• Tuesday, 26 October 2021
  • Ngasiran
  • 0

Sudah tiga bulan terakhir, hari-hari Dusun Krecek diwarnai lantunan musik gamelan. Anak-anak yang jumlahnya 30 orang lebih berlatih menabuh gamelan tiap hari Jumat sore dan Minggu malam, pemuda berlatih pada Jumat dan Senin malam, sedangkan kelompok orang dewasa Sabtu dan Selasa malam. 

Tiga kelompok karawitan itu dibimbing oleh dua orang pelatih. Anak-anak dan pemuda dilatih Fiqi Farcha Dimas, seorang seniman alumni Universitas Negeri Semarang (Unnes). Sedangkan kelompok dewasa dibimbing oleh Eko Prasetyo, seorang dalang alumni pasca sarjana pedalangan Institut Seni Indonesia (ISI), Solo.  

Jagongan Budaya membicarakan kesenian dan nilai-nilai yang diwariskan pada anak cucu oleh para narasumber. Sumber foto: Hendri Ang

Di luar gamelan, juga ada latihan tari yang dilakukan tiap Jumat malam dan Selasa malam. Peserta latihan tari pun lebih banyak, sekitar 50 orang dari semua usia. Remaja, pemuda, dan orang dewasa. Mereka dibimbing oleh Wilis Rengganiasih, seorang penari juga pendiri sanggar seni Omah Sewu Sirah, Solo.

Baik masyarakat Dusun Krecek maupun para pelatih mempunyai komitmen bersama untuk melestarikan seni tradisi. Seperti yang diungkapkan oleh Mbah Sukoyo, kepala Dusun Krecek dalam Jagongan Seni Budaya; Merawat Tradisi Lokal Membangung Generasi Unggul, Sabtu (23/10). 

Jagongan Seni Budaya diselenggarakan oleh BuddhaZine bekerja sama dengan Aman Indonesia, Indika Foundation, dan Direkturat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha, kementerian agama RI. Acara ini digelar secara hybrid, offline, dan online dengan menghadirkan tiga narasumber tiga pelatih seni di Dusun Krecek, dan dipandu oleh Maskur Hasan sebagai moderator. 

Warga mengikuti jagongan budaya dengan penuh kegembiraan. Sumber Foto: Hendri Ang

Upaya meneruskan pesan leluhur

Sejak dulu, seni tradisi memang sudah lekat dengan kehidupan masyarakat Dusun Krecek. Pertunjukan seni selalu digelar pada hari-hari tertentu. Dalam upacara merti dusun misalnya, pertunjukan seni bisa digelar selama satu minggu penuh. “Zaman dulu, orang selapanan saja menggelar pertunjukan wayang kulit,” lanjut Mbah Sukoyo. 

Karena itu, Mbah Sukoyo merasa beruntung anak cucu mau belajar seni, baik gamelan maupun tari. “Merawat gamelan tidak cukup hanya dibersihkan dan disimpan di tempat yang sesuai. Merawat gamelan harus ditabuh, keterampilan menabuh gamelan harus dipelajari, kemudian diturunkan ke generasi berikutnya,” kata Mbah Sukoyo dalam bahasa Jawa halus. 

Fiqi Farcha Dhimas merasa tertantang dengan pesan Mbahnya waktu kecil. Leluhur Nusantara dulu bisa membangun candi-candi besar, mewariskan kebudayaan berupa gamelan dengan ciptaan gendhing-gendhing indah nan mendidik. “Kelak kalau kamu sudah tidak ada, mau meninggalkan apa pada bangsa ini? Kata-kata Mbah saya ini terus menjadi penyemangat saya hingga kini,” kata Dhimas. 

Bagi Dhimas, melatih di Dusun Krecek adalah investasi SDM. Kita memang tidak bisa membangun candi-candi yang megah, tapi minimal bisa meneruskan warisan yang sudah ditinggalkan oleh para leluhur. 

“Pengalaman saya mengajar di sini kagum, saya bombong banget, sumpah! Melihat anak-anak pada belajar, mewarnai di sana. Mereka saya ajak nabuh gamelan dan semangat.

“Itu membuat saya berpikir ‘apa Mbah-mbah dulu masuk ke raganya anak-anak ini ya?’ Yang kedua, teman-teman latihan itu tidak ada level capek. Anak-anak ini berlatih dari jam dua siang. Hampir pukul enam petang, mereka masih mengatakan kok sudah mau selesai,” kata Dhimas kagum. 

Hal senada juga disampaikan oleh Eko Prasetyo. Berdasar pengalamannya selama 3 bulan melatih di Krecek, Eko Prasetyo melihat semangat anak-anak Krecek sangat tinggi dalam berlatih seni. “Anak-anak yang masih lembut-lembut ini adalah generasi penerus untuk melestarikan kebudayaan kita,” kata dalang muda asal Lampung, ini. 

Seni sebagai sarana mendidik

Kesenian bagian dari jati diri dan karakter bangsa Indonesia. Ki Hadjar sangat mengidam-idamkan generasi bangsa Indonesia yang unggul, yaitu salah satunya melalui kesenian. Bahkan ki Hadjar dalam menyiapkan generasi unggul mempunyai konsep Trikon atau tiga-kon. 

Konsentris yang berarti kuat berpegang pada keluhuran budaya lokal daerahnya masing-masing. Konvergen yang berarti adaptif dinamis dalam menyerap budaya luar yang membawa dan menambah keluhuran budaya bangsa. Kontinyu yang berarti terus menerus meningkatkan keluhuran budaya yang menyesuaikan perkembangan zaman.

Namun, menurut Wilis Rengganiasih ada persoalan baru ketika seni masuk dalam kurikulum pendidikan. Apa yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara menjadi luput. “Biasanya malah menjadi kejar target karena mengejar pencapaian teknik,” kata Wilis. 

Wilis memberi contoh, “Misalnya dalam tari, anak yang bisa joget langsung dikirim ke porseni. Atau dalam satu semester seorang anak harus menguasai sekian tarian. Ini kurang tepat. Menurut saya, seorang anak tidak harus dikejar menguasai tarian dalam waktu yang dibatasi. Karena kemampuan anak berbeda, bakat, kecenderungan, serta daya tangkap berbeda.

Kebudayaan sebagai perekat bangsa

Salim Lee, seorang pakar Borobudur yang mengikuti jagongan melalui ruang zoom dari Australia, menyampaikan bahwa apa yang dilakukan oleh masyarakat Krecek adalah sesuatu yang indah. 

“Jagongan Seni Budaya malam ini seperti penyiraman atau penyemaian oyot-oyot jero yang ada di masyarakat. Apa yang kalian lakukan malam ini menambah rasa percaya diri bangsa

“Kita yang terdiri dari berbagai etnis, pulau-pulau, dan suku-suku bangsa. Dan saya kira perekat utama yang menjadikan kita Indonesia adalah kebudayaan,” kata Om Salim yan juga mempunyai perhatian khusus dengan kebudayaan Indonesia. 

Om Salim demikian sapaan akrabnya melanjutkan pesannya, “Indonesia itu seperti potongan berlian, semua bisa dilihat dari sisi-sisi potongan masing-masing yang memancarkan keseluruhan yang memantulkan justru dari sisi-sisinya kebudayaan Indonesia yang utuh tanpa dilihat dari faset-faset kebudayaan ini. 

“Kebudayaan lokal ini akan menjadi perekat bangsa. Ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia sebagai bangsa yang beradab mempunyai kebudayaan yang tinggi seperti borobudur dan yang lain.

“Seperti gending-gending yang dimainkan oleh anak-anak hingga orang dewasa. Kalian sudah menggarisbawahi kalau kita melakukan ini dengan itikad yang baik akan ada kebaikan yang muncul,” pungkas, Salim Lee.

Jagongan Seni Budaya malam itu berjalan dengan hangat. Anak-anak, pemuda, dan orang dewasa bergantian memainkan musik gamelan. 

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *