• Monday, 18 September 2023
  • Ngasiran
  • 0

Oleh: Sugianto Sulaiman

Foto: Ngasiran

Sebagaimana sudah disinggung pada tulisan pertama, Guru Gembul mengatakan jika agama Buddha di Indonesia akan punah karena tidak ber-Tuhan Yang Maha Esa, tidak dilengkapi hukum yang kuat seperti warisan, perkawinan, dan tata peribadatan. Juga pengaruh sosiologi baik dari pihak yang berkuasa maupun dari umatnya sendiri. Terhadap sinyalemen pertama, kita bisa dengan mudah menjawabnya. Justru ketiadaan sosok “Tuhan” maka kita lebih fleksibel menterjemahkan ke-Esaanya. Prinsip “Manunggaling Kawula Gusti” merupakan prinsip yang sangat Buddhistik yang digunakan teman-teman Islam yang pertama kali disampaikan oleh salah satu wali yang dianggap sesat, yaitu Syekh Siti Jenar. Prinsip ini tidak beda dengan prinsip seseorang bisa mencapai tingkat kesucian Arahat atau Buddha. Untuk prinsip Tuhan Yang Maha Esa, mungkin kita tidak perlu khawatir yang berlebihan karena Majelis Buddhayana pun menganut paham Ketuhanan Yang Maha Esa bukan Tuhan yang bersifat sosok atau makhluk, tetapi sifat-sifat Ketuhanannya. Karena itu Majelis Buddhayana Indonesia menggunakan kata Ketuhanan bukan Tuhan.

Untuk sinyalemen yang kedua, tampaknya seperti bagian yang pertama, kita menyerahkan hubungan dengan negara dan masyarakat diatur oleh hukum setempat. Di lapangan perkawinan atau waris atau hubungan antar manusia, Buddhisme mempercayakanya kepada hukum setiap negara. Denagan demikian tidak ada konflik antara agama Buddha dengan Hukum Negara dimanapun gama Buddha eksis. Yang penting Hukum Negara dapat kita gunakan dalam kehidupan kita sepanjang hal tersebut bisa kita adaptasi. Sebagai contoh, Hukum Perkawinan Indonesia menganut prinsip monogami, bukan poligami. Hukum waris pun didasarkan pada Hukum Waris Barat atau Hukum Perdata Barat atau yang disebut dengan Burgelijk Wetboek, yang mempersamakan hak laki-laki dengan perempuan mendapat bagian rata dan sama besarnya. Jadi terkait hal ini, tidak akan ada yang perlu dikhawatirkan menjadi penyebab punahnya agama Buddha.

Yang justru mengkhawatirkan kita ialah sinyalemen ketiga. Terkait kondisi umat terkini. Sebagai contoh, umat Buddha walaupun rajin ke vihara, ikut kebaktian, sering bakti sosial, bahkan sudah mengikuti upacara visudhi, namun KTP-nya tetap beragama lain. Entah kenapa masih enggan menyebutkan dirinya beragama Buddha. Hal ini mungkin dikarenakan ada kesan agamanya dianggap kuno, tidak menarik, dan konservatif. Umatnya ketika beribadah juga menggunakan pakaian yang sederhana, cenderung seadanya. Apalagi ibadah umat Buddha duduk di lantai dan tidak menggunakan alas kaki. Saat beribadah juga jarang yang langsung mau duduk di depan. Banyak yang maunya duduk di belakang. Jadi ketika ada orang yang datangnya terlambat dan harus duduk di depan, tentu akan mengganggu ibadah.

Hal lain yang tak kalah pelik juga terkait tema ceramah (dhammadesana). Ceramah yang disampaikan biasanya mengacu pada Tripitaka atau Dhammapada atau kitab-kitab suci lainnya yang mengambil ilustrasi zaman Buddha. Misalnya ceramah mengenai persembahan jubah. Sering diceritakan bahwa Sang Buddha menolak persembahan jubah dari Mahapajapati Gotami yang dengan susah payah menjahit jubah tersebut. Sang Buddha memintanya dipersembahkan kepada Sangha, namun tetap diterima oleh Sang Buddha. Lalu apa relevansinya dengan kehidupan modern kita? Sekarang banyak kita jumpai jubah berlimpah-limpah di hampir setiap vihara. Bhikkhu atau Bhikkhuni tidak banyak, namun jubah menjadi berlebih-lebihan.  Celakanya, dhammadesana yang sama di ulang-ulang padahal tidak relevan lagi. Sementara banyak umat menghadapi persoalan hidup kurang bisa mendapat “jawaban” dari ceramah-ceramah ini. Seperti kesulitan ekononi, kesulitan membiayai pendidikan anak, dikejar-kejar debt collector karena gagal bayar cicilan, serta persoalan-persoalan lainnya. Bagaimana ceramah yang disampaikan di vihara bisa menjawab persoalan umat, itulah yang menjadi tantangan besar umat Buddha.

Menurut Master Chin Kung, ceramah atau dhammadesana sebaiknya disampaikan secara kontekstual dengan diarahkan ketiga hal, yaitu sila, samadhi, dan panna. Untuk sila, umat diajak untuk menjaga kemoralannya. Dengan memiliki moral yang baik, kehidupannya pun diharapkan memiliki arah yang baik. Umat didorong untuk tidak lobha agar dia tidak mencuri atau berbuat hal-hal yang merugikan dirinya sendiri seperti main judi, baik judi onsite seperti main dadu atau ke casino, togel, judi online termasuk slot dan sebagainya. Agar mereka tidak lobha maka lakukanlah samadhi. Misalnya membentuk kelas-kelas meditasi, kelas liamkeng, kelas yang menjaga ketenangan batin umat sehingga menimbulkan Samadhi. Jika Samadhi dapat dipertahankan melalui kelas-kelas meditasi atau liamkeng maka diharapkan umat dapat mencapai Kebijaksanaan atau Panna. Tentu semua ini memerlukan perhatian, tindakan dan keterlibatan semua pemuka agama atau pengurus vihara baik dari tingkat pusat, provinsi, cabang, kabupaten kota, maupun yang paling penting ialah tingkat akar rumput yang pada MBI disebut tingkat Pasamuan Umat. Apakah kita sudah melakukanya? Mari kita tunggu tindak lanjut Pengurus Majelis pada semua tingkatan.

Punahnya Agama Buddha sebagaimana yang sudah kami jelaskan pada part 1, bukan fenomena yang baru tetapi merupakan siklus pengulangan belaka. Di jaman Sriwijaya agama Buddha punah karena penyakit malaria atau serangan-serangan dari Champa, sekarang Kamboja. Di jaman Mataram Hindu memang sempat mencapai puncaknya yaitu berdirinya Candi Borobudur sekitar abad ke-7, namun kemudian punah karena meletusnya Gunung Merapi sehingga Kerajaan Buddha pindah ke Jawa Timur lalu lahirlah Kerajaan Hindu Buddha di abad ke-13 tetapi kemudian juga hancur di abad ke 15 yaitu di jaman Majapahit. Agama Hindu Buddha punah seiring runtuhnya Kerajaan Majapahit akibat perang saudara yang berlarut-larut antara Bhre Wirabumi (anak selir dari Prabu Hayam Wuruk) dengan Wikramawardhana (memantu dari Prabu Hayam Wuruk yang menikah dengan Ratu Kusumawardhani) yang kemudian kita kenal dengan Perang Paregreg tahun 1404-1406. Perang ini menghancurkan bukan hanya Kerajaan Majapahit, tetapi juga agama Buddha.

Pada tahun 1955, Bhante Ashin Jinarakkhita atau Su Kong membangkitkan kembali Buddha Dharma dengan cara memperingati Waisak di Candi Borobudur. Inilah tonggak sejarah perkembangan Agama Buddha modern di Indonesia yang pada tahun 1978 diresmikan sebagai agama oleh menteri agama yaitu Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali dan didirikanya Dirjen Bimas Hindu dan Buddha berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 30 Tahun 1978. Perlu dicatat di sini adalah peran Mahabiksu Ashin Jinarakkhita sang pelopor yang sangat menentukan dalam di akuinya Agama Buddha sebagai agama resmi di Indoesia. Waktu itu Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali mengajukan 3 syarat kepada Su Kong, yaitu Agama Buddha harus punya Tuhan, punya Nabi dan Kitab Suci. Su Kong berhasil memenuhi ketiga syarat tersebut dengan menyampaikan Sanghyang Adi Buddha sebagai Tuhan Agama Buddha dengan rujukan pada Kitab Suci yang bernama Sang Hyang Kamahayanikan, kitab Suci agama Buddha yaitu Tripitaka sedangkan nabinya yaitu Siddharta Gautama. Tampaknya peran Su Kong mulai di geser dan tidak diakui oleh umat Buddha sendiri di luar keluarga Buddhayana Indonesia, karena itu walaupun sumpah dalam acara resmi baik di pengadilan maupun di pemerintahan masih menyebut Sanghyang Adi Buddhaya tetapi banyak teman-teman dari majelis lain sudah tidak lagi menggunakan Sanghyang Adi Buddha yang diakui pemerintah tersebut.

Perjalanan agama Buddha di Indonesia tak bisa dipungkiri memang naik turun. Hal ini tentu memiliki imbas terhadap jumlah umat. Belum lagi dinamika organisasi didalamnya, baik ditingkat nasional maupun organisasi dalam lingkup majelis. Selain Walubi yang sudah lama eksis, sejak 2018 Permabudhi (Persatuan Umat Buddha Indonesia) hadir untuk menambah pilihan umat dalam berkontribusi bagi agama dan negara. Ir. Arif Harsono menjadi ketua pertama dan saat ini dilanjutkan Prof. Dr. Philip K. Widjaja. Menyangkut organisasi ini akan ditulis dalam tulisan berikutnya.

Dengan terjadinya perkembangan dalam dunia Buddhis memang tidak ada jaminan agama Buddha tidak akan punah di Indonesia. Indikasi punahnya Agama Buddha sudah di depan mata. Menurunya jumlah umat secara signifikan dari yang sebelumnya pernah mencapai 2% di abad ke 20 tapi sekarang menjadi 0,75%, sungguh merupakan keprihatinan kita bersama. Jadi apa yang harus kita lakukan bersama?

Metacitena

Up Sugianto Sulaiman

Institut Nagarjuna

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *