Pengambilan Tirta Paritta (Tirta Suci) dari sumber mata air untuk dijadikan salah satu sarana puja sudah menjadi tradisi bagi umat Buddha, khususnya ketika peringatan Hari Raya Waisak. Umat Buddha biasanya akan mengambil air dari sumber terdekat dengan lokasi puja. Tata cara pengambilan pun dilaksanakan dengan upacara tersendiri.
Untuk upacara skala besar seperti di Candi Borobudur atau Candi Sewu, umat mengambil air dari beberapa sumber yang ada di sekitar Jawa Tengah. Umat di daerah lain juga akan mengambil air dari sumber yang ada di daerah tersebut. Hal ini juga dilakukan oleh umat Buddha di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB).
Terdapat sebuah sumur tua yang biasa digunakan oleh umat Buddha se-Nusa Tenggara Barat untuk pengambilan Tirta Waisak setiap tahunnya, yaitu Sumur Pawang Buani. Nama tersebut sesuai dengan lokasi keberadaan sumur, yaitu di Dusun Buani, Desa Bentek, Kecamatan Gangga, Kabupaten Lombok Utara, NTB.
Sumur ini merupakan salah satu dari 226 mata air yang ada di Lombok Utara, terletak di tengah-tengah pemukiman warga Dusun Buani dan dikelilingi oleh rimbun pepohonan. Ukuran sumur tidak besar, hanya berkedalaman 30-40 cm dengan diameter sekitar 40 cm. Debit air sumur kurang dari 5 liter per detik (Data Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Lombok Utara 2015).
Terlepas apakah hanya mitos atau fakta, beberapa sumber air menyimpan cerita atau kisah tersendiri sehingga memberikan kesan sakral. Hal yang sama juga terjadi di Sumur Pawang Buani, yang hingga saat ini tetap dirawat dan dijaga oleh umat Buddha NTB. Sumur ini dianggap keramat dan menyimpan sejarah keberadaan agama Buddha NTB, khususnya di Kabupaten Lombok Utara.
Bhante Uphasilo, Bhikkhu Pembina umat Buddha NTB, terutama di Vihara Giri Metta Bhavana Arama Buani (Vihara terdekat dengan Sumur Pawang Buani), saat dihubungi oleh BuddhaZine pada Selasa (13/6), menyampaikan bahwa Sumur Pawang Buani menjadi salah satu faktor bertahannya umat Buddha di sana hingga saat ini.
“Sumur ini sudah dirawat dan dimanfaatkan oleh umat Buddha sejak zaman dulu secara turun-temurun hingga saat ini. Menurut penuturan tokoh-tokoh umat Buddha di Dusun Buani, salah satu faktor bertahannya umat Buddha adalah karena mereka melakukan ritual (ruwatan) atau upacara di sumur Buani ini. Dahulu, sebelum umat Buddha memiliki cetiya atau vihara, para umat melakukan satu kegiatan puja bakti atau beribadah di tempat ini,” jelas bhante.
Berdasarkan keterangan bhante, di sumur ini umat Buddha bersama dengan seluruh warga melakukan ruwatan rutin setahun sekali, yaitu setiap bulan Agustus. Tidak hanya warga Dusun Buani, ruwatan juga diikuti oleh umat dari vihara-vihara di Lombok Utara. Ruwatan dimulai dengan warga berkumpul di rumah Pemangku atau Toak Lokaq Satan, kemudian melakukan prosesi menuju lokasi sumur yang dipimpin oleh Pemangku.
Setibanya di lokasi, warga mempersembahkan berbagai sesaji, kemudian melakukan ritual mandi dan menyembek (Pemberian tanda di tiga titik yaitu di dahi, di bawah daun telinga kiri, dan kanan dengan menggunakan daun sirih yang sudah ditumbuk atau dikunyah). Ruwatan ditutup dengan Meroah (Bahasa Sasak) atau doa bagi para leluhur (Pattidana), serta pembacaan Paritta oleh bhikkhu.
Karena dalam setiap upacara ruwatan sering mengundang bhikkhu Sangha, umat Buddha membangun sebuah altar dan memasang rupang Buddha secara permanen di lokasi sumur. “Altar ini sudah dibangun sekitar 20 tahun yang lalu,” terang bhante.
Selain menyimpan kisah sejarah, bhante melanjutkan, air dari Sumur Buani juga memiliki keistimewaan tersendiri. Bhante mengaku pernah menyaksikan air dari sumur ini digunakan untuk pengobatan orang sakit.
“Karena ini dianggap keramat, jadi tidak sembarang orang yang berhak membuka sumur ini, hanya Pemangku atau Toak Loka Satan. Dulu saya juga pernah menyaksikan, air sumur ini juga bisa digunakan untuk pengobatan. Ini tentu bukan semata karena airnya, tetapi banyak faktor di antaranya karena sumur ini dianggap keramat, dan kedua tentunya juga karena keyakinan,” ujar bhante.
“Dahulu pernah ada seorang warga dari suatu daerah yang mengalami penghinaan karena tidak bisa melihat, kemudian orang tersebut mendapatkan petunjuk untuk datang ke sumur ini. Akhirnya orang itu dibawa ke sini, kemudian dimandikan dan dibasuh mukanya, akhirnya dia bisa melihat,” bhante bercerita.
Bhante menambahkan bahwa sumur ini tidak pernah kering meskipun saat musim kemarau. Sehingga dalam setiap musim, umat Buddha bisa menggunakan sumur tersebut untuk keperluan upacara puja. Menjelang Hari Raya Waisak, umat Buddha juga melakukan Sebulan Pendalaman Dhamma (SPD) di lokasi sumur.
“Selain untuk pengambilan Tirta Paritta dalam rangka perayaan Waisak atau hari besar lainnya, di lokasi ini kami juga melakukan SPD menjelang Waisak. Dan penutupan SPD untuk seluruh umat Buddha se-NTB juga dilakukan di Sumur Buani ini,” tambah bhante.
Salah satu vihara di luar Dusun Buani yang rutin mengambil Tirta Waisak di sumur tersebut adalah umat dari Vihara Viriya Dhamma di Dusun Grenggeng, Desa Sama Guna, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Lombok Utara. Jarak antara Dusun Grenggeng dengan Dusun Buani sekitar 8 km, yang biasanya ditempuh menggunakan sepeda motor ketika para umat mengambil air.
Ketua Karakasabha Vihara Viriya Dhamma, Budi Artoyo, mengaku bahwa umat Buddha di dusunnya sudah sejak lama mengambil Air Waisak di Sumur Buani, dan jarak bukanlah kendala dalam proses pengambilan air.
“Pengambilan Air Waisak di Sumur Buani ini sudah berlangsung sejak lama. Bagi kami, khususnya umat Vihara Viriya Dhamma, tidak ada kendala atau kesulitan dalam proses pengambilan air Waisak di Sumur Pawang Buani, karena masih bisa menggunakan sepeda motor untuk pergi ke sana. Sejauh apapun lokasinya, kami tetap melakukannya demi pengambilan Air Waisak,” ungkap Budi kepada BuddhaZine pada Minggu (11/6).
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara