Young Buddhist Assosiation (YBA) bekerjasama dengan Indonesia Taiwan Buddhist Community (ITBC) kembali menggelar acara E-talk show bertajuk “Be A Pillar To Your Parents” pada Minggu (7/02/2021).
Young Buddhist Association (YBA) Indonesia berkolaborasi dengan Organisasi Buddhis Mangala (OBM) dan berbagai UKM Buddha di beberapa universitas di Indonesia, yaitu Unit Kegiatan Kerohanian Buddha Universitas Surabaya (UKKB UBAYA), Universitas Ciputra Buddhist Club (UCBC), Mitra Uttama Buddhist Study Club, Tim Pembina Kerohanian Buddha Institut Teknologi Sepuluh Nopember (TPKB ITS), Unit Kegiatan Mahasiswa Kerohanian Buddha Universitas Airlangga (UKKB UNAIR), Unit Kegiatan Mahasiswa Kerohanian Buddha Universitas Widya Kartika (UKMKB UWIKA), Keluarga Mahasiswa Buddhis Dhammavandhhana Universitas Bina Nusantara (KMBD BINUS), Keluarga Mahasiswa Buddhis Universitas Indonesia (KMB UI), Keluarga Mahasiswa Buddhis Institut Pertanian Bogor (KMB IPB), dan Indonesia Taiwan Buddhist Community (ITBC)
Talkshow menghadirkan dua narasumber yaitu Bhiksu Sakya Sugata dan Ibu Metta Surya Wijaya. Tampil sebagai moderator Frederick dan host Aurelie Feny Wijaya.
Peran dan jasa kebajikan orang tua
Sebagai pembicara pertama Bhiksu Sakya menjelaskan bagaimana peran dan jasa kebajikan orang tua akan keberadaan seorang anak di dunia ini.
“Sebagai anak kita tidak lahir begitu saja di dunia ini, dan kita memiliki kesempatan yang sama untuk menghirup udara yang ada di dunia ini. Kita memiliki orang tua; ayah dan ibu. Karena adanya pertemuan antara ibu dan ayah, jalinan jodoh dengan mereka, jalinan kebaikan dengan kita maka kita bisa ketemu dan berjumpa dengan mereka dan akhirnya menjadi satu keluarga,” jelas bhiksu mengawali pembicaraan.
Menurut bhiksu gambaran kehidupan orang tua dan anak dalam satu keluarga juga terdapat dalam filosofi kata “keluarga” dalam bahasa mandarin.
“Kalau dalam filosofi China kata keluarga berupa huruf yang ada atapnya dan di bawahnya ada babi, kenapa babi? Karena itu simbol, babi itu simbolnya enak makan dan enak tidur. Jadi kalau di bawah atap itu kita bisa enak makan, enak tidur, sehingga di sebut dengan rumah. Itu artinya kita bahagia.”
Namun pada kenyataanya menurutnya tidak sedikit kehidupan keluarga yang justru berbalik kenyataan dengan nilai-nilai filosofi tersebut. Apalagi di jaman modern seperti saat ini banyak hal yang mempengaruhi ketidaknyamanan dalam keluarga.
“Lagi makan kita bahagia, nyaman, kenapa? Tidak ada keributan, tidak ada perselisihan sewaktu makan, dan anak itu memang harus berbakti kepada orang tua, malahan anak yang menyiapkan makanan kepada orang tua. Sekarang kan kebalik, orang tua malah yang nyiapin makan untuk anak. Di jaman modern ini ada perubahan yang terjadi di dalam rumah, makanya rumah sekarang berbeda dengan rumah jaman dulu,” katanya.
Perubahan kehidupan keluarga di jaman modern menurut Bhiksu Sakya salah satunya karena semakin kurangnya rasa bakti anak terhadap orang tua. Menyikapi hal tersebut bhiksu pun menunjukkan satu buku tentang kisah-kisah raja Tiongkok masa lalu yang begitu menjunjung tinggi bakti kepada orang tua.
“Ada satu buku yang memuat kisah raja-raja di Cungkok, bagaimana semua raja-raja ini mempunyai kisah bakti kepada ibu, tentang bagaimana menjaga keluarga, bagaimana mengatasi kehidupan di masyarakat, dan banyak sekali di sini cerita-cerita tentang siapa yang mengangkat dia menjadi raja, yaitu karena bakti.”
“Itu semua karena si anak berpikir,”Saya tidak akan menjadi pejabat kalau Sang Ibu tidak mendukung saya masuk ke dalam jalur pendidikan. Kalau tidak ada ibu yang menyuruh saya untuk berkembang. Makanya dari sini kita akan lihat bahwa raja pun akan selalu takut pada ibu suri. Peranan Ibu suri jauh daripada segalanya. Karena sejak dari pangeran mereka sudah dididik untuk menghormati orang tua,” terangnya.
Di akhir sesinya beliau menjelaskan ajaran Sang Buddha tentang kebajikan-kebajikan orang tua terhadap anak yang termuat dalam Sutra Bakti Ibu-anak, ada sepuluh jenis kebaikan yang diperbuat ibu untuk anak-anaknya :
Yang pertama adalah kebaikan menjaga dan melindungi anak selama anak masih dalam kandungan.
Yang kedua adalah kebaikan menanggung penderitaan selama masa kelahiran.
Yang ketiga adalah kebaikan untuk melupakan semua kesakitan yang sudah diperjuangkan ketika anaknya lahir.
Yang keempat adalah kebaikan untuk memakan bagian yang pahit atau bagian yang tidak disukai oleh anaknya kemudian dia memberikan yang terbaik buat anaknya atau bayinya.
Yang kelima adalah kebaikan untuk memindahkan anak dari tempat yang tidak nyaman ke tempat yang nyaman.
Yang keenam adalah menyusui anak dengan payudaranya sendiri, dengan air susunya sendiri.
Yang ketujuh adalah kebaikan dalam membersihkan yang kotor.
Yang kedelapan adalah kebaikan yang selalu memikirkan anak bila dalam perjalanan jauh.
Yang kesembilan kebaikan karena kasih sayang dan pengabdian.
Yang kesepuluh atau yang terakhir adalah kebaikan karena rasa welas asih yang dalam dan rasa simpati.
“Itulah sepuluh bagian dari Sutra Bakti Ibu dan anak yang bisa kita lihat maka berbakti kepada orang tua sangatlah penting,” pungkas bhante.
Hubungan antara orang tua dan anak
Memasuki sesi pembicara kedua, Ibu Metta Surya Wijaya menjelaskan hal mengenai hubungan antara orang tua dan anak. Menurutnya orang-orang yang hidup di daratan Asia sudah tidak asing lagi dengan tradisi bakti kepada orang tua, wajib menghormati dan berbakti kepada orang tua secara turun-temurun dari jaman para leluhur.
Namun demikian Bu Metta juga melihat kondisi di jaman modern saat ini yang menurutnya tradisi bakti sudah jarang dijalankan dalam keluarga-keluarga.
“Berbakti di sini adalah berbakti yang disertai dengan kebijaksanaan. Anak-anak di jaman dahulu sebelum adanya teknologi canggih seperti sekarang ini lebih menjalani kesehariannya dengan membantu orang tua. Kemudian jika kita bandingkan dengan kondisi seperti jaman modern ini, mungkin hal-hal tersebut masih ada tetapi hanya sedikit yang masih mempraktikkan tradisi bakti seorang anak kepada orang tua,” ungkapnya.
Ibu Metta justru melihat begitu banyaknya permasalahan dan kasus perselisihan terutama antara anak dan orang tua. “Sifat dan pola pikir kita yang berbeda, sama-sama keras, kurangnya waktu untuk berkomunikasi, sibuk dengan aktifitasnya masing-masing. Orang tua merasa tidak dituruti, anak merasa tidak didengar pendapatnya, masalah ekonomi, egois tinggi.”
“Namun walau bagaimana pun tidak ada satu orang pun di dunia ini apabila tidak ada peran dari orang tua. Ini satu hal kenyataan hidup yang harus kita pahami terutama sebagai seorang anak. Khususnya terhadap seorang ibu yang mengalami penderitaan secara pikiran dan fisik,” lanjutnya.
Mengenai pengorbanan dan kasih sayang seorang ibu, Bu Metta mengutip sebuat ayat ajaran Sang Buddha yang termuat dalam Anggutara Nikaya Bab 4 ayat 2, “Bila seorang anak menggendong ayahnya di pundak kiri dan ibunya di pundak kanan selama satu tahun, maka anak tersebut belum cukup membalas jasa kebaikan dari orang tuanya. Jasa anak kepada orang tua baru dapat melebihi jasa orang tua kepada anaknya apabila anak bisa memberikan pemahaman yang baik terhadap orang tua seperti mengajarkan Dhamma. Karena Dhamma dana adalah yang terbaik,” urainya.
Sesuai dengan ajaran Sang Buddha tersebut, menurut Bu Metta sebagai seorang anak bisa mulai praktik dengan mengajarkan sila kepada orang tua, mengajak orang tua berbuat kebajikan dalam berdana, fangsen, dan bermeditasi untuk melatih perhatian, kesabaran, kesadaran sehingga menumbuhkan kebijaksanaan di dalam diri orang tua.
“Karena seseorang dapat menjadi baik, dapat melakukan hal-hal baik dan positif di pikiran, ucapan, dan perbuatannya hanya setelah orang tersebut mendengar, merenungkan, dan mempraktikkan Dhamma ajaran kebenaran. Bukan sebaliknya. Untuk itu mengapa sangatlah penting bagi seorang anak dapat mengenalkan Dhamma, mengajak praktik Dhamma kepada orang tuanya. Barulah anak tersebut dapat dikatakan sudah membalas jasa kebaikan kedua orang tuanya,” ungkapnya.
Bu Metta menekankan bahwa praktik demikian tidak hanya dilakukan satu atau dua kali, akan tetapi seumur hidup.
“Jadi perlu adanya kesadaran mulai dari diri kita sendiri. Jadi tidak ada salahnya kita sebagai anak memulai memberitahu hal-hal yang sebaiknya sesuai dengan Dhamma. Akan tetapi sebelum kita mengarahkan orang tua, kita harus terlebih dahulu memahami dan mempraktikkan Dhamma,” jelas dia.
Mengutip dari ceramah Bhante Uttamo, selanjutnya Bu Metta menjelaskan bahwa ada tiga jenis anak yaitu; anak yang mempunyai watak sama dengan orang tuanya; anak yang mempunyai watak lebih buruk dari orang tuanya; anak yang mempunyai watak lebih baik dari orang tuanya.
“Oleh karena itu marilah kita renungkan bersama-sama posisi kita saat ini berada di kategori yang mana. Coba kita renungkan, setelah itu kita coba pahami Dhamma dan merenungkannya kemudian kita bisa ajarkan Dhamma kepada orang tua sedikit demi sedikit,” katanya.
Dari pengalamannya saat bersikap kepada orang tua, Bu Metta mengungkapkan bahwa hal terpenting dalam jalinan orang tua dan anak adalah hal komunikasi. Oleh karena itu ia menekankan pentingnya untuk seorang anak belajar cara berkomunikasi yang baik dengan orang tua, berkata yang pelan dan tanpa emosi, dengan demikian menurutnya orang tua akan lebih mudah untuk bercerita apa pun kepada anaknya.
“Jadi kesimpulan saya untuk kita semua, jadilah anak yang baik dan tahu balas budi. Lakukan kewajiban sebagai seorang anak terhadap orang tua, berbakti dan menyokong kebutuhan orang tua dengan memperkenalkan Dhama kepada orang tua kita. Manfaatkan waktu kita selama orang tua masih hidup, karena di situlah ladang yang baik dan subur untuk menanam jasa agar kehidupan kita yang akan datang lebih baik dari kehidupan yang sekarang. Amati, sadari, terima dan perbaiki,” tutup Bu Metta.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara