Foto : Ngasiran
Langit sudah mulai gelap tatkala sekelompok penabuh penabuh alat pengiring puja bakti menggaungkan pujian untuk mengagungkan nama Guru Besar Tantrayana dengan mendaraskan Maha Silsilah Satya Buddha, Gatha Adhistana. Pujian ini untuk membuka ritual Apihoma Catur Kiblat di hadapan Candi Agung Borobudur, Sabtu (29/7/2023) pukul 18.30 WIB.
Puja Apihoma Umat Buddha Tantrayana ini merupakan perhelatan pertama kali di Indonesia. Ritual dihadiri sejumlah Maha Acarya dari dalam negeri dan juga dari Amerika. Ketua Vidyakasabha Zhenfo Zong Kasogatan Indonesia, Vajra Acariya Lian Yuan dari Palembang berlaku sebagai pemimpin tertinggi ritual ini.
Dalam suasana sakral, lebih dari 1200 umat Buddha Tantrayana dari pelbagai daerah di Indonesia mengelilingi altar utama yang berdiri tegak menjulang terbagi menjadi empat arah mata angin. Beberapa meter ke belakang dari altar utama juga nampak terpasang dua altar lengkap dengan amisa puja dan sesaji tertata rapi di bawah rupang Buddha.
“Ritual di Borobudur ini digelar bertepatan dengan bulan Suro, oleh karena itu juga disediakan sesaji yang dikhususkan untuk para leluhur yang membuka lokasi Borobudur, yaitu sesaji berupa sirih dan rokok yang ditempatkan di altar penyeberangan dan altar pemberkahan. Sesaji juga dilengkapi dengan bermacam jenis masakan,” papar Pandita Lokaspalasraya, Suyamto, selaku pembantu Ritual Apihoma.
Selagi umat meresapi sakralnya pujian Maha Silsilah Satya Guru Buddha, barisan Maha Acarya memasuki bhaktisala menuju altar utama. Diiringi dua pendamping Vajra Acarya dan satu pembantu ritual, empat Vajra Acarya menempatkan diri di setiap penjuru altar untuk memimpin puja. Ritual dimulai dengan Gatha Pendupaan dilanjutkan dengan Maha Namaskara Visualiasi.
Alunan Gatha dan Mantra senantiasa dilafalkan sepanjang ritual, hingga menuju puncak ritual yaitu peleburan secara simbolis beragam sesaji yang mewakili segala unsur kehidupan. Mengiringi ritual peleburan, segenap umat membentuk Mudra Buddha Sakyamuni dan membacakan Mantra Visualisasi Kesunyataan.
Setelah Acarya pemimpin homa melakukan pemberkatan sarana puja, melalui pembantu ritual satu per satu sarana puja dan sesaji mulai dimasukkan ke dalam tungku pembakaran yang terpasang di setiap penjuru altar. “Sesaji dan sarana persembahan ini simbol yang mewakili empat unsur kehidupan dan juga ada yang ditujukan bagi para pemimpin negeri,” imbuh Pandita Suyamto.
Sesaji utama yang dilebur diawali dengan wijen hitam mewakili simbol api, simbol persembahan kepada Sang Surya yang diyakini mengatur dan mensejahterakan dunia. Disusul dengan peleburan Panca Persembahan yaitu bunga, lilin, buah, teh, dan dupa sebagai simbol kesetiaan umat yang ingin mengabdi kepada Sang Buddha.
Pandita Suyamto menambahkan bahwa Candi Borobudur dipandang sebagai Mandala Kalacakra, oleh karena itu terdapat sesaji yang juga simbol unsur api, simbol Kalacakra, yaitu Biji Panca Warna berupa wijen putih, hitam, merah, hijau, kuning mewakili Panca Dyani Buddha yaitu Vairochana, Amoghsiddhi, Ratnasambhava, Amitabha, dan Akhshobhya.
Peleburan selanjutnya adalah persembahan uborampe hasil bumi dari unsur pertanian, unsur perdangan dan lainnya. Dari unsur pertanian terdapat simbol api yang diwakili bihun dan simbol air diwakili kembang tahu. Makna persembahan ini adalah permohonan kestabilan antara api dan air agar para umat Buddha bisa bekerja dengan optimal dan memperoleh rejeki sehingga bisa berdana kepada Sangha. Unsur perdagangan adalah unsur angin diwakili oleh jamur, unsur udara.
Terdapat pula unsur emas sebagai simbol pengharapan bagi para pemimpin agar arif dan bijaksana yang disimbolkan dengan sejenis candu (sari pati bunga) serta buah dan bunga teratai menyimbolkan hati yang bajik. Sesaji lain yang mewakili kehidupan berupa sari pati bumi seperti beras, gula, beragam jenis rempah, macam-macam jamu, dan teh (lambang kesejahteraan dan kebijaksanaan). Sesaji untuk para Dharma Pala adalah berupa daging, wujud bakti umat kepada Dharma Pala yang selalu mengingatkan untuk sungguh-sungguh dalam menjalankan praktek Dhamma.
Kemudian ada unsur kayu homa, kayu yang sudah ditulisi oleh Acarya dan sudah diberikan pemberkahan. Kayu tersebut bertuliskan nama seseorang yang ikut dalam ritual Apihoma. Peleburan kayu dimaknai sebagai pengikisan kotoran batin di dalam diri. Ada juga Pagoda merupakan simbol cinta kasih, yang bermakna setinggi apa pun kemampuan manusia pada akhirnya akan hancur, simbol ini mengingatkan agar tidak tamak dan sombong.
“Makna peleburan beragam persembahan dan sesaji adalah iklhas dan tulus, untuk menyadari bahwa semua yang kita miliki akan menuju kehancuran termasuk diri ini. Menyadari ketidakkekalan dan pasrah diri bahwa saya pun akan kembali kepada unsur saya tanah, api, air, angin,” Suyamto menjelaskan.
Pandita Suyamto merasa sangat terkesan mengikuti ritual besar ini. “Ada kesan tersendiri, merasa bangga sebagai orang Jawa karena dalam ritual dikolaborasikan dengan tradisi Jawa yaitu pelaksanaan di Bulan Suro dan lengkap dengan sesaji Jawa sebagai wujud permisi kepada leluhur dan Dahyang di sekitar Borobudur,” pungkas Suyamto.
Ritual peleburan ditutup dengan Mantra Paripurna, umat membentuk Mudra Penutupan. Umat melanjutkan ritual dengan pradaksina mengelilingi Candi Borobudur sebanyak satu kali. Usai pradaksina, nampak setiap umat kembali ke tungku pembakaran untuk melakukan ritual menerima hawa peleburan. Ritual penutup ini sebagai sarana perenungan bahwa semua yang melekat pada diri akan hilang. Sebanyak apa yang didapat dalam kehidupan, akhirnya hanyalah kosong. Semua akan hilang, akan lenyap, kosong.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara