Sampai hari ini, saya tak henti-hentinya bersyukur karena terlahir dari sebuah keluarga buddhis. Kedua orangtua saya tidak hanya membekali ilmu duniawi, tetapi juga Dhamma sejak saya kecil. Paling tidak seminggu sekali kami wajib untuk ke wihara dan mengikuti Sekolah Minggu bersama teman-teman yang lain.
Seperti juga anak-anak kecil lainnya, saya juga sering malas-malasan ketika tiba waktunya Sekolah Minggu dengan segala kegiatannya. Biarpun begitu, pelajaran yang diterima saat itu sangat membekas hingga kini. Bahkan saat remaja, saya dan pemuda Wihara Buddha Dhamma Karawang berhasil membawa berbagai piala dari berbagai lomba membaca Dhammapada.
Teman-teman di lingkungan tempat tinggal saya terdiri dari berbagai macam suku dan mayoritas beragama non-buddhis. Biarpun terkadang saya merasa minder tetapi hubungan saya dengan teman-teman yang berbeda agama baik-baik saja.
Di sekolah, kami sangat terbiasa dengan berbagai perbedaan. Ketika teman-teman sedang mengikuti pelajaran agama Islam, kami yang beragama Buddha bisa ke kantin dan bermain dengan teman-teman yang lain.
Bahkan, selama menempuh pendidikan mulai SD sampai Perguruan Tinggi, tidak pernah terjadi sekalipun gesekan di antara kami yang buddhis dan non-buddhis. Semuanya saling hormat menghormati, padahal waktu itu kami belum mengenal istilah toleransi dan pluralisme.
Dalam keseharian, tidak jarang saya merasa sendirian ketika berada di tengah-tengah masyarakat. Kesendirian ini tentunya bersumber dari sangat sedikitnya jumlah umat Buddha di Indonesia yang hanya 0,72% atau 1.703.254 jiwa dari total penduduk Indonesia yang berjumlah 271.349.889 jiwa.
Namun, jumlah sedikit atau bahkan satu-satunya umat Buddha dalam suatu lingkungan tersebut tentunya tidak membuat saya berkecil hati, justru saya tetap berusaha mempertahankan keyakinan pada ajaran Buddha walaupun tentunya tak mudah dan banyak halangan rintangan.
Ada satu kutipan yang sangat memotivasi saya dalam meneguhkan hati untuk menjalankan kehidupan dengan cara-cara seorang buddhis, “Lebih baik melakukan perjalanan dengan baik daripada sampai di tujuan”.
Sebagai sebuah agama yang penuh cinta kasih, agama Buddha adalah jalan keluar bagi setiap orang yang menginginkan kedamaian dalam berkehidupan untuk membebaskan seluruh mahluk dari penderitaan.
Keagungan
Luhurnya ajaran Buddha tentunya sulit dipahami dengan waktu yang singkat, perlu proses-proses yang mendalam dan tekad dalam diri untuk terus bertahan menghadapi godaan batin dan buah dari karma-karma buruk dalam hidup kita. Namun, sesulit apa pun itu kita harus tetap berjuang, karena tanpa perjuangan kita tidak akan pernah menemui kemenangan.
Buddha adalah representasi perjuangan yang mana Buddha kala itu diberikan kehidupan praktis dalam artian segala sesuatu yang diinginkan tersedia dengan cepat namun Buddha menolak hal itu, beliau memilih menapaki jalan perjuangan dengan melatih diri dengan keras sampai akhirnya menemukan Dhamma dengan jalan tengah yang dikemukakan Buddha. Perjuangan-perjuangan inilah yang sejatinya harus kita ikuti, jangan kita terjebak pada kenyamanan dan acuh pada perjuangan umat.
Apalagi belakangan ini, banyak muncul stereotip mengenai generasi muda buddhis, banyak yang menilai bahwa saat ini pemuda/i buddhis adalah generasi rebahan, minim pergerakan, kurang memahami Dhamma, kurang cinta pada agama Buddha dan lain sebagainya. Sehingga banyak generasi muda buddhis yang “Lompat Pagar” atau pindah keyakinan.
Tentu jika kita urai persoalan ini, akan banyak sekali faktor yang menyebabkan hal-hal tersebut terjadi. Salah satunya adalah karena kurangnya kebanggaan generasi muda kita akan agama Buddha dan lepasnya perhatian berbagai pihak dalam mengorganisasir kelompok muda.
Generasi muda
Saya yakin bahwa generasi muda itu memiliki banyak kemauan namun minim kemampuan, inilah yang seharusnya menjadi pikiran kita bersama, bagaimana kemudian membangun kebanggan di hati pemuda akan agamanya.
Padahal, jika kita kilas balik bagaimana besarnya peran agama Buddha bagi Nusantara terkhusus Indonesia kini, sangat banyak sekali hal-hal besar yang telah dilakukan oleh para orangtua dan pendahulu kita.
Mulai dari pusat pendidikan agama Buddha di dunia, megahnya candi-candi yang menyebar di hampir seluruh wilayah Indonesia, banyaknya peran tokoh-tokoh buddhis dalam menyongsong kebangkitan ekonomi bangsa dan lain sebagainya. Menyadari sedemikian besar dan luhurnya ajaran Buddha, tentunya tak ada alasan bagi saya untuk tidak berbangga hati sebagai umat Buddha.
Kita pemuda-pemudi buddhis harus bangga akan keluhuran agama Buddha dengan sederet peran dan prestasinya dalam membangun umat, bangsa, dan negara. Kita harus persiapkan diri untuk bisa menjadi penerus perjuangan pembabaran Dhamma di masa depan.
Jika bukan kita, siapa lagi yang akan bangga akan agama kita sendiri. Kebanggaan ini tentunya bukan tentang keakuan, tapi lebih dari itu, ini tentang bagaimana kita bertahan dalam cepat dan kerasnya peralihan zaman dan kuda-kuda kita bersama dalam menghadapi kepunahan.
Appamadena Sampadetha.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara