• Thursday, 29 March 2018
  • Billy Setiadi
  • 0

Kondisinya sudah renta, hanya terbaring di kasur dipan sederhana miliknya. Di situlah ia melakukan aktivitasnya sehari-hari seraya menikmati hari tuanya. Kedua kakinya tak mampu lagi menopang tubuhnya untuk berjalan. Bukan harta berlimpah yang ia nikmati di hari tua.

Mbah Joyo kini berusia hampir 90 tahun. Tak ada hal istimewa, selayaknya orang sepuh pada umumnya. Namun siapa sangka, ia menyimpan semua cerita soal perkembangan dan kemunduran umat Buddha Desa Bumiayu, Blitar. Ingatannya masih tetap cemerlang di usia senjanya.

Beberapa mahasiswa dari Hikmahbudhi PC Malang dan UAKB (Unit Aktivitas Kerohanian Buddhis) Univ. Brawijaya Malang, sempat berkunjung  dan mewawancarai Mbah Joyo saat melakukan kegiatan “Live In” di Desa Bumiayu. Mencari informasi soal sejarah awal umat Buddha di Desa Bumiayu. Mbah Joyo merupakan salah satu tokoh umat Buddha dan saksi hidup pergulatan perkembangan umat Buddha di Desa Bumiayu.

Awal mengenal Buddhadharma

Para mahasiswa ini tak perlu repot mencari rumah Mbah Joyo. Karena hampir seluruh umat desa ini mengenalnya. Di pintu rumahnya bertulis papan nama sederhana “P. Joyo”. Bukti bahwa Mbah Joyo mungkin sering dicari banyak orang dan untuk memudahkan orang mencari rumahnya, maka sedikit diberi tanda.

Ia menyambut dengan baik kedatangan kami. Semangatnya seolah langsung meningkat. Posisinya yang tadinya berbaring, langsung bangkit ketika mahasiswa menanyakan soal sejarah perkembangan umat Buddha. Mbah Joyo seperti mendapatkan kembali harapannya yang sudah lama hilang.

Baca juga: Mbah Kasboe Lentera Agama Buddha di Jepara

Mbah Joyo menceritakan awal mulanya masyarakat Desa Bumiayu adalah kaum “abangan”. Kebetulan hampir seluruhnya “Soekarnois” dan simpatisan PNI (Partai Nasional Indonesia). Agama Buddha mulai dikenal di tahun 1966, pasca kejadian GESTOK (Gerakan Satu Oktober) atau biasa dikenal G-30S PKI. Penumpasan anggota dan simpatisan PKI (Partai Komunis Indonesia).

Dimulai dengan kedekatan Kepala Desa pada waktu itu bernama Bowo dengan Subroto dan Budiman. Subroto dan Budiman berprofesi sebagai guru di Kota Blitar. Kemudian Subroto dan Budiman mengajak Mbah Bowo, untuk mempelajari Buddhadharma. Mbah Bowo pun mengiyakan ajakan tersebut.

Karena Mbah Bowo mempunyai “Bargaining Position” sebagai Kepala Desa Bumiayu, maka ia mengajak warganya untuk mempelajari juga. Awalnya dibekali buku tata cara sembahyang, lalu mengikuti penataran (pelatihan). Mbah Joyo waktu masih cukup muda diajak oleh Mbah Bowo untuk mengikuti penataran.

Penataran berlangsung di kota Blitar. Sekitar 40 km jarak dari Desa Bumiayu ke Blitar kota. Mbah Joyo harus menggunakan sepeda untuk menuju lokasi, bahkan ia mengaku terpaksa pernah jalan kaki. Karena waktu keadaan desa juga jarang kendaraan.

Penataran di Blitar banyak diisi oleh alm. YM. Bhante Girirakhito, seorang tokoh perintis pergerakan kembali agama Buddha di bumi Indonesia. Bhante Girirakhito juga dikenal sebagai pemimpin Buddhis terkemuka yang sangat mengenali sekali karakter dari perkembangan agama Buddha di Indonesia. Ia tak segan-segan masuk ke pelosok-pelosok desa untuk mengembangkan Buddhadharma.

Lewat penataran-penataran yang diikutinya, Mbah Joyo kemudian mensosialisasikan kembali kepada penduduk desanya. Hasilnya hingga 1975 jumlah umat Buddha di Desa Bumiayu hampir 100%! Kehidupan desa berjalan dengan aman dan tenteram.


Rupang Buddha pertama Mbah Joyo sejak 1968

Awal berkurangnya umat Buddha

Sampai pada saat pergantian Kepala Desa seolah menjadi momok. Rezim Orba (Orde Baru) yang kuat melanggengkan militer untuk masuk segala lini kekuasaan, termasuk desa. Kepala Desa baru bernama Sumiran ini berasal dari kalangan militer dan “non-Buddhis”.

Kebijakan berubah drastis semenjak Sumiran memerintah. Waktu itu, banyak anak-anak muda Buddhis yang diintimidasi untuk meninggalkan agama Buddha. Orang-orang yang mempertahankan ajaran Buddhis pun didiskriminasi. Tak boleh keluar desa untuk bekerja atau belajar, harus menjadi petani atau usaha apa saja, yang penting tak keluar desa.

Untuk orang Buddhis, pajak tanah menjadi tinggi. Pungutan desa menjadi tak wajar. Hal tersebut tak berlaku untuk mereka yang meninggalkan agama Buddha. Kejadian ini berlangsung 27 tahun selama Sumiran menjabat menjadi Kepala Desa.


Mengabadikan sebuah kenangan bersama Mbah Joyo

Semacam ada kemiskinan secara struktural yang dilegitimasi oleh keyakinan tertentu. Alhasil sekarang sisa umat hanya sekitar 30% dari jumlah penduduk desa. Yang bertahan ini yang melakukan perlawanan terhadap kekuasaan pada waktu itu. Generasi muda Buddhis sengaja diputus agar habis dan lenyap.

Mbah Joyo menceritakan itu dengan sedikit agak geram. Ada raut kekesalan dan penyesalan di balik wajahnya. Walau suaranya tak selantang dulu, Mbah Joyo masih mampu menceritakan hal-hal itu dengan jelas.

Baca juga: Tanpa Mbah Kalam, Agama Buddha di Jepara Hanyalah Sejarah

Namun dirinya tak pernah menyesal mengenal Buddhadharma. Ia bangga pernah menjadi salah satu pelopor kebangkitan ajaran Buddha di daerah Blitar. Bahkan rupang Buddha pertama yang ia dapatkan di tahun 1968 masih tersimpan di lemari pribadi miliknya. Meskipun kondisinya sudah sedikit rusak.

Pesan Mbah Joyo untuk generasi muda Buddhis, agar menuntut ilmu setinggi-tingginya, memperdalam Buddhadharma sedalam-dalamnya. Ilmu dan Buddhadharma bisa dipakai untuk menolong orang lain agar menjadi orang yang bermanfaat guna lingkungan sekitar. Menjadi umat Buddha itu seperti berlian, harus mampu berkilau di antara yang lainnya.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *