• Monday, 29 March 2021
  • Surahman Ana
  • 0

Vihara Indonesia Bodhgaya mengadakan acara Dhamma Talk bertema “Cahaya Kebajikan Arya Sangha” yang diselenggarakan secara online via zoom pada Sabtu-Minggu (20-21/03). Acara ini menghadirkan beberapa pembicara anggota Sangha dari berbagai sekte.

Sesi hari pertama MC dibawakan oleh Vincy dan moderator oleh Heru Suherman Lim, sedangkan hari kedua MC oleh Wilberten dan moderator oleh oleh Franky Supriyanto. Tiga pembicara hari pertama adalah Bhikkhu Wongsin Labhiko Mahathera, Bhikkhu Sakya Sugata Sthavira, dan H.E Zurmang Garwang Rinpoche XII. Translator ceramah Rinpoche ke dalam bahasa Indonesia oleh Bapak Tukiman.

Sementara pembicara di hari kedua adalah Bhikkhu Nyanasuryanadi Mahathera, Bhikkhu Nyana Bandhu, dan H.E Zurmang Garwang Rinpoche XII.

Sesuai dengan temanya yaitu “Cahaya Kebajikan Arya Sangha”, maka para pembicara mengemukakan ajaran-ajaran yang merujuk pada kebajikan-kebjikan yang telah dilakukan ataupun yang hendaknya dilakukan oleh para siswa Sang Buddha.

Bhante Wongsin dalam ceramahnya menyampaikan pesan kepada umat hal-hal yang hendaknya dipraktikan dalam kehidupan umat, supaya umat Buddha menjadi orang yang baik dan mampu menebarkan cahaya kebajikan dalam kehidupan.

“Yang perlu kita kedepankan dalam kehidupan ada empat hal; Pertama jangan berpikir bahwa tidak ada yang mengetahui perbuatan jahat kita; Kedua jangan berpikir bahwa tidak ada akibat dari perbuatan jahat yang tidak akan mengikuti kita; Ketiga jangan berpikir bahwa kita tidak akan mengalami jatuh susah atau mengalami kesulitan dalam hidup kita; Keempat jangan berpikir bahwa dunia berikutnya tidak nyata.”

Apa yang disampaikan, menurut Bhante adalah cara berpikir supaya manusia bisa mengendalikan diri dan tidak melakukan perbuatan jahat. Mengutip salah satu ayat Dhammapada, Bhante lebih lanjut menjelaskan bahwa segala seuatu yang kita lakukan berawal dari pikiran.

“Seperti Sang Buddha pernah mengatakan bahwa pikiran adalah pelopor dari segala sesuatu, pikiran adalah pemimpin, pikiran adalah pembentuk. Bila seseorang berbicara atau berbuat dengan pikiran jahat, maka penderitaan akan mengikutinya bagaikan roda pedati yang mengikuti langkah kaki lembu yang menariknya.”

Di akhir ceramahnya Bhante juga menyampaikan agar umat Buddha pun menjadi umat yang cerdas, tidak mudah menerima segala sesuatu tanpa penyelidikan dan tanpa mempelajari lebih dalam. Hal ini bertujuan agar umat Buddha juga mampu menumbuhkan dan mengembangkan kebijaksanaan di dalam dirinya.

“Maka saudara-saudara sekalian apabila kita akan menjadi orang yang bijaksana sesuai dengan ajaran Sang Buddha bahwa Sang Buddha mengajarkan kita untuk membuktikan bukan untuk percaya saja. Kita harus belajar ajaran Buddha dan harus mempraktikkan sesuai dengan apa yang kita pelajari dari kitab suci, dari buku-buku. Jangan hanya membaca saja tetapi harus mempraktikkan.”

“Jangan percaya apa yang diajarkan oleh guru, romo pandita atau siapa saja yang mengajarkan kita, jangan langsung percaya. Tetapi kita harus menjadi orang yang cerdas, jadi ada perenungan, pemeriksaan apa yang diajarkan itu benar atau tidak. Lalu faktornya untuk membuktikan harus melakukan apa? Kita harus mempraktikkannya. Menggali manfaat melaksanakan sila itu apa, manfaat meditasi apa. Ketenangan batin itu bagaimana, hasil dari meditasi itu bagaimana rasanya,” imbuh Bhante.

Dalam sesi kedua, Bhikkhu Sakya Sugata Sthavira lebih menyampaikan kisah-kisah dan sejarah bagaimana para Arya Sangha yang secara turun-temurun melestarikan serta mengajarkan Dhamma Sang Buddha sejak jaman Buddha hingga munculnya para Sangha dan master pada saat ini. Menurutnya hal ini adalah sebuah wujud cahaya kebajikan para Arya Sangha.

Bhante juga menyampaikan banyaknya peninggalan yang ditemukan menjadi bukti bagaimana dahulu para Sangha berkontribusi dalam menyebarkan ajaran Buddha ke seluruh pelosok dunia. Salah satunya di Indonesia, meskipun tidak meninggalkan jejak peninggalan yang berarti seperti kitab suci, hanya berupa puing-puing bangunan yang tersisa.

“Dan kita lihat di Indonesia didatangi oleh dua guru besar Dharmapala dan Sakyakirti. Kita sekarang hanya jadi nama vihara mungkin, dan kemudian orang mengenal beliau secara sejarah dengan dekat, kenapa? Karena tidak ada catatan-catatan selanjutnya mengenai beliau bahkan jejak-jejak apa pun, kitab yang sudah diterjemahkan maupun kitab-kitab sansekerta atau apapaun yang pernah ada di Sriwijaya juga susah ditemukan saat ini. Nah peninggalan selanjutnya seperti Borobudur dan Muara Jambi dan candi-candi di seluruh nusantara bahkan yang tertua ternyata Candi Mahayana yaitu yang ada di Karawang, Candi Jiwa,” ungkapnya.

“Sehingga kita bisa membayangkan bicara cahaya kebajikan Arya Sangha, siapa sih Sangha-sangha jaman dulu yang mengikuti alur untuk keluar dari India dan membabarkan Dhamma di seluruh pelosok dunia. Ini luar biasa,” imbuhnya.

Sesi hari kedua

Bhante Nyanasuryanadi Mahathera sebagai pembicara pertama membabarkan bagaimana Dhamma bisa tetap menjadi bagian dan memberikan kontribusi bagi kehidupan bersama.

“Bagian yang esensi dalam mempraktikkan Dhamma adalah kita harus sadar bahwa kita tidak hidup sendiri dan kita harus bergandeng tangan, harus bekerjasama, bersinergi, dan kita harus bersama-sama untuk melakukan yang terbaik dalam kehidupan kita. Apapun yang kita lakukan saat ini adalah upaya bagaimana kita bisa berkomunikasi dengan baik, bekerjasama dengan baik, dan utamanya adalah bagaimana kita mendengarkan Dhamma “Cahaya Kebajikan Arya Sangha” ini adalah untuk kolaborasi kita bersama untuk memahami ajaran Buddha secara bersama,” ungkap Bhante.

Bhante juga menyampaikan bagaimana Dhamma dalam kehidupan di masa yang akan datang. “Dhamma di masa mendatang harus betul-betul dipahami, dipelajari secara tekstual dan kontekstual. Dhamma dipelajari untuk mengetahui, mempraktikkan, untuk menghasilkan, dan untuk kehidupan bersama. Yaitu to know, to do, to be, dan to live together. Pariyati, pati-pati, dan pativedha.”

“Berpikir kritis dan menyelesaikan segala permasalahan, kreatif dan inovatif, komunikasi dan kolaborasi. Dan ini yang dibutuhkan generasi mendatang untuk belajar Dhamma dan mengaplikasikan Dhamma dalam kehidupannya. Maka di dalam berlajar Dhamma adalah belajar berkomunitas,” sambungnya.

Dalam kehidupan bersama Bhante menyampaikan bahwa belajar Dhamma adalah belajar berkomunitas, bukan hanya untuk diri sendiri, tetapi untuk bersosial, berbangsa dan bernegara.

Sementara dalam era yang serba canggih ini Bhante berpendapat bahwa yang dibutuhkan ke depan adalah E-Dhamma. Dhamma elektronik. “Karena kita bisa mendengarkan berkat perkembangan teknologi pada saat ini, ini fenomena literasi yang terjadi pada saat ini.”

Di akhir ceramah Bhante berpesan kepada umat untuk menjalani hidup dengan saling asih (saling mencintai, menyayangi), asuh (saling mengayomi, saling bekerja sama) dan asah (saling memberikan yang terbaik di dalam kolaborasi antara yang satu dengan yang lainnya).

“Jadi belajar Dhamma itu juga tidak hanya paryati atau teori tetapi juga harus praktik, karena praktik itu penting untuk pengembangan batin. Di jaman teknologi canggih umat Buddha juga harus up to date supaya tidak menjadi gagap.”

Sesi pembicara kedua yaitu Bhante Nyana Bandhu yang menjelaskan mengenai Cahaya Kebajikan Arya Sangha yang sebenarnya tidak hanya merujuk kepada Arya Sangha saja, tetapi banyak pihak yang mendukung seperti para donatur, para penyokong, dayaka dan lainnya.

Menurut Bhante esensi ajaran Buddha adalah bagaimana melihat kehidupan yang bisa menyentuh kebahagiaan itu sendiri. Jadi kita bisa mengganti penderitaan dengan kebahagiaan.

“Untuk menyentuh kebahagian ini Dharma harus menjadi Dhamma yang hidup, yang selalu mengakar dalam kehidupan kita. Lalu ada di dalam kehidupan kita. Mempraktikkan Dhammma tidak hanya hari-hari tertentu saja. Dhamma harus dipraktikkan dalam setiap momen.”

Bhante menekankan pada praktik Dhamma untuk kebahagian umat Buddha.”Jangan berbuat jahat, mempraktikkan jalan mulia berunsur delapan, melaksanakan pancasila, dan meditasi untuk pengembangan batin. Sudah saatnya kita meletakkan semua kotak-kotak, semua bentuk diskriminasi,” imbuh Bhante.

“Pelestarian Buddha Dhamma tentang bagaimana menerapkan Buddha Dhamma dalam keseharian kita. Mari hadir kembali untuk menyentuh esensi ajaran Buddha yang penuh kesadaran dan manfaat tanpa batas.”

Sementara di sesi terakhir H.E Zurmang Garwang Rinpoche XII, menerangkan tentang kontemplasi atau perenungan yang salah yaitu; terfokus pada saat ini, melekat pada samsara, egois, melekat pada pandangan obyek atau subyek. Perenungan tersebut yang menurut Rinpoche harus dihindari agar mencapai kemajuan dalam praktik Dhamma.

Hal menarik lain yang juga Rinpoche sampaikan adalah cara memperoleh tiga kebijaksanaan; menghormati para guru yang telah memeberikan bimbingan kepada kita, dan juga menghormati terhadap ajaran Buddha walaupun dalam silsilah yang berbeda, dan yang ketiga yaitu kebijaksanaan dalam berkomitmen, tidak bertentangan dengan Dhamma. Itulah tiga kebijaksanaan.

Rinpoche juga menekankan pentingnya praktik Dhamma, “Ketika kita meninggal tidak ada yang bisa membantu kita, bahkan kita datang dengan tangan kosong pergi pun dengan tangan kosong. Bukan hanya kita melafalkan sutta atau mantra saja, tetapi sepanjang hidup itu untu melatih pengembangan batin. Tidak boleh meremehkan perbuatan sekecil apa pun,” jelasnya.

Menjalani kehidupan menurut Rinpoche harus menyadari dan menerima akan kenyataan hidup ini dengan segala fenomenanya.

Dalam hidup kita mengalami proses kehidupan yaitu; kelahiran, penuaan, sakit, kematian, bertemu dengan yang kita benci, berpisah dengan yang kita cintai, tidak mendapatkan yang kita inginkan, menghadapi apa yang tidak kita inginkan. Itu penderitaan dalam kehidupan kita. Dalam samsara ini tidak ada rasa puas, dan selalu timbul kesakitan dan ketidakbahagiaan.”

Menutup ceramahnya Rinpoche menyampaikan bagaimana seseorang bisa mencapai keBuddhaan, “Untuk mencapai keBuddhaan dibutuhkan Bodhicitta, yaitu peduli dan perhatian kepada makhluk lain. Meskipun meditasi juga penting yaitu tentang kejernihan pikirian, fokus dan mempunyai kesadaran. Meditasi melindungi kita dari emosi-emosi negatif tetapi belum bisa menghilangkan emosi-emosi negatif,” pungkas Rinpoche.

=================

Ayo Bantu Buddhazine

Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *