Senin (9/8) pukul 18.00 WIB, Sukoyo sudah berpakaian rapi. Ia mengenakan blangkon sebagai penutup kepala, surjan berbunga, dan sarung yang menjadi pakaian kebesarannya saat memimpin upacara adat di Dusun Krecek, Desa Getas, Kec. Kaloran, Temanggung. Beberapa saat kemudian, Ia membawa aneka sesaji untuk dipersembahkan di altar puja yang berada di pojok kiri rumahnya. Dengan rapalan gatha, paritta, sutra, dan mantra ia mempersembahkan wangi dupa ke segenap penjuru.
Selesai melakukan sembahyang, Sukoyo menabuh kentongan yang tergantung di beranda rumahnya. Bunyi kentongan itu adalah panggilan kepada warga untuk berkumpul melakukan selamatan bersama. Anak-anak, pemuda, orang dewasa, laki-laki, dan perempuan duduk setara di kanan dan kiri jalan menyambut datangnya bulan Suro.
“Suro itu bulan pertama yang digunakan sebagai patokan orang Jawa. Kita perlu bersyukur bisa bertemu lagi dengan bulan ini, karena itu kita perlu menggelar selamatan,” ucap Sukoyo dalam bahasa Jawa sebelum memulai kenduri selamatan
Buah-buahan dan aneka palawija siap santap disajikan dalam selamatan itu. Selain itu, tiap keluarga juga membawa makanan beserta lauk-pauk terbaik yang bisa mereka sajikan. Semua itu ada maknanya menurut Sukoyo. Nasi lumpang adalah persembahan kepada hewan ternak, yaitu wujud kasih peternak dalam memelihara hewan peliharaan.
Sedangkan polowijo adalah persembahan kepada kutu-kutu walang atogo (belalang, jangkrik, gasir, dan serangga lainnya). “Artinya, seandainya kita semua bertani kalau ada yang kesampar, kesandung, merasa terganggu semoga bisa memaafkan. Karena kita kadang juga tidak sengaja. Meskipun hanya kutu-kutu walang atogo juga hidup bersama kita, memberi keselamatan kepada kita juga,” terang Sukoyo.
Makna Suro bagi umat Buddha Temanggung
Peringatan bulan Suro di Dusun Krecek dilaksanakan dua kali. Gendurian bersama di jalanan dusun dan ritual puja-bhakti di Pendopo Ngudi Mulyo, Selasa (10/8). Selain masyarakat dusun, puja-bhakti Suro juga diikuti oleh Bhikkhu Dhammakaro. Puja-bhakti Suro dimulai dengan membacakan parita-parita suci, pradaksina keliling dusun, dan memandikan Rupang Buddha yang terletak di depan Vihara Dhammasarana, Dusun Krecek.
Ngatiyar, seorang peneliti dari Yogyakarta mengatakan bahwa bulan Suro mempunyai arti penting bagi perkembangan umat Buddha Kec. Kaloran. Mahasiswa program doktoral Universitas Negeri Islam Sunan Ampel, Surabaya ini mengatakan bahwa pada awal perkembangan agama Buddha di Kaloran, umat merayakan Suro sebagai hari raya agama Buddha.
“Akhir tahun 1960’an sampai tahun 70’an, masyarakat yang selanjutnya ikut ke agama Buddha kan belum tau hari raya umat Buddha. Jadi pada saat itu bulan Suro yang diperingati sebagai hari raya agama Buddha,” kata Ngatiyar.
Menurut Ngatiyar baru setelah kedatangan Rama Among Prajarto, seorang dhammaduta dari Jogja yang membabar pengetahuan Buddhadharma di Kaloran, umat Buddha berangsur mengerti ajaran Buddha, termasuk hari rayanya. “Meski begitu, tradisi lama sebagai masyarakat Jawa tak berarti ditinggalkan meskipun mereka sudah mengerti ajaran buddha,” pungkas Ngatiyar.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara