• Tuesday, 18 February 2020
  • Deny Hermawan
  • 0

Novel Tanah Putih sebenarnya mengisahkan sebuah perjalanan untuk mencapai pencerahan menurut paradigma Buddhis. Namun novel ini menuturkan banyak hal yang kompleks, yang membuatnya menjadi suatu bahan bacaan yang cukup berat, meski tergolong bukan novel yang tebal.

Hal tersebut mengemuka dalam acara Bincang Buku Tanah Putih karya Kris Budiman, yang digelar di UGM, Jumat (14/2/2020) pagi. Acara tersebut digelar oleh Prodi Kajian Budaya dan Media Pascasarjana UGM.

Sita Hidayah, Ph.D, dosen jurusan antropologi UGM selaku pembahas buku mengatakan, kisah yang tertuang dalam novel bukanlah cerita biasa, tapi perjalanan spiritual, yang bersifat sangat Buddhis. Bagian-bagian di novel itu, menurutnya diekspresikan seperti komposisi sebuah lagu.

“Ada intro, coda, ada reverse, jadi saya membayangkan, itu seperti dalam teknik komposisi lagu,” katanya.

Ia menjelaskan, di musik ada terminologi textpainting, di mana suatu lagu tentang sesuatu yang sedih atau berat, akan disusun dengan nada minor. Novel ini menurutnya adalah kebalikannya.

“Saya menyadari ada pola-pola decresendo, ada suara kuat di awal, lalu turun-turun, lirih, lalu sepi,” jelasnya.

Sita mengakui, ada pembahasan terkait cinta di novel itu. Namun ia memastikan, Novel Tanah Putih bukanlah cerita cinta, namun mengenai perjalanan spiritual yang sulit. Bukan catatan seperti travelogue tapi catatan reflektif ke dalam.

“Ini melampaui cinta yang melekat, kebebasan, tapi bukan freedom, tapi liberation, pencerahan
Buddhism yang melampaui dualisme,” katanya.

Ia merasa buku ini cukup berat, sebab banyak konsep, banyak cerita klasik, dan banyak unsur visual dimasukkan di buku ini. Citra candi dijadikan sebagai alat untuk menyadari diri sendiri, mencari pemahaman yang lebih tinggi. Candi menjadi ruang bagi pembaca menyadari tentang identitas diri, juga konsep waktu.

“Ini tentang perjalanan spiritual mencapai pencerahan sejati, tapi caranya ke mana-mana,” tegasnya.

Kris Budiman selalu penulis mengaku, novelnya yang kedua ini sebenarnya lebih tipis dari novelnya yang pertama, Lumbini. Jika di Lumbini ia betul-betul merancang plot dan skema secara mendetail, di Tanah Putih ia seperti “lepas setang”.

“Ada satu kata kunci, surealisme yang memuja fragmen-fragmen,” terang Kris.

Ia mengingatkan pembaca novelnya untuk tidak berharap menemukan alur yang konvensional. Meski demikian, ia mengaku rancangan perjalanan di novel Tanah Putih berdasar model dari relief Gandavyuha Sutra yang ada di Borobudur.

“Sukhema [tokoh utama dalam novel Tanah Putih] itu saya ambil dari Sudhana [tokoh sentral dalam Gandavyuha], yang bertemu banyak kalyanamitra, sahabat kebajikan,” ungkap Kris.

Dirinya menganggap, tidak ada ajaran Buddhisme di novelnya ini, tidak seperti di novel Lumbini. Judul novel pun menurutnya tidak terkait dengan Vihara Tanah Putih di Semarang, namun lebih ke pengalaman visual yang didapatnya ketika Jogja tertutup abu Merapi beberapa tahun lalu, sehingga semuanya berwarna putih.

“Itu soal asosiasi pembaca saja,” katanya santai.

Acara bincang buku diwarnai dengan pembacaan petikan novel Tanah Putih oleh Endah Sr. Selain itu Kris Budiman juga ikut membacakan penggalan novel, meski hanya dua paragraf.

Deny Hermawan

Editor BuddhaZine, penyuka musik, film, dan spiritualitas tanpa batas.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *