Tujuh jenis jajanan pasar, aneka buah segar ditata dalam sebuah tampah berukuran besar, bersama wedang (aneka minuman); kopi hitam, susu, teh dan air putih sebagai pelengkap sesaji diletakkan pada altar Buddha yang telah dihias dengan bunga, buah, dan perlengkapan sesaji lainnya.
Tak lama kemudian, Mbah Mariono, sesepuh umat Buddha Vihara Buddha Metta datang, menyalakan dupa dan membacakan doa-doa pelimpahan jasa kepada leluhur.
Aktivitas tersebut adalah rangkaian pembuka kegiatan Temu Pemuda Buddhis “Sarasehan Membincang Tradisi dan Budaya Lokal Masyarakat Buddhis Indonesia,” Sabtu – Minggu (19 – 20/01). Mempersembahkan sesaji dan perlengkapan altar memang sudah lazim dilakukan oleh umat Buddha di berbagai vihara, terutama di Jawa.
Bagi umat Vihara Buddha Metta, Kampung Mranggen, Desa Tempuran, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung sendiri, mempersembahkan sesaji dalam kegiatan-kegiatan vihara merupakan sesuatu yang wajib, sebagai bentuk rasa bakti terhadap leluhur. “Intinya untuk pelimpahan jasa kepada leluhur dan makhluk-makhluk yang tinggal di sekitar vihara, supaya dalam setiap kegiatan bisa berjalan lancar, mereka juga ikut berbahagia,” tutur Mbah Mariono.
Anak muda perlu diperkenalkan tradisi leluhur
Indonesia merupakan bangsa yang kaya akan tradisi dan budaya. Sebelum agama-agama berkembang, nilai-nilai luhur tradisi dan budaya menjadi pedoman menjalani hidup bermasyarakat.
Sayang, kini tradisi dan budaya leluhur Nusantara seolah tergerus oleh perkembangan zaman. Unggah-ungguh, tata krama, menunjukkan sikap hormat dengan menundukkan badan ketika lewat di depan orang yang lebih tua sudah jarang dijumpai. Hal ini setidaknya yang diungkapkan Suryono (24) tahun, salah satu peserta sarasehan dalam diskusi malam.
“Kalau di tempat saya (Dusun Larangan Jayan, Desa Tleter) masih banyak tradisi yang dijalankan, seperti; sadranan (ada dua jenis sadranan; sadranan di makam wujud bakti terhadap leluhur yang telah meninggal dan nyadran kali/sumber air sebagai wujud syukur pada air yang memberi kehidupan), sedekah dusun, sinoman, upacara panen, dan masih banyak lainnya. Tetapi, tradisi menghormat kepada yang lebih tua, seperti saat kita lewat di depan orang tua saat ini sangat jarang dijumpai,” kata Suryono.
Acara sarasehan diikuti oleh ratusan pemuda Buddhis dari Temanggung, Semarang, Pati, mahasiswa, samanera dan atthasilani STAB Kertarajasa. Keragaman daerah asal para peserta membuat diskusi semakin kaya dan mengalir. Berbagai cerita menarik tentang tradisi masing-masing daerah memperlihatkan betapa kaya ragam tradisi unik masyarakat Indonesia.
Baca juga: Bhante Dhammasubho: Umat Buddha Desa Jangan Meninggalkan Tradisi Leluhur
“Kalau teman-teman tau upacara Gombak (potong rambut gimbal), di tempat saya (Dusun Lamuk, Desa Kalimanggis, Kecamatan Kaloran) juga ada. Karena mayoritas dusun saya adalah Buddhis, maka tradisi ini masih lestari, selain menggunakan doa dan mantra Jawa, upacara Gombak juga dipadukan dengan doa secara Buddhis,” terang Rina Hardianti.
Sedangkan Samanera Vivekadasso yang berasal dari Manado mengungkapkan bahwa ia pernah terlibat langsung dalam tradisi masyarakat Manado. “Saya berasal dari Manado dan keturunan Tionghoa, di sana ada upacara Cap Go Me dan tradisi masak minyak. Upacara masak minyak ini saya pernah mengikuti, minyak dipanaskan dengan bara api selama 12 jam. Orang-orang yang hadir dan berani memasukkan tangan ke dalam minyak mendidih, tapi tidak panas lho. Saya ikut mencoba sendiri,” katanya.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara