Foto : Surahman Ana dan Dok. Vihara
Desa Butuh, terletak di Kecamatan Kalikajar, Wonosobo, telah lama menjadi rumah bagi komunitas umat Buddha yang aktif dalam kegiatan di vihara dan tetap menjaga tradisi lokalnya. Meskipun umat Buddha bukan mayoritas di desa ini, kehidupan sosial yang harmonis tetap terjalin dengan kepercayaan lainnya.
Perkembangan agama Buddha di Desa Butuh juga terus menunjukkan tren positif. Berdasarkan data yang disampaikan salah satu tokoh umat Buddha Desa Butuh, Subarno, pada Senin (11/3/2024), menunjukkan bahwa terjadi penambahan umat baik melalui kelahiran maupun pernikahan. Di samping itu, terdapat peningkatan dalam hal pendidikan dan sumber daya manusia. Saat ini, komunitas umat Buddha di Desa Butuh berjumlah sekitar 200 jiwa dari berbagai kelompok umur.
Salah satu daya tarik utama agama Buddha di desa ini adalah semangatnya dalam merawat dan terus menggali tradisi lokal seperti Nyadran, slametan, dan seni budaya yang masih tetap dilestarikan dan dijalankan. Pemugaran vihara yang dilakukan pada bulan Juli 2021 menandai komitmen umat untuk menjaga dan memperindah tempat ibadah mereka.
Kisah Keberadaan Agama Buddha dan Vihara Metta Buddha Sumbing
Perjalanan agama Buddha di Desa Butuh dan berdirinya Vihara Metta Buddha Sumbing menjadi catatan yang menarik dalam sejarah keberagaman agama di wilayah tersebut. Menurut Subarno, kemunculan agama Buddha di Butuh bermula dari kegelisahan komunitas kebatinan kala itu.
“Dulu munculnya agama Buddha di sini tahun 1994. Jadi agama Buddha di sini itu muncul bukan didatangkan. Dulu di sini ada pergerakan yang dikenal dengan istilah kebatinan dan kebetulan penggiat pergerakan ini masih satu keluarga besar,” terang Subarno saat diwawancari BuddhaZine, Senin (11/3/2024).
Mendiang Romo Joyo Sutikno, yang tidak lain adalah ayah kandung Subarno, disebut-sebut sebagai salah satu tokoh penting dalam keberadaan dan perkembangan Agama Buddha di Desa Butuh. Proses awal kemunculan agama Buddha di Desa Butuh dipicu oleh peristiwa nasional, seperti pidato Panglima ABRI, LB Moerdani, pada tahun 1993 yang mengharuskan setiap Warga Negara Indonesia memeluk salah satu agama yang disahkan oleh pemerintah. Berita tersebut diikuti oleh Romo Joyo Sutikno, yang kala itu sebagai pemimpin kelompok kebatinan di Desa Butuh.
Hal ini memicu perdebatan dan refleksi dalam komunitas kebatinan di desa tersebut. “Setelah mendengarkan pidato itu, terus dikaitkan dengan komunitas kebatinan di kampung,” lanjut Subarno.
Setelah melalui proses musyawarah dan penelusuran, komunitas tersebut akhirnya memutuskan untuk beralih ke agama Buddha sebagai pilihan yang lebih sesuai. Mereka kemudian mencari guru dan pembimbing agama Buddha dan akhirnya menemukan Pak Karsiyadi di Kaliwiro pada tahun 1994. Di tahun yang sama, umat sudah bisa membangun vihara pertama yang terletak di pojok bawah desa.
Bahkan, menurut Subarno, perkembangan Agama Buddha di Desa Butuh juga mampu melahirkan Agama Buddha di daerahn lain di Wonosobo. Pada tahun 1996, dari Butuh ajaran Buddha mulai menyebar ke Sontonayan, dan pada tahun 2000 melahirkan di Kecamatan Kepil.
Namun, seperti yang sering terjadi dalam perkembangan komunitas, terjadi permasalahan internal pada tahun 1996 yang mengakibatkan sebagian umat mengundurkan diri. Subarno mencatat, “Waktu awal bimbingan Agama Buddha di sini umatnya luar biasa banyak. Bagitu muncul masalah internal itu, banyak umat yang mengundurkan diri. Terus akhirnya umat Buddha tinggal sedikit.”
Masalah tersebut mengarah pada polarisasi di antara umat, yang akhirnya mempengaruhi aktifitas keagamaan di vihara. Pada tahun 1997, upaya untuk mengatasi perpecahan tersebut dimulai dengan memperbolehkan kedua kelompok umat, yang aktif di vihara dan yang tidak aktif, untuk bersama-sama melakukan kegiatan keagamaan.
Perjalanan menuju kesatuan komunitas agama Buddha di Desa Butuh tidaklah mudah. Meskipun terdapat upaya untuk menyatukan umat, konflik internal masih berlanjut hingga tahun 1998, yang memaksa satu kelompok lainnya memutuskan untuk membangun vihara sendiri. Akhirnya mereka memulai pembangunan vihara baru di tahun yang sama, terletak di bagian atas pemukiman dan berjarak kurang lebih 200 meter dari vihara lama. Vihara baru ini diberi Metta Buddha Sumbing.
Sejak itu, kegiatan keagamaan di Vihara Metta Buddha Sumbing terus berlanjut dan berkembang. Pada tahun 2021, vihara tersebut direnovasi kembali sebagai wujud komitmen dalam memelihara tempat ibadah tersebut. Dengan luas lahan mencapai lima ratus meter persegi, Vihara Metta Buddha Sumbing menjadi pusat spiritual bagi umat Buddha Desa Butuh.
Meski saat ini belum sempurna, vihara ini sudah nampak megah dengan bangunan utama dua lantai. Daun pintu dan jendela bermotif ukir mengelilingi ruang Dhammasala, menambah keagungan vihara. Fasilitas seperti kamar mandi, gudang dan ruang serbaguna pun sudah terbangun. Saat ini, umat sedang mengupayakan penyempurnaan Dhammasala, sementara untuk kuti direncanakan akan dibangun di sebelah kiri bangunan utama vihara.
Ketika berkunjung ke vihara ini, kita bisa menikmati pemandangan sekeliling yang menakjubkan. Landskap perbukitan dengan hijaunya lahan pertanian dan pemukiman yang terbentang sejauh mata memandang, menjadi daya tarik lain dari keberadaan vihara ini. Lokasinya yang terletak di kaki Gunung Sumbing, juga menyajikan udara segar sepanjang hari.
Aktivitas dan Event Besar Umat Buddha Desa Butuh
Umat Buddha di Butuh terbilang aktif dalam berkegiatan, setiap malam Rabu puja bakti di vihara, sementara malam Minggu dan malam Senin anjangsana di rumah umat. Selain itu kegiatan berkesenian juga berjalan lancar, dengan fasilitas gamelan lengkap umat rutin melakukan latihan panembromo di vihara.
Acara terbesar di Desa Butuh adalah Dhammasanti Waisak yang diselenggarakan setiap tahun secara bergilir dengan dusun-dusun lain. Perayaan ini tidak hanya menjadi momen penting bagi umat Buddha, tetapi juga untuk seluruh warga desa. Perayaan Waisak di Desa Butuh dilakukan selama lima hari penuh, dan semua aktivitas sehari-hari diliburkan untuk memungkinkan partisipasi semua warga, bukan hanya umat Buddha.
Dalam perayaan Waisak, berbagai kegiatan tradisional diadakan, termasuk Nyadran Mata Air, Nyadran Kuburan, dan Pradaksina keliling kampung dengan nuansa tradisi Jawa yang kental. Acara puncak seperti tumpengan dan puja bakti Waisak diselenggarakan dengan megah, dilanjutkan pertunjukan seni kerakyatan bahkan hingga dua hari dua malam. Seluruh rangkaian acara perayaan ini bahkan bisa sampai satu minggu, jika kondisi memungkinkan.
“Bahkan di sini dukungan dari instansi-instansi pemerintah juga terasa dengan kehadiran dari Koramil, Polsek, bahkan Polres juga ikut mengamankan jalannya perayaan. Setiap detik-detik Waisak kita biasanya merayakan ke Candi Sewu, saat pemberangkatan ada pengamanan dari Polsek, mereka datang ke sini memantau pemberangkatannya. Pada saat seperti ini, otomatis rumah-rumah umat kan kosong, dengan adanya pantauan dari pihak aparat termasuk Polsek dan Koramil, maka kami menjadi lebih tenang karena yakin keamanan rumah-rumah kami terjamin,” ungkap Subarno.
Pentingnya tradisi dan keharmonisan sosial di Desa Butuh tercermin dalam partisipasi seluruh komunitas, termasuk non-Buddha, dalam perayaan dan kegiatan agama Buddha. Meskipun ada pro dan kontra, mayoritas masyarakat mendukung dan bersatu dalam menjaga keberagaman dan kearifan lokal.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara