• Friday, 29 October 2021
  • Shanti K Dewi
  • 0

“Equanimity” ( Ketenangan batin, Pali: Upekkhā ) melindungi kita dari reaksi emosional yang berlebihan dan memungkinkan kita untuk beristirahat dalam perspektif yang lebih besar. Berikut adalah pandangan Chritiane Wolf tentang cara mengelolahnya.

“Pergilah dengan tenang di tengah kebisingan dan ketergesaan dan ingatlah kedamaian yang mungkin ada di dalam keheningan.”

Dengan kalimat ini penulis Jerman-Amerika Max Ehrmann memulai “Desiderata.”

Ibu saya sangat menghargai puisi ini sehingga dia membingkai dan menggantungnya di seberang toilet kamar mandi kami, dan selama bertahun-tahun saya mendapati diri saya merenungkannya berulang kali sehari dalam posisi kontemplatif. Apakah ini asal mula pencarian saya tentang “equanimity”? Ide ini membuatku tersenyum.

“Equanimity” adalah seperti mata badai, pusat ketenangan yang didasarkan pada pengetahuan bahwa segala sesuatu itu terus berubah.

Apakah “equanimity” itu, dan bagaimana kita dapat melibatkannya lebih banyak ke dalam hidup kita? “Equanimity” adalah kesediaan dan kemampuan untuk menerima segala hal sebagaimana adanya pada saat ini – apakah itu hal yang menantang, membosankan, menggairahkan, mengecewakan, menyakitkan, atau hal yang sangatlah sesuai dengan yang kita inginkan.

“Equanimity” memberikan ketenangan dan keseimbangan di saat suka dan juga duka. Ia melindungi kita dari reaksi emosional yang berlebihan, memungkinkan kita untuk beristirahat dalam perspektif yang lebih besar, dan memiliki kepercayaan dasar di dalam segala hal.

“Equanimity” adalah seperti mata badai, pusat ketenangan, yang didasarkan pada pengetahuan bahwa segala sesuatu terus berubah dan sebagian besar berada di luar kendali kita. Pohon ek dewasa adalah simbol lain dari “equanimity”.

Berakar kuat di bumi, tidak tergoyahkan oleh perubahan musim dan pergantian cuaca. Pohon itu berdiri stabil pada akar tunggang yang menopangnya dengan aman sehingga menjadi stabil tetapi tidak kaku, bahkan dalam badai yang kuat sekalipun.

Kita dapat bertanya pada diri sendiri: Apa akar tunggang kita? Apa yang membantu kita bertahan dari badai kehidupan yang tak terhindarkan. Buddha memperingatkan agar kita tidak terbawa oleh “delapan angin duniawi”, yang saat ini, setelah selama 2.600 tahun ini, masih terus berhembus: kesenangan dan kesakitan, pujian dan kesalahan, kesuksesan dan kegagalan, untung dan rugi.

Tentu saja kita lebih suka mengalami hanya satu sisi angin, yaitu sisi yang kita anggap positif, tetapi semakin kita melihat bahwa keadaan itu berubah lagi dan lagi, semakin dalam kita dapat terhubung dengan akar tunggang kita.

Equanimity adalah peran sentral dalam ajaran Buddha. Bersamaan dengan cinta kasih (metta), welas asih (karuna), dan kegembiraan (mudita), “equanimity” adalah salah satu brahmavihara, empat kualitas dari inti hati. Upekkha adalah kata majemuk dalam bahasa Pali, yang dapat diterjemahkan sebagai “mengamati dengan tenang” atau “melihat dengan kesabaran dan kebijaksanaan.”

“Equanimity” mendukung brahmavihara lainnya. Tanpa “equanimity”, kita akan dikuasai oleh penderitaan di dunia ini dan akan menutup diri atau berpaling darinya. Di sisi lainnya, tanpa “equanimity”, keindahan dan kegembiraan dunia yang luar biasa yang juga merupakan bagian dari realitas hidup, dapat menggoda kita ke dalam pandangan dunia Pollyannaish. “Equanimity” cukuplah luas untuk menahan semua keadaan dalam kehidupan ini dan merangkulnya dengan penuh kasih.

Menjalani hidup secara sadar akan membuat kita lebih seimbang dari waktu ke waktu, tetapi untuk hidup secara sadar kita tidak bisa membiarkan semua terjadi dengan sendirinya. Kita perlu berlatih. Pada akhirnya, “equanimity” yang kita miliki tidak hanya baik untuk kita, tetapi juga untuk semua orang yang kita jumpai.

Tetap terbuka

Renungkan situasi dalam hidup anda yang awalnya Anda anggap negatif, tetapi kemudian berubah mengarah ke situasi yang jauh lebih baik yang tidak dapat Anda perkirakan saat itu. Misalnya, mungkin perpisahan yang menyakitkan memungkinkan untuk menemukan cinta sejati Anda, atau penolakan setelah wawancara kerja akhirnya mengarah pada pekerjaan yang lebih baik. Undang perspektif ini ke dalam situasi saat ini yang mana Anda hanya dapat melihat sisi negatif.

Penderitaan

Adalah hal yang sulit untuk bertahan saat seseorang yang kita cintai menderita. Seringkali, kita menganggap penderitaan mereka sebagai penderitaan kita sendiri. Kita terjebak dalam perasaan bersalah bahwa kita tidak dapat membantu lebih banyak, atau seakan timbul keharusan untuk perlu menderita juga, karena rasa solidaritas.

Latihan ini, yang diilhami oleh psikolog Kristin Neff, membantu kita menemukan keseimbangan ketika orang yang kita cintai menderita. Inti sarinya adalah pemahaman bahwa pada akhirnya kita tidak bisa membuat orang lain bahagia. Kita hanya bisa bekerja dengan batin dan reaksi kita sendiri dan membuat keputusan sendiri.

Ulangi kalimat berikut dengan tenang selama meditasi dan juga di siang hari:

“Setiap orang sedang dalam perjalanan hidupnya sendiri.”

“Saya bukanlah penyebab penderitaanmu (atau bukan penyebab secara eksklusif).”

“Bukanlah di tangan saya kekuatan untuk mengakhiri penderitaan Anda, meskipun saya ingin, jika saya bisa.”

“Ini adalah saat-saat yang sulit untuk bertahan, namun saya akan terus berusaha untuk membantu di mana pun saya bisa.”

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *