Pada masa lalu, Nusantara sudah menjadi tujuan bangsa manca untuk menimba ilmu. Kebesaran Nusantara sebagai bangsa yang piawai dalam banyak hal membawa daya tarik bagi para pelawat asing untuk berkunjung dan belajar di Nusantara. Salah satu pelawat terkenal yang pernah berkunjung dan belajar di Nusantara adalah Yi Jing, seorang bhiksu asal Tiongkok.
Yi Jing lahir di Fangyang pada tahun 635, sejak usia 7 tahun telah belajar dengan Shan Yu dan Hui Xi. Pada usia 18 tahun, Yi Jing mempunyai tekat untuk ziarah ke India. Pada usia 20 tahun Yi Jing mendapat upasampada (ditahbis menjadi biksu). Di usia 37 tahun, Yi Jing memulai perjalanan ke India, dalam perjalanannya menuju India, ia singgah di Foshi (Sumatera/Sriwijaya) dan tinggal selama 6 bulan belajar sabdavidya (tata bahasa Sanskerta).
“Catatan Yi Jing merupakan catatan yang paling mendetail mengenai pusat pembelajaran di Nusantara. Beliau datang ke Foshi sebanyak tiga kali, yang kalau ditotal tinggal di sana sekitar 10 tahun,” terang Shinta Lee, pada Simposium; Pelawat China di Nusantara acara Borobudur Writers & Culture Festival, di Ruang Awadhana, Manohara Jumat (23/11).
Dalam perjalanannya ke India (Nalanda) dan Nusantara, Yi Jing menulis dan menerjemahkan kitab-kitab agama Buddha. Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Laut Selatan (Nanhai Jigui Neifa Zhuan), Riwayat Para Mahabhiksu Yang Mengunjungi India dan Negeri-negeri Tetangga untuk Mencari Ajaran di Masa Dinasti Tang (Da Tang Xiyu Qiufa Gaoseng Zhuan) dan Mulasarvastivada-ekasatakarma.
“Laut Selatan yang disebut dalam catatan-catatan Yi Jing ini merujuk pada; Pulau Sumatera, Bali, Jawa dan sekitarnya. Tulisan-tulisan Yi Jing ini yang menjadi saksi kebesaran bangsa Nusantara dan bisa kita jadikan rujukan untuk mengerti dan lebih dekat dengan bumi pertiwi, terutama mengenai kejayaan, jati diri bangsa, toleransi dan kearifan yang sudah mengakar kokoh sejak 14 abad yang lalu,” lanjut Shinta Lee.
Baca juga: Menteri Agama Tantang Umat Buddha Kaji Kebesaran Sriwijaya dan Majapahit
Sebagai contoh, Shinta Lee mengatakan dalam buku Nanhai tentang perayaan dan perjamuan di hari Uposatha dari di Laut Selatan. Yi Jing menceritakanya dengan sangat detail bagaimana acara itu berlangsung.
“Di pulau-pulau Laut Selatan, perayaan hari Uposatha dibuat dalam sekala yang lebih besar lagi. Pada hari pertama, tuan rumah menyiapkan kacang pinang, minyak beraroma wangi yang dibuat dari mustaka, dan sejumlah kecil tumbuhan beras diletakkan pada lembaran daun di atas piring. Bahan-bahan ini disusun di atas tampah besar yang ditutup dengan kain putih.”
“Di pulau-pulau Laut Selatan, mereka sering menggunakan tampah (dari anyaman daun) sebesar setengah tikar (alas duduk), di mana nasi yang terbuat dari satu atau dua sheng beras (yang tidak lengket), dihidangkan di atas tampah. Lalu 20 atau 30 jenis makanan disajikan, ini pun perjamuan yang dilakukan oleh orang-orang yang relatif tidak mampu. Jika perjamuan dilakukan oleh raja atau orang kaya; piring perunggu, mangkuk perunggu, dan juga tampah seukuran tikar didistribusikan. Jenis makanan dan minuman berjumlah ratusan. Pada kesempatan tersebut, raja-raja tidak mempermasalahkan kedudukan mereka dan menganggap diri sebagai pelayan, mempersembahkan makanan kepada para biksu dengan penuh hormat.
“Para kerabat dan tetangga ikut berpartisipasi dalam perjamuan, mereka membawa jenis makanan, seperti ketupat, nasi, sayuran untuk sup, dan sebagainya. Biasanya makanan yang dibagikan kepada satu orang dapat mencukupi tiga orang. dalam perjamuan yang dilakukan oleh orang kaya, makanannya bahkan tidak habis untuk 10 orang,” tulis Shinta mengutip buku Nanhai.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara