Menteri Agama (Menag) Yaqut Cholil Qoumas beberapa waktu lalu menyatakan ingin menjadikan Candi Borobudur sebagai rumah ibadah umat Buddha sedunia. Merespons hal itu, Guru Besar Arkeologi UGM Prof. Dr. Timbul Haryono, M.Sc mengaku menyetujui, asal prosesnya tidak melanggar aturan yang ada.
“Sepanjang tidak melanggar undang-undang ya monggo saja,” kata Timbul di dalam diskusi dan peluncuran buku “Medang dalam Lintasan Sejarah Klasik Nusantara” yang digelar Sabtu (10/4/2021) secara daring. Acara diadakan oleh Medang Heritage Society.
Ia menerangkan, dahulu ada aturan yang membagi bangunan peninggalan sejarah termasuk candi menjadi living monument (monumen hidup) dan dead monument (monumen mati). Monumen hidup berarti bangunan masih berada di dalam sistem budaya masyarakatnya. Sementara monumen mati berarti bangunan berada di luar sistem budaya masyarakatnya.
“Living monument misalnya Masjid Demak,” katanya.
Sementara Candi Borobudur menurut aturan lama itu masuk kategori monumen mati, karena dianggap di luar sistem budaya masyarakat.
“Akan tetapi sekarang peraturan perundangan seperti itu sudah dihapus,” tegasnya.
Dengan demikian menurut Timbul tidak ada lagi pembagian living dan dead monument. Candi pun kini bisa digunakan untuk peribadatan umatnya, baik Hindu maupun Buddha.
Timbul lantas menerangkan, bangunan bersejarah seperti candi sebaiknya mengandung tiga fungsi. Yang pertama adalah fungsi edukasi, untuk pembelajaran. Yang kedua adalah fungsi ekonomi, bisa dimanfaatkan masyarakat sekitar. “Misalnya masuknya pakai karcis macam-macam itu,” kata dia.
Fungsi ketiga dan yang paling penting menurut dia adalah fungsi ideologi. Candi yang merupakan bangunan suci peninggalan masa lampau harus dilihat sebagai kebanggaan masyarakat. Khusus Candi Borobudur sendiri memang istimewa karena sudah diakui sebagai salah satu world heritage.
“Itu pun bukan hanya kebanggaan untuk Indonesia saja tetapi kebanggaan untuk masyarakat di dunia,” kata Timbul.
Sayangnya, menurut Timbul, kondisi Candi Borobudur di era modern ini mengalami semakin banyak kerusakan, entah karena alam atau karena ulah manusia. Ulah manusia ini bisa karena disengaja merusak atau tidak disengaja, misal karena beban pengunjung Borobudur yang terlalu banyak.
“Itu kalau berulang kali akan berisiko terhadap bangunan candinya sendiri,” katanya.
Karena itu, Timbul juga menyambut baik adanya wacana untuk dibuatkan fasilitas informasi yang lengkap dan interaktif di luar Candi Borobudur bagi pengunjung. Dengan demikian, bisa mengurangi beban pengunjung yang naik ke Candi Borobudur.
“Intinya adalah Borobudur itu tidak mungkin menahan beban yang banyak terus setiap hari,” katanya.
Meski demikian, Prof Timbul menolak wacana dibangunnya candi serupa Borobudur sebagai imitasi, khusus untuk dikunjungi wisatawan secara massal.
“Kalau dibuatkan candi lain akan bahaya, ada Candi Borobudur jilid dua, tidak boleh itu. Nanti bangunan yang baru itu nanti ribuan tahun lagi dianggap candi yang lama,” katanya.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara