• Friday, 10 May 2024
  • Surahman Ana
  • 0

Foto     : Dok. Panitia

Pada Rabu (8/5/2024), ratusan umat Buddha menggelar perayaan Waisak untuk pertama kalinya di Candi Bima – Dieng, Wonosobo. Perayaan ini terselenggara atas kerja sama lintas majelis agama Buddha, antara lain Mahasi, Maghabudi, Zenfozong Kasogatan, dan MBI, serta didukung oleh Wisma Prajna Paramita Bhuwana Smerti Purwokerto.

Menurut Subarno, salah satu panitia acara, perayaan Waisak di candi yang lebih dikenal sebagai Candi Hindu ini diselenggarakan karena, secara Mahayana, Candi Bima dianggap sebagai tempat pemujaan Vairochana. Umat yang hadir berasal dari berbagai daerah, termasuk Kabupaten Wonosobo, Banjarnegara, dan Temanggung.

“Target awal panitia adalah 200 orang, tetapi kemarin sekitar 400 orang yang hadir. Panitia menghimbau agar peserta menggunakan pakaian tradisional sebagai identitas, tanpa menonjolkan identitas majelis kecuali untuk pandita,” ujar Subarno.

Acara dimulai dengan persembahan amisapuja oleh seluruh pandita dari berbagai majelis, diiringi kidung amisapuja macapat pangkur. Kemudian, dilanjutkan dengan penyalaan lilin oleh Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Wonosobo, I Made KS.

Untuk penyalaan lilin pancawarna: Biru oleh Pandita Mahasi; Kuning oleh pandita Maghabudi; Merah oleh Lou Cu Kelenteng; Putih oleh pandita Zenfozong Kasogatan; dan Jingga oleh pandita Buddhayana. Sementara itu, penyalaan pelita di dalam ruangan Candi Bima disertai dengan gatha pendupaan, bersamaan dengan penyalaan dupa di altar Buddha.

Puja bhakti juga dilakukan dari berbagai tradisi majelis yang hadir. Untuk Mahayana, dipimpin oleh Suhu Sakya Nimita dan pandita Mahasi Romo Tarra Lozhang dan Romo Teddy Tjahyadi. Puja berbahasa Pali oleh pandita Maghabudi Romo Karjono, berbahasa Sansekerta oleh pandita Zenfozong Romo Sutikno, dan berbahasa Kawi oleh Pandita Buddhayana Romo Jumeno. Pesan Dhamma disampaikan oleh Suhu Sakya Nimita.

Dalam pesan Dhamma-nya, suhu memberikan ulasan tentang bagaimana umat memaknai peringatan Waisak. “Dalam pandangan Mahayana, kelahiran Pangeran Siddharta tidak bersamaan dengan pencapaian penerangan sempurna dan parinibbana, melainkan pada 7 hari sebelum detik-detik Waisak,” ungkapnya.

Setelah pesan Dhamma, umat mengikuti upacara memandikan rupang bayi Pangeran Siddharta dan dilanjutkan dengan pradaksina mengelilingi Candi Bima. Rangkaian acara ditutup dengan pelimpahan jasa dan persembahan makan. Setelah jeda makan siang, umat melanjutkan kegiatan membersihkan pelataran candi, sebelum hujan turun.

Subarno menambahkan bahwa kegiatan ini direncanakan akan digelar setiap tahun, dan ditentukan pada lima belas hari sebelum detik-detik Waisak Nasional yang jatuh pada tanggal 1 penanggalan lunar/purnama tilem bulan Waisak. “Penentuan tanggal ini agar semua umat bisa mengikuti Waisak Nasional bersama di Candi Borobudur, Candi Sewu, Candi Sojiwan, atau di manapun sesuai arahan majelis masing-masing,” tambahnya.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *