Waisak selalu disambut meriah oleh umat Buddha. Pelbagai acara digelar untuk memperingati hari lahir Sidharta Gotama, Sidharta mencapai Buddha dan Buddha Gotama parinibbana. Tak hanya di Borobudur dan kota-kota besar, peringatan Waisak juga digelar hingga pelosok-pelosok desa, termasuk umat Buddha Suku Tengger, Desa Ngadas, Kecamatan Poncokusumo, Malang, Jawa Timur.
Perayaan Waisak Umat Buddha Ngadas digelar hari Minggu (9/6) di Vihara Paramitta, satu-satunya vihara yang berada di Kecamatan Poncokusumo. Setidaknya lebih dari seribu umat hadir dalam acara ini. Mereka terdiri dari umat Buddha Desa Ngadas sendiri yang berjumlah 700 orang, umat Buddha Malang Raya, dan Surabaya. Selain itu, acara ini juga dihadiri oleh dua anggota Sangha, Bhante Sukhito dan Samanera Bayu, juga pejabat pemerintah setempat.
Acara dimulai pada pukul 10 pagi dengan prosesi pradaksina dari rumah Kepala Desa Ngadas sampai Vihara Paramitta. Sesepuh umat Buddha, pemuda, remaja sampai anak-anak dalam arak-arakan berbalut budaya. Dengan pakaian adat kebesaran warga Tengger dan membawa sarana sesembahan mereka berjalan membentuk barisan memanjang. Suasana ini menjadi perhatian sendiri bagi warga Ngadas dan wisatawan yang kebetulan lewat desa khayangan ini.
Setelah berjalan sekitar 30 menit, rombongan prosesi tiba di vihara, mereka disambut oleh dua orang penari dan puluhan perempuan berbusana adat. Setelah itu, para umat Buddha melakukan ritual sesembahan dan pemotongan tumpeng kabuli. Selesai pujabhakti dan sesembahan, acara Dharmasanti Waisak yang dipusatkan di bawah vihara.
Beragam makna
Lestarinya tradisi budaya, kedermawanan umat Buddha dan sikap menghargai yang lain (toleransi) adalah beberapa makna yang terlihat jelas dari perayaan Waisak Umat Buddha Tengger.
Masih dipegang teguhnya adat masyarakat Suku Tengger dipertegas oleh kehadiran Hadi Prajoko, Ketua Adat Nusantara. Dalam sambutannya, beliau berharap agar masyarakat Tengger terus menjaga adat budaya yang merupakan warisan adiluhung bangsa Indonesia.
“Setelah saya keliling ke Jepang yang sekarang menjadi negara modern, Selandia Baru menjadi negara modern, Inggris menjadi negara modern. Saya melihat bahwa modernisasi itu tidak berangkat dari perilaku-perilaku yang sektarian, tetapi modernisasi itu selalu berangkat dari nilai-nilai adat dan tradisi. Kalau negara ini meninggalkan adat dan tradisinya itu seperti halnya Malin Kundang kalau di Sumatera sana. Berarti kita meninggalkan Ibu Pertiwi. Maka dari itu kembali saya berharap kepada masyarakat Ngadas, Tengger ini dan masyarakat Indonesia pada umumnya untuk terus nguri-uri, terus gali, terus ukir negeri ini dengan adat dan tradisi yang telah diwariskan ribuan tahun yang lalu oleh para pendahulu kita, oleh para moyang kita yang telah memberikan kehidupan yang nyata,” katanya.
Baca juga: Tradisi Unik Masyarakat Tengger
Sedangkan sikap kedermawanan, kemurahan hati untuk berbagi tercermin dari ramahnya umat Buddha Tengger. Sebagai wujud syukur atas panen yang melimpah mereka menjamu umat Buddha yang hadir dengan aneka makanan dari hasil tani. “Satu minggu sebelum perayaan saya katakan kepada umat untuk menyiapkan jamuan. Semua yang tadi kita makan, itu adalah hasil bumi, hasil panen dari umat Buddha. Jadi kami memang ingin mengajak masyarakat yang hadir dalam acara ini untuk makan bersama,” kata Mistono, Ketua Vihara Paramitta.
Fenomena perayaan Waisak yang lekat dengan tradisi, adat, serta kuatnya jalinan toleransi antar umat beragama ini menjadi daya terik tersendiri bagi umat Buddha dari luar Desa Ngadas. Hal ini pun diungkapkan oleh salah satu peserta bernama Putri Pratama Ananda Sarera dari Vihara Buddha Jawa, Desa Sindurejo, Kecamatan Gedangan, Malang.
“Saya ke sini untuk ikut menghadiri undangan perayaan Waisak di sini. Buddha Jawa itu Buddha yang masih lekat dengan tradisi leluhur seperti di sini. Untuk pujabhaktinya dengan kejawen dan juga dengan Theravada. Dari acara ini kita bisa memaknai bahwa perbedaan itu tidak harus dipisahkan, jadi toleransi juga harus dijaga karena kita kan berdampingan dengan kepercayaan dan tradisi yang ada. Namanya budaya tidak bisa dihilangkan dari masyarakat, jadi meskipun kita Buddhis, tidak harus kehilangan tradisi dan budaya yang sudah ada sejak dulu leluhur kita,” pungkasnya.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara