• Monday, 13 September 2021
  • Deny Hermawan
  • 0

Patut diketahui bahwa dalam tradisi Theravada, terdapat kontradiksi kontemporer yang cukup menarik. Di satu sisi, umat Theravada umumnya menganggap keseluruhan tradisi Theravada adalah transmisi tertua yang masih eksis hingga kini.

Namun di sisi lain, sebenarnya yang disebut Theravada adalah gerakan yang relatif modern karena di situ ditemukan klaim dan anggapan bahwa dirinya sendiri adalah sesuatu yang lebih tua dan lebih otentik daripada aliran Buddhis lainnya (khususnya berbagai aliran Mahayana dan Vajrayana)

Hal ini dikemukakan Prof. Kate Crosby dalam buku barunya Esoteric Theravada: The Story of the Forgotten Meditation Tradition of Southeast Asia (Theravada Esoterik: Kisah Tradisi Meditasi yang Terlupakan di Asia Tenggara).

Dalam buku terbitan Shambala tahun 2021 ini, Crosby memperkenalkan kepada khalayak yang luas tentang borān kammaṭṭhāna, atau “meditasi lama” yang didirikan dan dipromosikan oleh keluarga kerajaan dan oleh para patriark tertinggi Sangha Buddhis di wilayah yang kini menjadi Kamboja, Laos, Sri Lanka, dan Thailand.

Ini sama sekali bukan ajaran meditasi sederhana, namun jauh melampaui apa yang telah dibahas dan diajarkan secara konvensional selama beberapa dekade tentang samatha dan vipassana.

Borān kammaṭṭhāna adalah fenomena yang melampaui dikotomi keduanya dan dalam banyak hal, menyatukan kedua praktik tersebut.

Crosby yang merupakan Professor of Buddhist Studies dari King’s College London memakai istilah “Theravada Esoteris” untuk menyebut borān kammaṭṭhāna. Sebuah studi sebelumnya oleh Lance Cousins menggunakan istilah “Buddhis Esoterik Selatan,” dan menyebutnya sebagai “sejenis Buddhis aliran selatan yang menghubungkan praktik magis dan ritual dengan sistematisasi teoretis dari jalan Buddhis itu sendiri.”

Crosby menuliskan bahwa, “borān kammaṭṭhāna menggambarkan dirinya sebagai sistem meditasi samatha-vipassanā, dengan kata lain, sebuah sistem meditasi yang mencapai hasil samatha dan vipassanā, jadi jalan Buddhis sepenuhnya, seperti yang ditemukan juga dalam Visuddhimagga.”

Borān kammaṭṭhāna menurutnya adalah program praktik komprehensif yang telah memiliki sejarah panjang di Asia Tenggara. Ini disertai dengan bukti tekstual dan material yang masing-masing berasal dari abad ke-18 dan abad ke-16. Menurut pengakuan Prof. Crosby, bukti fisik dan tekstual untuk tradisi ini tersebar melalui berbagai sumber di dunia Theravada, baik dalam manuskrip kertas maupun daun lontar.

Koleksi Nevill di British Library menurut dia berisi sejumlah besar manuskrip yang dapat diidentifikasi berasal dari tradisi ini. Salah satunya yang disebut Kammatthan Majjima Baeb Lamdub yang diajarkan Saṅgharāja Thailand IV, Suk Kaitheun (Somdet Yannasangvorn, 1733–1822).

Prof. Crosby lantas memaparkan apa yang dikonstruksikan sebagai Theravada modern seperti ini:

Kebangkitan

Dalam kebangkitan abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, meditasi Buddhis berfokus pada wawasan dan pengembangan batin, bukan pada transformasi fisik. . . . Selektivitas ini memfasilitasi penyerapan dan adaptasi bentuk-bentuk meditasi tersebut di Barat, ketika praktik meditasi Buddhis semakin diadopsi oleh orang Barat. Ini, pada gilirannya, menginformasikan perkembangan ilmiah di bidang ilmu kognitif dan psikologi yang baru berkembang, termasuk terapi. . . .

Sejarah ini menimbulkan dua pertanyaan. Apa yang terjadi dengan bentuk-bentuk meditasi yang masih dipraktikkan pada abad kesembilan belas dan awal abad kedua puluh, setidaknya di bagian-bagian dunia Theravada yang tidak dijajah oleh Inggris?

Mengingat bahwa meditasi dalam Buddhis Theravada sendiri bukanlah hal baru—bahkan jika pengajarannya secara massal di pusat-pusat yang dibangun khusus untuk tujuan tersebut merupakan sebuah langkah baru—dan mengingat bahwa sains itu sendiri merupakan pendekatan pengetahuan yang dibangun secara budaya, apa hubungan antara meditasi dan ‘sains’ (atau rekan budaya analognya) sebelum perkembangan baru ini?

Crosby menantang konsepsi ilmiah dan populer tentang Theravada, yang menurutnya telah ditutup-tutupi oleh kurangnya pengetahuan tentang meditasi Theravada pra-modern.

Sebagian besar isi buku Crosby terlihat mencoba untuk membongkar alasan di balik marginalisasi tradisi borān kammaṭṭhāna dalam konteks kolonialisme Eropa dan kebangkitan modernis Theravada, yang menggabungkan sains dan rasionalisme untuk bersaing dengan materialisme bernuansa Kristen yang disebarkan oleh elit Eropa dan lokal yang berkuasa. Begini cuplikan pernyataan Crosby:

Mengapa . . . apakah borān kammaṭṭhāna telah dinilai secara negatif? Mengapa itu tetap relatif tidak dikenal, bahkan di antara para sarjana agama Buddha? Pengabaiannya dalam keilmuan mencerminkan dua hal: sifatnya yang esoteris dan marginalisasinya sebagai “tidak ortodoks” dalam agama Buddha yang berorientasi pada reformasi yang mendominasi Sri Lanka dan daratan Asia Tenggara sejak abad kesembilan belas dan seterusnya.

Kolonialisme

Kolonialisme atau westernisasi menurut dia bukanlah satu-satunya faktor yang menyebabkan merosotnya borān kammaṭṭhāna di Asia Tenggara. Crosby memberikan analisis yang komprehensif dan terperinci tentang perlakuan lokal borān kammaṭṭhāna dalam konteks nasional yang unik.

Ia menjelaskan bagaimana berbagai tren, seperti kebijakan sentralisasi Dinasti Chakri Thailand dan pembentukan negara-bangsa modern Thailand, serta keputusan yang dibuat oleh tokoh-tokoh berpengaruh seperti Pangeran Wachirayan, menyebabkan kemunduran dan bahkan penindasan borān kammaṭṭhāna.

Reformasi di Thailand memengaruhi perkembangan Kamboja yang dikuasai Prancis, yang berpuncak pada dekrit reformis kerajaan pada Desember 1920 yang melumpuhkan hal-hal yang berbau tradisional.

Crosby juga menyoroti upaya membangkitkan kembali borān kammaṭṭhāna. Hal ini menurutnya terhalang oleh trauma nasional yang cukup besar yang melanda Asia Tenggara, seperti pembersihan lembaga keagamaan oleh Khmer Merah. Crosby juga membahas kendala untuk Sri Lanka dan Myanmar modern.

Terakhir, Dr. Crosby mengkritik bahwa selama bertahun-tahun studi Theravada pra-modern telah diabaikan oleh para sarjana Buddhis Mahayana pra-modern.

Jumlah jurnal dan monografi yang berfokus pada sejarah Mahayana sebelum periode kontemporer menurutnya ada banyak, sementara terkait Theravada pra-modern, sebelum menjadi “teratur” atau “terorganisir” nyaris tak ada.

Sejarah Mahayana, khususnya di Tiongkok, Jepang, dan di Semenanjung Korea, telah didokumentasikan jauh lebih baik daripada sejarah Theravada tradisional. Semoga kritik dari Dr. Crosby bisa dijawab oleh peneliti yang kompeten di bidangnya.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *