Minggu (17/2), perayaan Magha Puja di Vihara Bodhivamsa, Klaten, Jawa Tengah, dihadiri oleh berbagai umat dari Klaten, Kabupaten Semarang, Wonogiri, dan Temanggung. Turut hadir pula Bhikkhu Jayasilo, empat Samanera, dan Atthasilani Metta Nurcahya.
Dalam ceramah Dhamma-Nya, Bhikkhu Jayasilo mengawali dengan kisah dua sahabat Buddha. Sahabat ini memiliki banyak perbedaan. Namun, ada satu hal yang sama yaitu jenuh terhadap kematian. Lalu mereka mencari cara untuk bebas dari kematian. Mereka membuat janji, siapa pun yang duluan menemukan guru atau hasil dari praktik bebas kematian harus memberitahu.
Salah satu dari mereka, bertemu Bhante Assaji. Uniknya, ia memiliki dibbacakkhu (kekuatan mata dewa), dan mencapai tingkat sotapanna. Kemudian memberi tahu pada temannya, temannya juga mencapai tingkat sotapanna. Kedua sahabat ini menemui Buddha dan ditahbiskan menjadi bhikkhu. Karisma dari kedua sahabat yang menjadi bhikkhu ini membuatnya memiliki banyak pengikut. Para pengikutnya ditahbiskan menjadi bhikkhu oleh Buddha dan mencapai arahat.
Tetapi kedua bhikkhu tersebut belum mencapai arahat. Dalam Mahapadana Sutta, Digha Nikaya, kedua sahabat ini dulunya adalah Bhante Sariputta dan Moggalana, bertemu saat bulan purnama Magha Puja. Magha Puja adalah peringatan satu hal dengan 4 ciri, yaitu (1) Hadirnya 1250 Bhikkhu, (2) Bhikkhu yang hadir mencapai arahat dengan penahbisan ehi bhikkhu upasampada langsung oleh Buddha, (3) Mereka hadir tanpa diundang, (4) Pada pertemuan tersebut, Buddha membabarkan Ovadapatimokkha.
“Buddha memberi pemahaman baru tentang keyakinan. Seseorang memiliki keyakinan karena mengalami sendiri. Kalau saya katakan air itu rasanya manis, percaya nggak?” tanya Bhikkhu Jayasilo pada umat.
“Tidak,” jawab umat.
“Iya, karena Anda semua sudah pernah mencoba air putih ini. Seperti itulah keyakinan dalam agama Buddha.”
“Ovadapatimokkha, ovada artinya instruksi atau petunjuk. Merupakan intisari dari ajaran Buddha. Loh Bhante, bukannya ajaran inti buddha adalah 4 kebenaran mulia? Iya betul, tapi itu adalah ajaran filosofis. Ovadapatimokkha adalah praktiknya,” ujar Bhante.
“Ada 12 poin dalam Ovadapatimokkha, tapi saya hanya akan membahas poin 5, 6, dan 7,” tutur bhante.
Poin kelima adalah sabbapapassa akaranam, untuk tidak melakukan perbuatan buruk. “Mengapa seseorang masih suka melakukan keburukan? Seseorang melakukan keburukan karena di situ ada perangkap yang sama-sama tidak kelihatan. Karena perangkap itu adalah kenikmatan.”
Terperangkap dalam kenikmatan ini diilustrasikan dalam sebuah kisah yang dituturkan oleh Bhikkhu Jayasilo. Saat Ibu/Bapak merasakan kenikmatan menjual narkoba dengan imbalan yang besar dan tidak tertangkap aparat kepolisian. Maka, secara tidak langsung Ibu/Bapak akan terus menjualnya. Baru, di saat Ibu/Bapak tertangkap, di sanalah ada penyesalan dan baru sadar.
“Kadang kita berpikir bahwa melakukan keburukan apabila melanggar 5 sila. Padahal tidak sesederhana itu. Saya pernah lihat iklan bertuliskan ‘jangan biarkan ponsel Anda membunuh Anda’. Ketika seseorang menyeberang jalan dengan bermain Whatsapp, pasti akan terjadi keburukan. Keburukan yang merugikan diri sendiri dan orang lain.”
Poin keenam Kusalassupasampada, yaitu berbuat kebajikan. “Sering kali orang mengatakan kalau berbuat baik sangat susah. Dalam Vaca Sutta, Anguttara Nikaya, kalau seseorang membuang sisa makanan di saluran air dengan bertekad ‘semoga masih ada binatang yang makan dari sisa makanan di saluran air ini’, ini bisa disebut perbuatan baik. Perbuatan baik dalam agama Buddha dilakukan melalui hal-hal yang sederhana. “
Poin ketujuh adalah Sacittapariyodapanam. “Sacittapariyodapanam, bersihkan batin sendiri. Bagaimana cara membersihkan batin sendiri? Dengan meditasi, tidak ada cara lain, harus meditasi. Dengan meditasi dapat membersihkan perilaku jelek dari habit (kebiasaan).”
Hari-hari yang bahagia dapat diawali dengan bermeditasi. “Ada satu penelitian, endorfin (hormon penenang dan penghilang rasa stres) yang dihasilkan tubuh sendiri akan bertambah, jika pagi dimulai dengan mood yang bagus, maka hari-hari akan bagus, tapi kalau dengan mood yang buruk maka hari itu akan buruk.”
Meditasi itu bukan sekadar duduk diam saja. “Bapak ibu sekalian, bermeditasilah selagi masih bisa bermeditasi. Sederhana, melihat apa yang terjadi dengan apa adanya, tidak harus melulu duduk, apalagi duduk berjam-berjam. Gampangnya, meditasi adalah melihat matahari timbul di timur, tenggelam di barat, kodok melompat masuk ke kolam bunyi ‘pluk’. Itu meditasi, melihat apa adanya tanpa ikut campur di situ,” tutupnya. Pada akhir acara adalah persembahan buku Visuddhimagga dari umat kepada Bhikkhu Jayasilo.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara