• Friday, 27 July 2018
  • Junarsih
  • 0

Indonesia Tipitaka Chanting yang keempat tahun ini bertempat di Taman Lumbini kompleks Candi Borobudur, diikuti oleh kurang lebih 800 peserta dari berbagai daerah di Indonesia pada Jumat hingga Minggu (20-22/7).

Terdapat sepuluh sutta pertama dari kelompok Sīhanādavagga (Kelompok Auman Singa), Majjhimanikaya yang dibacakan. Majjhimanikāya adalah kumpulan khotbah-khotbah menengah dari Buddha kepada muridnya.

Pada malam pertama, tepatnya Jumat (20/7), Bhikkhu Dhammadhiro mengulas tentang Sīhanādavagga yang dimoderatori oleh Widiyono, seorang Dosen di Perguruan Tinggi Agama Buddha Syailendra.

“Ada sisi manfaat yang tidak kecil yang bisa dipetik dari pelaksanaan kegiatan ini. Bukan sekadar membaca syair bahasa pali dan terjemahan, melainkan juga beberapa pembahasan yang perlu.” Tutur Bhikkhu Dhammadhiro mengawali penjelasannya.

“Saya tertarik dengan sutta yang pertama, yaitu Culasihanada. Cula soalnya ada Maha, cula itu artinya kecil, maha itu artinya besar. Memang sutta relatif singkat, tapi kandungan yang ada di dalamnya, banyak hal yang perlu dijabarkan.”

Siha artinya singa, nada ini artinya seruan lantang. Sihanada artinya seruan lantang bagaikan raungan singa. Sutta ini sangat berperan penting dalam kita menumbuhkan dan memperteguhkan keyakinan kita kepada Buddha dan ajaran Beliau.”

“Secara umum Sutta ini mengumandangkan bahwa sosok Sammasambuddha dan ajaran Beliau adalah yang tertinggi di alam semesta. Oleh karena pencapaian Beliau Sammasambuddha adalah pencapaian yang tertinggi diantara pencapaian- pencapaian di dunia. Dan lebih yang lebih penting lagi adalah tidak ada pencapaian yang lebih tinggi dari itu.”

“Sutta ini disampaikan di Kota Savathi yaitu di Vihara Jetavana. Terkait dengan satu peristiwa bahwa setelah Buddha muncul, mencapai Penerangan Sempurna, ketenaran Beliau menyebar dan sangat-sangat marak. Tidak hanya kaum biasa-biasa, mulai dari para ksatria, para brahmana, termasuk juga para pedagang atau vaisya, sudra maupun kelompok-kelompok. Pada masa Buddha tidak ada orang yang dibedakan karena keluarga dan dari golongan, dari kastanya. Apalagi dari kekayaannya, melainkan dari nilai-nilai bajik. Dan setiap orang dikatakan punya potensi untuk maju.”

Baca juga: Rahasia di Balik Ceramah Bhikkhu Sri Pannyavaro yang Selalu Memukau

“Setelah agama Buddha menyebar dengan sedemikian luas, ini memberikan dampak, dampaknya adalah kepada para petapa yang lain, yang disebut titiya. Apa itu titiya? Titiya itu adalah pengikut-pengikut ajaran yang ada pada waktu itu di luar ajaran Buddha. Banyak sekali kelompok dan mereka memiliki pandangan dan pengetahuannya masing-masing. Beberapa ada kemiripan, beberapa yang lain berbeda dan bahkan bertentangan.”

“Karena pada saat itu agama Buddha sangat populer dan banyak masyarakat yang menganut ajaran Buddha. Mereka yang menganut ajaran lain merosot bahkan dikatakan sangat kekurangan. Ini juga ada terkait dengan satu sutta yang namanya kammadayadasutta, sutta tentang ahli waris.”

“Buddha karena melihat ternyata bahwa barang-barang para bhikkhu, barang persembahan, pendapatan-pendapatan para bhikkhu melimpah, karena masyarakat menaruh keyakinan pada sangha. Buddha kemudian menyebarkan satu sutta agar para bhikkhunya memilah-milah dengan jelas. Bahwasannya brahmacariya ini dijalankan adalah demi ajaran, bukan demi peruntungan, pendapatan. Oleh karena penimbunan ini, perolehan ini, persembahan ini, kalau tidak dipilih akan mengganggu pelatihan brahmacariya, pelatihan luhur.”

Pada masa itu, kaum titiya merasa gelisah dengan munculnya ajaran Buddha “Dalam hal ini para bhikkhu setelah mendengar para petapa yang lain mengatakan kegusarannya, kegelisahannya. Mengapa masyarakat itu hanya kepada Gotama? Kalau Gotama itu seorang petapa, samana, kalaupun di ajaran Gotama ini ada murid-muridnya, kami pun juga ada murid-murid. Dhamma yang ada pada Gotama kami pun ada,” Bhikkhu Dhammadhiro melanjutkan.

“Terkait dengan perbuatan bajik yang memberikan buah, yang dilakukan oleh masyarakat diperuntukkan ke ajaran samana Gotama ini. Kebajikan itu tidak memberikan buah, jika diberikan juga pada kami. Mengapa kemudian masyarakat hanya bersujud pada samana Gotama tidak kepada kami juga?”

“Mendapatkan laporan seperti ini dari para bhikkhu, Buddha kemudian mengajari bahwasannya sesungguhnya yang namanya petapa itu tidak ada di tempat lain. Petapa itu adanya diajaranku.”

“Andai ada petapa kedua, petapa kedua ini pun tidak ada di tempat lain. Hanya ada di ajaranku, ajaran Sammasambuddha. Andai ada pertapa jenis ketiga, petapa jenis ketiga ini juga hanya ada di ajaran ini juga. Dan andai petapa jenis keempat, petapa jenis keempat itu pun hanya ada di ajaran ini juga.”

“Yang menjadi sebab, Buddha memberitahu kepada para bhikkhu, bahwasannya diajaran ini ada kesalutan kepada sang guru yang pertama, diajaran ini ada kesalutan pada Dharma, yang ketiga di ajaran ini ada pelaksanaan sila yang sempurna, yang keempat diajaran ini ada orang-orang baik petapa maupun perumah tangga yang melaksanakan Dharma, yang menarik yang menyenangkan.”

“Buddha kemudian melanjutkan, memungkinkan para bhikkhu mereka para petapa di luar sana mengatakan bahwa kami pun punya kesalutan pada guru kami, apa bedanya? Kami pun punya kesalutan pada Dharma, ajaran guru. Di sini di ajaran kami ada pelaksanaan sila yang sempurna dan memungkinkan juga para petapa para perumah tangga yang menjalankan Dharma kami adalah orang-orang yang menyenangkan yang menawan.”

“Nah, di sini kemudian Buddha memberikan alasan, dimulai dengan mengangkat pencapaian tujuan ini ada satu atau ada banyak? Mengapa Buddha mengatakan ini?”

“Oleh karena pada waktu itu ajaran titiya atau ajaran di luar agama Buddha ini sangat banyak, seperti dikatakan tadi sebagian mirip sebagian berbeda sebagian bahkan berlawanan. Tentu masing-masing punya tujuan-tujuannya sendiri. Kalau ketiga, banyak tidak mungkin satu tujuan”

“Kemudian, tujuan pencapaian itu dicapai oleh mereka yang ada nafsu ragawi atau tidak ada? Tentu tidak, pencapaian tujuan itu ada bagi mereka yang ada kesucian atau tidak? Mereka akan menjawab ‘tentu bukan’. Pencapaian tujuan ini ada bagi mereka yang memiliki kebodohan atau tidak? ‘tidak’, dan kemudian ada beberapa pengikutnya, ‘bagi mereka yang ada kegandrungan tidak? ’tidak ada, ‘bagi mereka yang kemelekatan tidak? ‘tidak ada’. Mereka yang bijaksana atau tidak bijaksana? Bagi mereka yang bijaksana. Bagi mereka yang masih ada menyenangi atau tidak menyenangi atau tidak? Mereka yang sudah tidak ada menyenangi atau tidak menyenangi. Bagi mereka yang ada kotoran nafsu tidak?”

“Di sini orang-orang yang kemudian mengerti bahwasannya pencapaian itu bukan untuk mereka yang masih banyak keburukan, melainkan bagi mereka yang bebas dari keburukan.”

Baca juga: Ceramah Bhante Pannyavaro pada Asadha 2018

“Kemudian Buddha menyampaikan pemahaman bahwa pandangan yang ada pada saat itu dinyatakan sebagai pandangan keliru. Yang pada saat itu dinyatakan sebagai pandangan mereka yang benar. Yaitu pandangan tentang kekekalan dan pemusnahan. Mereka yang punya pandangan bahwa ini kekal tentu akan memegang kukuh pandangannya sendiri dan akan menyalahkan pandangan yang lain tentang pemusnahan. Tentu juga mereka yang memegang pandangan tentang pemusnahan tentu akan membenarkan pandangan sendiri dan menolak pandangan kekekalan.”

“Ini yang mengakibatkan ketidaksalutan kepada guru, kepada Dharma, tidak ada pelaksanaan sila yang sempurna, tidak ada guru yang menarik karena kotoran batin yang ada.”

“Untuk menyatakan bahwa petapa sammasabuddha ini hanya ada di ajaran Buddha tidak ada diajaran lain yaitu mengangkat kemelekatan. Ada 4 jenisnya, pertama yaitu kemelekatan berupa kesenangan indriawi, yaitu bentuk-bentuk yang menyenangkan yang mungkin didengar oleh indra penglihatan, suara-suara yang menyenangkan, bau-bauan yang dicium oleh hidung, rasa-rasa yang dirasakan oleh indra pengrasa, sentuhan-sentuhan yang menyenangkan yang dirasakan oleh indra penyentuh, dan fenomena-fenomena batiniyah yang memungkinkan diketahui oleh indra batin.”

“Kedua adalah kemelakatan pandangan keliru terhadap 10 hal, menganggap bahwa pemberian itu tidak ada, buah, manfaat, atau akibat dari perbuatan buruk maupun perbuatan baik tidak ada, jadi mau berbuat apa saja tidak ada dampaknya, tidak ada ibu atau ayah, alam ini tidak ada bagi makhluk-makhluk lain, menganggap bahwa makhluk spontan tidak ada, dan bahwa para petapa yang menjalankan tindakan luhur tidak ada.”

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *