Di dunia filsafat, ini sudah menjadi kisah klasik. Di masa Yunani Kuno, di kota Athena, Sokrates dianggap sebagai manusia yang paling bijaksana. Alasannya unik. Ia adalah manusia paling bijak, karena ia sadar, bahwa ia tidak tahu apa-apa.
Tak banyak penjelasan yang diberikan. Banyak tafsiran atas kisah tersebut. Salah satu yang paling berpengaruh adalah tafsiran, bahwa Sokrates amat menyadari keterbatasan dari akal budi manusia. Kita tak pernah bisa sungguh paham akan apapun yang ada di dunia ini.
Bahasa dan kenyataan
Pengetahuan manusia dijembatani oleh bahasa. Bahasa adalah abstraksi untuk menggambarkan keadaan dunia, sebagaimana ditangkap oleh panca indera manusia. Bahasa juga adalah abstraksi untuk berpikir dan merasa. Ia menjadi alat komunikasi untuk menyampaikan isi rasa dan nalar.
Karena merupakan abstraksi, bahasa selalu tak cukup untuk menggambarkan kenyataan apa adanya. Selalu ada jarak yang tak dapat lenyap antara kata dan yang nyata. Selalu ada jarak antara kata yang terucap dengan maksud sesungguhnya. Jarak ini tak akan pernah bisa sungguh tertutup, apapun usaha yang dilakukan manusia.
Hal serupa terjadi di dalam ilmu pengetahuan. Ia lahir dari kata dan konsep yang bergerak dengan hukum-hukum logika. Sampai tahap tertentu, ia bisa menyentuh kebenaran. Namun, ia tak akan bisa memahami segalanya.
Argumen lama menjadi usang. Argumen baru lahir. Sampai waktu tertentu, ia pun menjadi usang, dan ditinggalkan. Pandangan baru pun beranjak lahir.
Satu pertanyaan terjawab. Puluhan pertanyaan lain akan muncul. Satu teka teki terjawab. Beragam misteri lain muncul di dalam penelitian ilmiah. Ini tak akan pernah berhenti, dan menjadi petualangan yang menyenangkan bagi para ilmuwan.
Contoh paling jelas ada di dalam fisika modern. Sampai detik ini, para ilmuwan tak mampu sungguh menjelaskan, apa itu materi. Apakah ia sungguh ada, atau sebuah kekosongan yang mewujud, sehingga seolah menjadi nyata? Perkembangan terbaru di dalam fisika kuantum dan neurosains melenyapkan kepercayaan naif, bahwa materi itu sungguh nyata dan tak terbantahkan.
Tak heran, beberapa penemuan terbaru di astrofisika dijelaskan dengan menggunakan kata gelap (dark), atau hitam (black). Misalnya adalah materi gelap (dark matter), energi gelap (dark energy) dan lubang hitam (black hole). Ketiga kata tersebut ingin menjelaskan tentang ketidaktahuan para ilmuwan. Masih banyak sekali misteri di alam semesta yang perlu untuk diteliti lebih jauh.
Disini pentingnya kejujuran intelektual. Tidak ada yang bisa kita sungguh ketahui di alam semesta ini. Bahkan, kita juga tidak sungguh paham, siapa diri kita sebenarnya. Selalu ada ruang untuk misteri dari setiap kata dan konsep yang lahir.
Sikap tidak tahu adalah sikap terbuka. Ini adalah sikap mau belajar tanpa henti. Kata dan konsep digunakan untuk menyelam ke dalam kebenaran. Namun, kebenaran itu sendiri hanya bisa dialami, tetapi tak bisa secara utuh dan penuh dirumuskan.
Bahaya “Merasa Tahu“
Disini agama menjadi berbahaya. Agama bersadar pada iman. Artinya, agama bersandar pada kepercayaan murni, tanpa dasar logika dan data yang nyata. Agama membuat orang “merasa tahu”.
Tanpa sikap kritis, sikap “merasa tahu” akan membawa orang tersesat ke dalam kebodohan. Hanya orang bodoh yang merasa pasti. Kata dan konsep dianggap kebenaran yang menggambarkan kenyataan apa adanya. Sikap merasa tahu mematikan pengetahuan dan kebijaksanaan.
Ia melahirkan kemalasan berpikir. Orang percaya pada jawaban-jawaban dangkal yang dogmatik. Pencarian akan kebenaran pun berhenti. Orang hidup dalam kedangkalan yang bermuara pada kehancuran dirinya sendiri.
Nalar sehat pun redup. Berbagai keputusan dibuat dengan dasar yang dangkal dan dogmatik. Diskriminasi dan ketidakadilan terjadi di berbagai bidang kehidupan. Hidup bersama dipenuh ketegangan dan konflik berkepanjangan.
Tak heran, begitu banyak perang dilakukan atas nama agama. Begitu banyak penindasan dan ketidakadilan dilakukan atas nama agama. Dua kelompok yang merasa tahu akan saling membunuh untuk membuktikan kebodohannya. Indonesia pun sudah kenyang dengan terorisme mematikan yang berpijak pada ajaran Islam radikal.
Sains dan spiritualitas
Disinilah pentingnya agama berkembang menjadi spiritualitas. Dasarnya bukanlah lagi sikap “merasa tahu”, tetapi sikap keterbukaan pada misteri kehidupan. Kerendahan hati muncul. Ketidaktahuan menjadi agung, karena ia mendekatkan orang pada kebijaksanaan hidup yang melampaui kata dan konsep.
Di titik ini, spiritualitas berjalan searah dengan ilmu pengetahuan. Keduanya memeluk ketidaktahuan. Keduanya melihat ketidaktahuan sebagai jalan untuk pencerahan. Keduanya bersikap rendah hati sekaligus bersemangat untuk menyelami semesta yang tanpa batas ini.
Spiritualitas dan ilmu pengetahuan bersikap jujur di dalam menjalani hidup. Ketika kita merasa tahu tentang segala hal, terutama puas dengan jawaban dangkal dan dogmatik, kita menjadi pembohong. Kita berbohong pada diri sendiri, dan pada orang lain. Sebaliknya, jika kita sungguh jujur, kita akan menjadi sepenuhnya tidak tahu. Kita menjadi terbuka dan rendah hati terhadap segala yang ada.
Ketidaktahuan yang agung akan membawa kita pada pengetahuan tertinggi. Ia bisa dialami, namun selalu lolos dari genggaman kata dan konsep. Kita duduk dan menyerap misteri kehidupan yang melampaui kata dan bahasa. Hanya dengan begini, baru hidup kita menjadi sungguh berarti.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara