Dalam sejarah masa lampau Nusantara, banyak tercatat kisah perjalanan para pelawat asing yang singgah di Nusantara. Salah satunya kisah Atisha Dipamkara yang menurut sejarah pernah singgah di Swarnadvipa, Muara Jambi. Namun catatan sejarah kadang menghadirkan perdebatan dan tanda tanya jika dilihat dari perbandingan beberapa sumber literasi, pun kadang kurang sesuai dengan akal logika.
Atisha Dipamkara adalah seorang biksu dari India yang datang ke Nusantara untuk berguru kepada Serlingpa Dharmakirti. Menurut beberapa sumber, menyebutkan beliau datang dengan membawa 125 pengikut dan disambut oleh 500 biksu dan enam puluhan Samanera dari Swarnadvipa.
Sejarah ini tentu sudah banyak khalayak umum yang mengetahui dan mungkin sebagian sangat yakin akan kebenarannya. Namun tidak bagi seorang Salim Lee, seorang pemerhati sejarah terutama sejarah perkembangan Buddhadharma di Nusantara yang juga membaca dan mendalami teks-teks Muara Jambi dan relief Candi Borobudur.
Dalam acara Borobudur Writers & Culture Festival, Kamis (23/11) di Aula Hotel Grand INNA Yogyakarta, Salim Lee menjelaskan, “Dikatakan atau di buku-buku misalnya disebutkan Guru Besar Athisa datang dari India membawa 125 biksu dan perjalanannya delapan belas bulan, di sini dijemput lima ratusan biksu dan enam puluhan samanera sudah hampir enam ratusan orang.
“Saya mengatakan ini, bukan berarti saya menyangkal, saya tahu tujuannya supaya terinspirasi, tetapi kenyataannya beliau ini datang ke sini umur 32 tahun, baru tiga tahun menjadi biksu. Seandainya beliau punya pengikut pun, saya kira nggak sampai 125. Sekarang kita tahu perjalanan dari India tiga bulan, ndak 18 bulan. Karena situasi angin, nggak mungkin kapal itu 18 bulan terombang-ambing di sana, itu pasti nggak mungkin. Pasti menjurus ke sini atau menjurus ke sana, pulangnya juga ditunggu berangkatnya juga dihitung,” ungkap Salim Lee.
Di sisi lain, Salim Lee juga mengatakan bahwa Athisa yang datang ke Indonesia ini bukan untuk mengajar melainkan untuk belajar dari guru yang ada di Swarnadvipa. Beliau memperkuat pernyataannya dengan mengacu pada sumber catatan I Tsing (Yi Jing) di abad ke 7. Begitu juga mengenai 500 biksu dan 60 samanera yang menyambut kedatangan Atisha.
“Nah mengenai 500 lebih biksu yang menyambut beliau, dikatakan karena mereka tahu ini Guru Besar dari India yang datang dan juga yang 60 samanera. Saya kira kok malah lebih sedikit sebetulnya karena Yi Jing mengatakan sebetulnya beribu-ribu biksu yang ada di Swarnadvipa. Lha mengenai mereka itu datang khusus menyambut Athisa mari kita serahkan ke sejarawan-sejarawan yang menyelidiki dan tujuannya. Tapi kalau kita ambil dari segi misalnya ini, biksu muda yang usianya baru 32 tahun di India merasa di India ini kurang pelajarannya, kurang sesuatu. Terus beliau itu mencari tahu dan akhirnya diberi tahu bahwa di Nusantara, di Swarnadwipa ini diajarkan sesuatu yang luar biasa. Beliau memberanikan diri datang ke sini, tinggal di sini 13 tahun kurang lebih. Jadi masa belajarnya itu beliau lama di sini, yang akhirnya pada waktu beliau pulang ke India beliau jadi kondang. Istilahnya beliau jadi terkenal karena beliau lulusan Muara Jambi ini,” imbuhnya.
Nusantara di zaman Sriwijaya merupakan zaman keemasan dalam perkembangan Buddhadhamma. Dengan adanya sekolah atau Universitas Buddhis tertua dan mempunyai standar pelajaran internasional yaitu sekolah Nalanda di Muara Jambi. Di Nalanda inilah berdiam seorang Guru Besar yang mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan kepada Atisha yang menjadikannya terkenal ketika beliau pulang ke India. Guru besar tersebut adalah Acarya Dhammakirti dari Swarnadvipa. Hal ini juga diungkapkan oleh Atisha dalam catatan beliau tentang guru-guru beliau.
“Bahkan salah satu bukti di tahun tersebut beliau itu mengatakan punya banyak guru, tetapi kalau ketemu dengan satu guru dikatakan bulu kuduk berdiri dan menangis. Guru yang dibicarakan adalah guru dari Nusantara. Jadi sangat-sangat mungkin apa yang beliau ketahui itu adalah hasil pendidikan beliau di Nusantara,” tutur Salim.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara