• Thursday, 29 March 2018
  • Praviravara
  • 0

Dewasa ini, istilah Mahayana seringkali digunakan untuk melabeli, merujuk kepada nama sebuah mazhab tertentu di dalam sistem keagamaan Buddhadharma. Dan sebagai konsekuensinya, istilah ini juga menjadi sering digunakan untuk diperbandingkan dengan mazhab-mazhab lain di dalam agama Buddha. Dan lebih lanjut lagi, istilah Mahayana ini juga menjadi diidentikkan dengan warna tertentu dari jubah seorang biksu, atau ritual-ritual praktik tertentu dan sebagainya.

Apakah istilah Mahayana hanya menyangkut permasalahan eksternal seperti demikian?

Sebelum melangkah lebih jauh, kita perlu menyepakati satu hal terlebih dahulu, yaitu bahwa pada dasarnya tidak ada satu pun ajaran Buddha yang memiliki esensi tujuan yang letaknya di luar. Semua ajaran Buddha adalah berkaitan dengan pengelolaan batin, transformasi batin, dan penyempurnaan batin. Ketika bicara batin, maka ini adalah sesuatu yang letaknya di dalam, bukan di luar.

Jika kemudian, ada ajaran-ajaran Buddha yang kemudian mengejawantah menjadi ajaran-ajaran yang seolah-olah terlihat seperti mengatur hal-hal eksternal, seperti cara berperilaku dan sebagainya, maka itu pun seyogyanya perlu dipahami sebagai sebuah metode yang sebenarnya pun diajarkan untuk mendidik batin.

Jangan menggunjing

Kita seringkali bertemu dengan fenomena, kita suka berlomba-lomba menilai dan “menggunjingkan” tingkah laku seseorang yang kita labeli sebagai “tidak sesuai sila atau vinaya“. Kita kemudian dengan semua upaya kekuatan intelek kita, bisa menyebutkan satu per satu, sila apa saja yang dilanggar dan sebagainya, kemudian menjadikannya sebagai sebuah wacana debat yang hangat.

Kita tidak pernah menanggapi fenomena tersebut dengan sikap introspeksi ke dalam: Apakah saya sendiri telah menjaga sila saya sendiri dengan kokoh, bebas cacat dan cela? Apakah saya bisa mengenali klesha yang acap kali menganggap diri lebih mulia dan selalu melihat keburukan orang lain ini dan bisakah saya menaklukkan klesha ini?

Apakah saya bisa menumbuhkan rasa iba dan senantiasa mencari cara agar saya bisa menolong orang yang sila-sila-nya cacat ini karena saya tahu akibatnya akan sangat buruk bagi mereka? Padahal, praktik sejati ajaran Buddha, sangat jelas dan bebas debat, adalah ketika kita senantiasa introspeksi ke dalam!

Filosofi memakai sepasang sandal

Oleh karena itu, Shantidewa, di dalam mahakaryanya, Bodhicaryawatara, mengatakan dengan sangat cerdas dan bijak bahwa mengenakan sepasang sandal kulit di kaki adalah sudah sangat cukup daripada harus mencari potongan kulit seberapa banyak untuk melapisi seluruh permukaan dunia demi melindungi kaki kita ketika berjalan.

Demikian pula, Mahayana, adalah sebuah istilah yang seyogyanya, dinilai dari dalam, bukan dari luar.

Menurut tradisi Tahapan Jalan Menuju Pencerahan, terdapat 3 kategori praktisi Dharma, yaitu para makhluk yang disebut sebagai bermotivasi kecil, menengah, dan agung, ini semua adalah bergantung pada cara berpikir dan motivasi mereka dalam aktivitas mereka sehari-hari.

Makhluk kategori pertama, yakni yang bermotivasi kecil, terbagi lagi menjadi 3, yaitu: makhluk bermotivasi kecil-kecil, makhluk bermotivasi kecil-menengah, dan makhluk bermotivasi kecil-agung.

Makhluk bermotivasi kecil-kecil memiliki batin paling picik dan sifat paling egois yang dapat ditemui dalam diri seorang manusia. Mereka bahkan tak punya kecenderungan sedikit pun terhadap kehidupan spiritual, dan hanya mencari kesenangan sesaat dalam kehidupan sekarang.

Motivasi mereka sangat kecil karena tak melampaui kehidupan saat ini. Karena prioritas mereka adalah mengalami sebanyak mungkin kesenangan dalam kehidupan ini, mereka tak segan-segan menyakiti makhluk lain demi mengejar tujuan mereka, bahkan cenderung melakukan tindakan kejam. Mereka berbohong agar dagangannya lancar.

Mereka merebus kepiting hidup-hidup ke dalam panci berisi air mendidih demi semangkok santapan lezat. Mereka mencaci ketika terusik.

Makhluk bermotivasi kecil-menengah berubah-ubah antara melakukan perbuatan negatif dan positif; kadang mereka berbuat jahat, kadang mereka berbuat bajik.

Sementara itu, makhluk bermotivasi kecil-agung adalah praktisi yang paham bahwa segala kesenangan dalam kehidupan sekarang bersifat terbatas dan keliru.

Mereka menganggapnya kurang bernilai karena satu alasan: kenikmatan ini tak bisa dibawa mati! Mereka lalu berpikir untuk tak terlalu bernafsu mengejar kenikmatan seperti itu, melainkan lebih fokus mencapai kebahagiaan di kehidupan mendatang. Hal ini dapat dilakukan dengan menjalankan sila murni serta latihan-latihan lain untuk memastikan kebahagiaan jangka panjang.

Praktisi Dharma yang sejati dimulai pada kelompok ketiga ini, makhluk bermotivasi kecil-agung, yaitu makhluk yang setidaknya memiliki sedikit aspirasi spiritual.

Berdasarkan penjelasan ihwal makhluk bermotivasi kecil ini, kita perlu memeriksa batin kita untuk menentukan di manakah posisi kita di antara 3 kategori ini. Apakah kita terbilang makhluk bermotivasi kecil-kecil yang hanya bertindak demi kehidupan sekarang? Ataukah kita termasuk makhluk bermotivasi kecil-menengah yang masih terbagi antara menikmati kesenangan saat ini sembari berusaha untuk mengejar kehidupan mendatang? Ataukah kita tergolong makhluk bermotivasi kecil-agung yang mengutamakan kepastian kebahagiaan di kehidupan mendatang?

Dengan bertanya pada diri sendiri seperti ini, posisi kita akan menjadi lebih jelas.

Apakah ciri makhluk bermotivasi kecil (yang agung)? Mereka merasa bahwa sebanyak apa pun kesenangan yang dialami dalam kehidupan saat ini, kesenangan ini takkan bertahan lebih dari 100 tahun.

Lebih jauh, mereka harus meninggalkan semuanya. Jadi, kebahagiaan sebesar apa pun juga memiliki kekurangan besar, seperti ketidakstabilan dan ketidakmampuannya dalam memberi kepuasan yang permanen.

Kemudian yang berikutnya adalah makhluk yang bermotivasi menengah. Mereka memandang lebih jauh ke depan, sebab mereka tahu bahwa kebahagiaan sementara yang diperoleh akibat kelahiran yang baik di dalam samsara tak mengubah fakta bahwa kelahiran berikutnya itu tak pasti.

Bahkan bila mereka bisa memastikan kepemilikan kondisi yang baik dalam 5 kali kelahiran berturut-turut, apa yang terjadi pada kelahiran ke-6 masih menjadi misteri.

Banyak orang membeli polis asuransi untuk melindungi diri dari hal-hal yang tak diinginkan atau risiko yang mungkin terjadi. Kondisi yang sama dilakukan oleh makhluk bermotivasi menengah.

Mereka meramalkan bahwa walaupun mereka bisa menjamin kebahagiaan jangka panjang di dalam samsara, masih tetap ada kemungkinan status mereka akan merosot suatu hari nanti, jatuh ke dalam bentuk kehidupan rendah, dan terpaksa mengalami penderitaan yang luar biasa.

Mengapa demikian? Sebab selama kita belum sepenuhnya membuang semua klesha, cepat atau lambat klesha akan mendorong kita menciptakan karma yang berakibat kelahiran di alam rendah. Makhluk bermotivasi menengah sadar bahwa jika mereka tetap berada di dalam samsara, tak ada kepastian dan pembebasan sejati, dan mereka akan terus mengalami aneka bentuk penderitaan, dari yang paling kasar hingga yang paling halus. Oleh sebab itu, mereka mencari pembebasan penuh dari penderitaan akibat kelahiran berulang, yakni dalam bentuk nirwana pribadi.

Baca juga: Berkah Kelahiran menjadi Manusia

Para praktisi ini punya pandangan yang lebih luas dan kebijaksanaan yang lebih besar daripada makhluk bermotivasi kecil. Dengan memahami bahwa kelahiran berulang ini tak berharga dan bahwa yang kita sebut kebahagiaan itu sifatnya sangat lemah, mereka berusaha memperoleh pembebasan sejati dari karma dan klesha agar tetap bisa mempertahankan kondisi mereka.

Namun, mereka belum termotivasi oleh kepedulian akan kesejahteraan makhluk lain; perhatian mereka hanya terfokus pada kebahagiaan pribadi. Mereka ingin bebas dari deraan penderitaan samsara. Mereka berlatih untuk mencapai ke-arahat-an.

Kategori ketiga adalah makhluk yang bermotivasi agung. Para makhluk di dalam kelompok ini merasa bahwa ada yang salah jika mereka hanya memedulikan kesejahteraan pribadi. Mereka menganggap makhluk lain lebih penting daripada diri sendiri, semata-mata karena ‘makhluk lain’ jumlahnya jauh lebih besar.

Lebih jauh, mereka sadar bahwa makhluk lain telah begitu baik dan murah hati pada mereka di kehidupan lampau yang tak terhitung jumlahnya. Oleh sebab itu, makhluk bermotivasi agung membangkitkan aspirasi untuk membebaskan semua makhluk dari penderitaan dan menempatkan mereka pada kondisi kebahagiaan abadi. Mereka merasa punya tanggung jawab pribadi atas hal ini.

Untuk itulah, mereka merasa perlu mengembangkan potensi diri sepenuhnya untuk mencapai tingkat perkembangan spiritual tertinggi, yakni pencerahan lengkap atau Kebuddhaan.

Perlu dipahami bahwa pengelompokan-pengelompokan ini adalah dibuat berdasarkan fakta yang diamati secara langsung oleh sang ahli psikologi yang tak tertandingi, yang hidup di abad ke-6 sebelum Masehi di India. Beliau adalah Buddha sendiri. Jadi tidak ada celah yang bisa diperdebatkan dalam hal ini jika kita gunakan untuk berintrospeksi.

Dan ini bukan dibuat dengan tujuan untuk merendahkan kelompok yang satu atau memuliakan kekompok yang lain. Ingat bahwa ajaran Buddha selalu bertujuan untuk melatih batin dan hal pertama yang perlu diketahui sebelum bisa mulai berlatih adalah kita perlu tahu terlebih dahulu, titik start kita berada di mana. Hal yang sama juga dilakukan di dunia modern saat ini dengan adanya bermacam placement test sebelum kita memulai kelas-kelas kursus tertentu.

Dan inilah tata cara mengikuti jalan Buddhis untuk menuju pencerahan, secara bertahap sampai tujuan akhir tercapai.

Di mana posisimu?

Kita mulai pada level kita saat ini, diawali dengan motivasi kecil dan berusaha melewati seluruh tahapan jalan sampai kita memperoleh tingkatan tertinggi, yaitu tahapan jalan untuk makhluk bermotivasi agung.

Dalam proses menuju motivasi agung ini, pertama-tama berlatihlah dalam berbagai praktik yang umumnya dilakukan makhluk bermotivasi kecil, yakni mereka yang menganggap kelahiran baik di dalam samsara sebagai tujuan akhir. Pada poin ini, topik utama meditasinya adalah cara bertumpu pada guru spiritual, kelahiran sebagai manusia dengan kebebasan dan keberuntungan, potensi besar dari kelahiran sebagai manusia dan kesulitan memperolehnya, kematian dan ketidakkekalan, penderitaan di alam-alam rendah, berlindung, serta hukum karma dan akibatnya.

Selanjutnya, kembangkan kualitas yang dilatih bersama-sama makhluk bermotivasi menengah, yakni mereka yang bertujuan mencapai nirwana pribadi. Topik utama yang perlu direnungkan di sini adalah kekurangan samsara dan jalan pembebasan dari samsara, yang dipahami melalui sudut pandang 4 Kebenaran Mulia atau 12 mata rantai yang saling bergantungan.

Dengan mengembangkan kualitas bersama ini, kita akhirnya siap untuk menjalankan praktik makhluk agung, yang tujuannya adalah menolong semua makhluk memenuhi aspirasi mereka memperoleh kebahagiaan dan menghentikan segala penderitaan, yang pada gilirannya, demi alasan ini, berupaya mencapai pencerahan. Jalan makhluk agung utamanya adalah menerapkan metode untuk merealisasi Bodhicita dan, ketika ini telah diraih, mengikuti tahapan untuk mencapai pencerahan itu sendiri, yang dikenal sebagai praktik-praktik Bodhisatwa.

Praktik-praktik Mahayana pada dasarnya adalah praktik-praktik yang dilatih oleh para makhluk yang berada pada kategori motivasi agung, yaitu mereka yang berlatih dengan motivasi yang sangat jelas, mereka takut terhadap penderitaan samsara, kemudian mereka juga khawatir dan sedih terhadap penderitaan semua makhluk di samsara (yang tidak berbeda sama sekali dengan penderitaan yang dialaminya sendiri), dan oleh karena itu mereka berlatih untuk menjadi Buddha demi menolong semua makhluk.

Seorang praktisi meditasi di hutan yang mendapatkan bimbingan langsung dari silsilah kebiksuan di Thailand, jika bermeditasi semata-mata mencari ketenangan sementara saja, untuk menghindar dari permasalahan dunia, atau semata-mata mengharapkan karma baik ataupun mengejar jhana, atau untuk memadamkan kekotoran batin demi pembebasan pribadi, maka orang tersebut bukanlah seorang Mahayana.

Baca juga: Melatih Delapan Sila, Mendalami Buddhadharma

Sebaliknya jika orang tersebut tekun bermeditasi karena didorong oleh rasa iba yang menggebu untuk menempuh segala cara agar dapat secepat-cepatnya bebas dari samsara dan menjadi Buddha untuk menolong para makhluk, maka orang tersebut adalah seorang Mahayana, terlepas dari warna jubah dan lokasi negara tempat dia berpraktik.

Seorang praktisi nian fo (pelafalan nama Buddha) di Tiongkok, yang melafalkan mantram semata-mata karena mengira Sukhavati adalah sebuah surga yang menyenangkan dan dia ingin ke sana karena tidak tahan dengan penderitaan dunia, maka pada dasarnya orang tersebut tidak sedang mempraktikkan Mahayana.

Sebaliknya jika dia melafalkan mantram dengan motivasi untuk bisa memiliki kualitas sempurna dari Buddha Amitabha sendiri sehingga dia pun bisa memiliki kemampuan untuk menolong para makhluk yang tak terhingga jumlahnya untuk bebas dari samsara, maka orang tersebut adalah seorang Mahayana.

Jadi kesimpulannya sangatlah sederhana sekali. Apakah kita masih suka melihat keluar dan jarang melihat ke dalam? Jika demikian, barangkali kita belumlah menjadi seorang murid yang baik dari Buddha.

Apakah kita lebih banyak memikirkan kepentingan diri sendiri atau selalu berjuang untuk bisa memiliki kemampuan menolong orang? Jika kita berada di posisi yang kedua, kita ternyata adalah seseorang dengan hati Mahayana, terlepas dari penampilan luar kita seperti apa.

Praviravara Jayawardhana

Pengembara samsara yang mendambakan kebebasan

 

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *