Kabupaten Purworejo merupakan wilayah yang berada di Jawa Tengah bagian selatan tepatnya antara sungai Progo dan Cingcingguling.
Berdasarkan catatan sejarah yang termuat dalam Sejarah Kabupaten Purworejo-Geografis dan Topologi Kabupaten Purworejo, wilayah ini dikenal sebagai bagian dari Kerajaan Galuh. Oleh karena itu wilayah ini disebut sebagai wilayah Pegaluhan atau Pengalihan.
Perubahan nama dari “pengalihan” berubah menjadi Pagelen dan terakhir kali berubah menjadi Bagelen. Tanggal 5 Oktober 901 M, merupakan peristiwa penting bagi titik awal dari Kabupaten Purworejo yaitu pematokan tanah perdikan Shima yang dikukuhkan dengan sebuah Prasasti yang disebut sebagai prasasti Kayu Ara Hiwang.
Prasasti ini ditemukan di bawah pohon Sono yang berada di dusun Boro Wetan Kecamatan Banyuurip. Prasasti tersebut mengungkapkan bahwa pada tanggal 5 Oktober 901 M, adanya peristiwa peresmian sebagai adanya wilayah perdikan Shima.
Wilayah perdikan tersebut meliputi sawah, padang rumput, goa, tanah garapan, dan segala isinya. Sebelum dikenal dengan nama Purworejo, wilayah Kabupaten Purworejo lebih dikenal sebagai wilayah Bagelen.
Dalam perang Diponegoro pada abad ke-19, wilayah Bagelen dijadikan sebagai wilayah keresidanan sebagai kekuasaan Hindia-Belanda dengan ibukota yaitu Kota Purworejo.
Adanya berbagai pertimbangan maka pada tanggal 1 Agustus 1901 Karesidenan Bagelen diganti menjadi Karesidenan Kedu dan menjadi Kabupaten Purworejo. Mulai saat itu ditetapkanlah tanggal 5 Oktober merupakan Hari Jadi Kabupaten Purworejo. Peristiwa ini ditetapkan oleh Sidang DPRD Kabupaten Purworejo pada tanggal 5 Oktober 1994.
Purworejo terbagi atas 16 kecamatan yang di antaranya terdapat komunitas umat Buddha.
Keberadaan agama Buddha di Purworejo
Menurut catatan ketua Vihara Buddhaloka Purworejo, Yerry Suryawijaya, perkembangan agama Buddha di Purworejo berawal dari datangnya Bhikkhu Narada pada sekitar tahun 1961-1963 ke Purworejo.
Bhikkhu Narada sering melakukan perbincangan seputar ajaran Buddha kepada beberapa umat yang ada saat itu.
Dalam catatan disebutkan bahwa perbincangan umat dengan Bhikkhu Narada menjadi awal ketertarikan umat yang akhirnya menjadi tokoh penyebaran agama Buddha sampai ke pelosok-pelosok desa di Kabupaten Purworejo.
Di Purworejo ini jugalah Bhante Jinaphalo (bhikkhu tertua di Indonesia yang meninggal pada usia 113 tahun) merupakan putra Purworejo yang membabarkan Dharma, juga menjadi guru pertama meditasi Bhante Uttamo, Kepala Vihara Samaggi Jaya, Blitar, Jawa Timur.
Salah satu tokoh tersebut adalah Romo Wiryowratmoko, seorang tokoh dan sesepuh umat Buddha yang sangat dikenal olah umat yang ada di pelosok desa Kabupaten Purworejo.
Semenjak itu perkembangan umat di Kabupaten Purworejo mulai bertumbuh dengan dibangunnya beberapa vihara yang tersebar di beberapa kecamatan.
Dari 16 kecamatan di Purworejo ada lima kecamatan yang terdapat komunitas umat Buddhanya saat ini, yaitu; Kecamatan Purworejo, Kecamatan Kutoarjo, Kecamatan Gebang, Kecamatan Bagelen, dan Kecamatan Purwodadi.
Menurut data penyuluh agama Buddha di Purworejo dan juga data dari Gunadi (tokoh umat Buddha yang melakukan pendataan), terdapat 12 vihara di seluruh Kabupaten Purworejo dengan jumlah umat Buddha sekitar 394 jiwa.
Kecamatan Bagelen menjadi kecamatan yang mempunyai jumlah umat dan vihara terbanyak di Kabupaten Purworejo. Di Kecamatan Bagelen terdapat enam vihara yang tersebar di beberapa desa dan dusun, yaitu; Vihara Viriya Giri Dusun Kaliagung, Desa Sokogung, Vihara Giri Shanti Dusun Sekangun Desa Sokoagung, Vihara Dhamma Guna Dusun Sekuning Desa Hargorejo, Vihara Vimalakirti MNSBDI Setoyo Desa Hargorejo, Vihara Vimalakirti MNSBDI Ngargo Desa Hargorejo, Vihara Vimalakirti MNSBDI Sekuning Desa Hargorejo. Jumlah total umat Buddha di Kecamatan Bagelen sebanyak 322 jiwa.
Sementara itu di Kecamatan Purworejo terdapat tiga vihara dengan jumlah umat sebanyak 37 jiwa.
Kecamatan lain seperti Kecamatan Gebang 1 vihara dengen jumlah umat 18 jiwa, Kecamatan Kutoarjo 1 vihara dengan 14 umat. Sedangkan jumlah terkecil berada di Kecamatan Purwodadi yaitu 1 vihara hanya ada 3 umat.
Umat Buddha Purworejo terbagi dalam tiga majelis pembina yaitu; Majelis Agama Buddha Theravada Indonesia (Magabudhi), Majelis Nichiren Shoshu Buddha Dharma Indonesia (MNSBDI); dan Majelis Tridharma Indonesia (MTI).
Secara dinamika perkembangannya, keadaan umat Buddha Purworejo saat ini nampaknya mengalami penyusutan yang cukup drastis selama kurun waktu 50 tahun sejak mulai berkembangnya agama Buddha di Kabupaten Purworejo.
Seperti yang terjadi di Dusun Kaliagung, Desa Sokoagung, Bagelen. Wagiyan (54), salah satu umat Vihara Viriya Giri Dusun Kaliagung menuturkan bahwa sekitar tahun 70’an umat Buddha di dusunnya merupakan umat mayoritas dari jumlah total penduduk dusun.
Akan tetapi saat ini justru berbalik menjadi umat minoritas.
“Menurut cerita sesepuh, dulu sekitar tahun 70’an di Dukuh Kaliagung ini 90% warganya pemeluk agama Buddha. Sewaktu di sini masih mayoritas pemeluk Buddha jumlah KK 150’an, dan yang pemeluk agama lain bisa dihitung jari. Tapi sekarang dari total 180 KK yang umat Buddha tinggal 30’an KK. Jadi di sini penurunannya jumlah umat Buddha sangat tajam,” katanya kepada tim BuddhaZine pada Minggu (17/04).
Hal yang sama juga dinyatakan oleh Gunadi yang berdomisili di Kecamtan Purworejo. “Di tempat tinggal saya, di Purworejo kota, jumlah umat Buddha mengalami penurunan yang sangat drastis sekali.
“Saya cross check data statistik nasional tahun 2019 itu masih ada sekitar 900 orang yang tercatat beragama Buddha di KTP, tetapi tahun ini saya mengumpulkan data dari masing-masing sekte yang ada di Purworejo hanya ada 400 orang,” ungkapnya.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara