Ratusan peserta dari berbagai komunitas pelestari lingkungan serta warga Desa Giripurno mengikuti Sarasehan Madya “Nguri-uri Tradisi dan Seni Budaya Sebagai Wujud Konservasi Lingkungan” di Lapangan Desa Giripurno, Jumat (18/11). Sarasehan ini merupakan rangkaian acara di hari kedua Festival Ili-ili yang diselenggarakan oleh Komunitas Budaya Tirta Mula Adiraja (TMA) bekerjasama dengan berbagai komunitas pelestari lingkungan di Kabupaten Temanggung dan beberapa kota lainnya. Sarasehan menghadirkan empat narasumber yaitu Mbah Sukoyo dari Dusun Krecek Kaloran, penari Didik Nini Thowok dari Sanggar Tari Natya Lakshita, Farid Stevy dari Resan Gunung Kidul, dan Jurnalis lepas Titah AW. Festival dikuratori oleh Fransisca Callista.
Darmo Yuwanto, ketua panitia pelaksana menyampaikan bahwa Festival Ili-ili merupakan kelanjutan acara ulang tahun Temanggung ke 185/2019 yang diinisiasi oleh Komunitas Tirta Mulya Adiraja. Di samping itu, Darmo menambahkan bahwa keresahan warga akan semakin menurunnya debit air di berbagai sumber mata air juga menjadi pendorong diadakannya festival ini.
“Menurut data PDAM dari tahun 2019 hingga saat ini sumber air di Umbul Jumprit yang merupakan salah satu sumber air terbesar di Kabupaten Temanggung mengalami penurunan debit hingga 20 liter per detik. Hal kedua, keresahan masyarakat juga timbul berdasarkan penelitian CNN bahwa di tahun 2040 Pulau Jawa akan kehilangan sumber air baku,” imbuhnya.
Menurut Darmo, Ili-ili dari kata mili (mengalir), selain itu di jaman dulu Ili-ili merupakan seorang perangkat desa yang tugasnya mendistribusikan air di lahan pertanian. Tetapi sekarang jabatan itu sudah tidak ada. Sehingga dengan festival ini harapannya bisa menggugah semua orang untuk bisa menjadi Ili-ili.
Melalui festival ini, segenap panitia berharap bisa memberikan pemahaman pentingnya konservasi air dan juga pendistribusian atau pemakaian airnya. Festival Ili-ili dihelat selama tiga hari sejak tanggal 17 hingga 19 November 2022. Di hari pertama ada sarasehan alit di Desa Ngadirejo yang membahas tentang pendistribusian air di hilir. Hari kedua ada sarasehan madya di Desa Giripurno yang membahas perawatan sumber airnya. Sementara dalam sarasehan besar pada hari ketiga di Desa Liyangan memunculkan rekomendasi ke pemerintahan Desa menjadi Perdes, ke Kabupaten atau ke UPD masing-masing kota. Setidaknya yang sudah terpetakan panitia adalah ke Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan, dan Dinas Kesehatan.
Mbah Sukoyo: menanam pohon, menjaga sumber air, dan laku spiritual
Salah satu narasumber dalam sarasehan madya hari kedua, Mbah Sukoyo (58) menyampaikan pentingnya menanam pohon terutama pohon-pohon perdu untuk menjaga kelestarian sumber air. Mbah Sukoyo merupakan seorang tokoh penghijauan dari Dusun Krecek, Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung. Ia Mendapatkan anugerah penghargaan Masjchun Awards 2021 dalam bidang konservasi alam, atas jasanya yang telah bertahun-tahun menanami lahan kosong dengan beragam jenis pohon beringin serta merawatnya.
“Saya hanya meneruskan tradisi sesepuh terdahulu untuk merawat lingkungan terutama sumber air. Dan memang sejak 20 tahun yang lalu saya menjaga tradisi tersebut dengan menanami lahan-lahan kosong serta di dekat sumber mata air di dusun kami, Krecek, dengan pohon-pohon beringin,” paparnya.
Mbah Sukoyo tidak hanya sekedar menanam, tetapi laku-laku spiritual dalam rangka merawat nilai-nilai konservasi ia jalankan. Sebagai Kepala Dusun, ia juga berkewajiban mengingatkan warganya untuk tetap menjaga tradisi dan kebudayaan agar tidak luntur. Sehingga tradisi yang berkaitan dengan pelestarian alam seperti Nyadran Kali, Nyadran Makan, dan Merti Dusun tetap lestari di Dusun Krecek.
Atas kerja konservasi yang dilakukannya, kini tidak hanya Mbah Sukoyo yang merasakan dampaknya secara langsung. Warga Dusun Krecek juga ikut merasakan kelimpahan air untuk kebutuhan sehari-harinya. Bahkan warga dusun-dusun lain sekitar Krecek juga mendapatkan manfaatnya.
“Di Krecek kami bersyukur sampai hari ini tidak kekurangan air. Beberapa sumber mata air bahkan juga digunakan oleh warga dusun-dusun sekitar Krecek. Sehingga dengan adanya pohon-pohon beringin di sumber mata air bisa menjaga agar airnya tetap lancar. Di samping itu pohon-pohon yang saya tanam diharapkan sebagai penjaga tanah agar tidak longsor,” pungkasnya.
Sarasehan diikuti kurang kurang lebih 130 peserta terdiri dari perangkat desa di seluruh hilir dan hulu di Kecamatan Ngadirejo, komunitas-komunitas pelestari lingkungan, Kemendes, NGO, praktisi, pemerhati lingkungan, serta akademisi. [MM]
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara