Umat Buddha di berbagai daerah mengadakan perayaan Waisak 2560 BE/2016 secara bergantian. Umat Buddha di Vihara Giri Santi Loka, Dusun Guwo, Desa Blingoh, Kecamatan Donorojo, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah misalnya, mengadakan perayaan Waisak pada hari Rabu (25/5).
Setelah sekian lama umat Buddha di dusun ini mempunyai keinginan untuk merayakan Waisak bersama Bhante Dhammasubho, akhirnya keinginan itu terkabul. “Ini adalah perayaan Waisak yang pertama bersama Bhante Dhammasubho, sebuah karma baik dan kebahagiaan bagi kami umat Buddha Vihara Giri Santi Loka,” ujar Kasipan, Ketua Panitia Perayaan. Selain Bhante Dhammasubho, turut hadir Bhante Cattamano, Bhante Sujano, Bhante Khemadiro, puluhan samanera dan samaneri, forum komunikasi lintas agama, dan pejabat daerah Jepara.
Seperti biasa, perayaan Waisak di Jepara selalu diikuti dengan meriah oleh umat Buddha dari berbagai daerah Jepara dan Pati. Perayaan diisi dengan berbagai pentas seni, dari nyanyi sampai panembromo yang semakin membuat meriah acara yang dihadiri oleh lebih dari 2000 umat Buddha ini.
Bhante Dhammasubho dalam ceramah Dhammanya menyampaikan, bahwa umat Buddha Jawa, selalu menjunjung tinggi kearifan lokal dalam melakukan puja bakti. “Budaya puja (perilaku hormat), sudah ada sejak zaman Majapahit, dan ini sudah menjadi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara di Nusantara. Hingga saat ini, umat Buddha dalam melakukan puja selalu menggunakan dupa (Jawa: dupo, telu mesti podo – tiga-tiganya sama) yang artinya pikiran, ucapan dan budi pekerti harus sama. Oleh sebab itu kalau melakukan puja atau doa, tetapi pikiran, ucapan dan perbuatan tidak sama, maka sembahyangnya akan buyar dan tidak tercapai.”
Bhante melanjutkan, “Selama ini umat agama lain menganggap kalau orang Buddha kalau sembahyang memakai dupa, dibilang umat Buddha menyembah api, ini tidak benar. Inilah kearifan lokal, dan ini perlu kami tegaskan kepada forum komunikasi lintas agama Jepara yang hadir pada hari ini, dan forum komunikasi lintas agama sangat dibutuhkan dari zaman ke zaman.”
“Ajaran Buddha sudah menjadi adek-adeking (landasan) kehidupan terutama di tanah Jawa melalui budaya puja atau perilaku hormat. Puja dimulai dengan bersih diri, bersih lingkungan dan dunia, atau bersih jagat cilik (kecil) ke jagat gede (besar).”
Dalam hal perilaku hormat, Bhante Dhammasubho memberi contoh, “Dulu anak kecil ketika berjalan dan melewati sebuah pohon besar, mereka mengatakan, ‘Nuwun sewu Mbah, kulo tak langkung (Permisi Mbah, saya mau lewat).’ Itulah contoh perilaku hormat. Sejak runtuhnya Kerajaan Majapahit, budaya bersih-bersih, budaya puja ditinggalkan, maka saat ini untuk bersih-bersih harus dipaksa. Dengan budaya puja, manusia menjadi bersih, rendah hati, hati-hati dan setiti (teliti). Ketika itu dihilangkan, maka kehidupan menjadi kering.”
Menurut Bhante, Buddha Gotama adalah satu-satunya orang yang bisa menjadi teladan dalam kehidupan manusia, “Buddha Gotama adalah manusia yang sempurna pengetahuan, tindak tanduk, serta spiritualnya.”
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara