• Saturday, 26 January 2019
  • Hendry F. Jan
  • 0

Jika membaca atau menyaksikan berita tentang pelanggaran hukum, sering terlontar ucapan, “Kok bisa ya? Padahal mereka punya agama.”

Agama memang memberi tuntunan kepada manusia agar melakukan kebaikan dan menjauhi hal-hal buruk. Apa pun agamanya. Jadi, jika seorang memiliki agama tapi tetap melakukan hal-hal buruk (terlebih hal-hal yang melanggar hukum seperti korupsi, memperkosa, merampok, membunuh,…), itu bukan salah agamanya. Itu murni salah penganutnya (orangnya).

Senior – junior

Sepanjang hidup kita harus terus belajar untuk menjadi manusia yang semakin baik, dan belajar tidak ada batasannya. Tidak ada batasan kita harus belajar sampai usia berapa, tidak ada batasan harus belajar dari siapa. Tidak ada istilah sudah terlalu tua untuk belajar. Juga tidak ada pembatasan bahwa kita hanya boleh belajar dari orang yang lebih tua (senior) dan tak boleh belajar dari yang lebih muda (junior).

Ada ungkapan, “Tidak peduli keluar dari (maaf) pantat ayam, jika telur, ambillah.” Maksudnya, kita tidak peduli dari mana kalimat (juga perbuatan) itu, jika baik, kita terima dan ikut melaksanakannya.

Hal baik yang orang lain lakukan, kita tiru. Hal buruk yang dilakukan orang, tidak perlu kita contoh.

Ban motor

Penulis adalah pengguna yang tidak begitu tau tentang barang yang gunakan (misal motor, juga komputer). Hanya tau cara memakainya, jika muncul masalah, serahkan kepada ahlinya (bengkel atau tempat service).

Motor tidak bisa menyala? Bawa ke bengkel. Ban bocor, bawa ke tukang tambal ban. Perawatan berkala tetap dilakukan, dan itu dengan cara dibawa ke bengkel. Yang penulis tau hanya isi bahan bakar dan tambah angin jika terasa kurang angin.

Akhir November lalu, ban belakang motor penulis kempis (bukan sekedar kurang angin, tapi benar-benar habis). Solusinya dorong motor ke tempat tambal ban yang ada di dekat rumah. Penulis sudah biasa ke sana. Ban ditambal, langsung pulang. Keesokan harinya saat dikendarai, kok terasa tidak nyaman. Ban belakang terasa tidak sebagaimana mestinya. Jalanan mulus tapi seperti berjalan di jalan yang tidak rata.

Baca juga: Menapaki Jalan Kehidupan

Penulis periksa, ban tidak bocor. Coba putar, putarannya normal, artinya masih presisi (bundarnya masih bagus). Masa’ motor baru berumur 1 bulan, sudah tidak nyaman seperti ini?

Hari kedua, masih sama. Solusinya? Dibawa ke bengkel resmi. Penulis ceritakan  keluhan yang penulis rasakan kepada montir. Keluhan ini terjadi setelah tambal ban. Motor dikendarai montir ke jalan raya, sebentar kemudian ia balik. Apa yang salah Pak? Tidak ada hal yang perlu diperbaiki Pak. Semua masih bagus. Tampaknya ban belakang terlalu kencang. Tekanan udara untuk ban belakang 32, kata montir. Saat diukur, ternyata tekanan udara ban belakang menunjukkan angka 65!

Kesimpulan apa yang dapat ditarik dari peristiwa ini? Dalam setiap hal, kita memang harus berada di jalan tengah. Senar gitar yang dipasang terlalu kendur, saat dipetik tak ada suaranya. Senar gitar disetel terlalu kencang, senar akan mudah putus bila dipetik.

Makan terlalu kenyang, sakit perut. Menahan lapar terlalu lama, sakti perut.

Catatan rekor

Semua yang terlalu, tidaklah baik. Ekstrem kiri tak bagus, ekstrem kanan juga tidak baik. Makan enak (terlalu memanjakan hawa nafsu), tidak baik. Ekstrem menyiksa diri seperti yang dilakukan petapa Sidharta pun tidak baik. Jalan tengah yang ditemukan Buddha-lah, yang menuntun kita ke pantai seberang. Ingat, selalu di jalan tengah ya? Bukan di tengah jalan (bisa tertabrak lho…).

Hmmm… ngomong-ngomong soal jalan tengah, penulis jadi teringat dengan 7 piagam rekor yang pernah penulis terima dari Muri (Museum Rekor Dunia Indonesia). Semua yang jadi rekoris (sebutan untuk pemegang rekor), tentu diberi piagam karena melakukan hal ekstrem atau punya catatan ekstrem sehingga diakui sebagai pemegang rekor.

Apakah kemampuan sebagai pembuat kartu ulang tahun terkecil, pembuat puzzle terkecil, dan penyusun menara uang tertinggi yang diganjar piagam rekor Muri juga termasuk ekstrem yang harus dihindari seperti yang dimaksud Buddha? Entahlah… Mungkin pembaca yang bisa menilai atau memberikan komentar.

Hendry F. Jan

Suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Hendry F. Jan

Hendry Filcozwei Jan adalah suami Linda Muditavati, ayah 2 putra dari Anathapindika Dravichi Jan dan Revata Dracozwei Jan.

Pembuat apps Buddhapedia, suka sulap dan menulis, tinggal di Bandung.

http://www.vihara.blogspot.com

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *