasal dari para turis, bukan dari umat Buddha.
Seperti juga dilansir oleh okezone, saat sesi sambutan-sambutan, pengunjung pun terdengar tak bisa tenang. Di sana-sini terdengar suara teriakan dan tawa mereka. Usai sambutan-sambutan, acara dilanjutkan dengan pembacaan doa dari pimpinan sembilan majelis. Hujan masih turun deras, dan mirisnya pada saat pembacaan doa, pengunjung meringsek naik ke panggung. Mereka naik ke panggung, berusaha berada sedekat mungkin dengan para bhiksu dan memotretnya. Hal ini tentu mengganggu pembacaan doa, apalagi mereka memotret dengan menggunakan flash. “Tolong jangan naik ke altar, ini tempat yang tidak boleh dinaiki,” kata seorang bhiksu kepada pengunjung. “Bila ingin berfoto, tolong memfoto dari jauh, para bhiksu sedang berdoa,” imbuhnya. Namun peringatan itu diabaikan para pengunjung.
Kejadian lebih ricuh lagi terjadi saat ritual pradaksina, yaitu ritual para bhiksu mengelilingi Candi Borobudur sebanyak tiga kali. Pengunjung semakin mendekat ke arah para bhiksu, mencoba mengikuti mereka melakukan pradaksina. Lagi-lagi himbauan dari pembawa acara diabaikan begitu saja.
Usai pradaksina, harusnya dimulai acara yang paling ditunggu-tunggu, yaitu pelepasan 1.000 lampion. Inilah tujuan utama banyak turis itu menyemut ke Borobudur kali ini. Bahkan mereka sudah mulai menyemut ke area pelepasan lampion di pelataran candi, di ujung pojok belakang altar utama ketika acara utama masih berlangsung di altar utama. Hujan deras yang terus mengguyur tak membuat mereka berlalu.
Tapi ternyata apa yang mereka idam-idamkan tak menjadi kenyataan. Hujan yang terus mengguyur membuat pelepasan lampion gagal dilakukan. Mereka pun kecewa, dan ada pula yang marah. Terlebih mereka telah menunggu berjam-jam di bawah guyuran hujan.
Kericuhan yang terjadi dalam Waisak kali ini mendapat sorotan dari banyak pihak. Banyak yang menyayangkan acara ritual Waisak justru menjadi terganggu karena membludaknya turis.
Ve Handojo, seorang blogger, dalam blognya menulis, “Bayangkan foto-foto lampion terbang di malam yang indah di atas langit Candi Borobudur diunggah dan dimuat di media internasional setiap tahun. CNN memberitakannya, media Travel+Leisure juga memberitakan hal serupa, dan banyak lagi. Bayangkan sebuah keterangan foto yang berbunyi: ‘Sebuah malam Waisak yang penuh kedamaian di negara berpopulasi Muslim terbesar di dunia’. Tidakkah kita menginginkannya?”
Ve Handojo tidak setuju jika turis dibatasi atau dilarang akibat terjadinya kericuhan seperti ini. “Yang kita butuhkan adalah taktik manajerial,” usul Ve. Ia mengusulkan adanya rekomendasi dan identitas resmi bagi fotografer dan videografer yang ingin mengambil gambar.
Lain lagi dengan komentar Dini (25), seorang karyawan yang juga berasal dari Jakarta, seperti dilansirokezone. Dini, yang datang ke Borobudur bersama teman-temannya, mengaku memang kecewa pelepasan lampion tidak jadi dilakukan. Namun, dia lebih kecewa melihat kelakukan wisatawan di acara sakral ini. “Ini kan acara sucinya umat agama lain, seharusnya kita lebih menghormati. Mungkin sebaiknya tahun depan tempat atau waktu penyelenggaraan pelepasan lampion dibedakan dari prosesi Waisak lainnya,” ujarnya.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara