Temanggung merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang mayoritas penduduknya bekerja di sektor pertanian. Menurut data BPS dalam profil ketenagakerjaan Temanggung tahun 2019, dari total 441.632 orang penduduk usia produktif (15 tahun ke atas), sebanyak 175.776 orang atau 39,80 persennya bekerja di sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan.
Letak Geografis Temanggung mengkondisikan sebagian besar masyarakat Temanggung berprofesi sebagai petani. Temanggung berada di tengah-tengah pulau Jawa, di lembah Gunung Sumbing dan Sindoro. Secara alam jelas masyarakatnya tidak bisa menjadi nelayan atau yang lain selain petani.
Berdasarkan data guna lahan Kabupaten Temanggung, dari 87.065 hektar jumlah seluruh area lahan Kabupaten Temanggung, 78,25% digunakan sebagai lahan pertanian dengan kriteria: lahan sawah sebanyak 23,66% atau 20.600 hektar, dan 54,59% atau 47.528 hektar lahan pertanian bukan sawah.
Dari area sawah tersebut produksi padi yang dihasilkan sebanyak 193.021,24 ton dengan rata-rata 6,3 ton per hektarnya. Produk lainnnya ada 72.914,33 ton jagung, 20.100,44 ton ubi kayu, 4.462,89 ton ketela rambat, dan 666,39 ton kacang tanah.
Sektor Tanaman Holtikultura meliputi tanaman sayur-sayuran dan buah-buahan. Produk sayuran di Kabupaten Temanggung sebagian besar adalah bawang putih, bawang merah, tomat, kentang, kubis, cabai dan petsai.
Diantara produk-produk tersebut, cabai memiliki produksi terbanyak dengan 39.720,3 ton pada tahun 2019. Sementara itu, produk buah-buahan di Kabupaten Temanggung sebagian besar ada mangga, durian, pepaya, salak, jeruk dan pisang. Produksi terbanyak pada tahun 2019 adalah pisang sebanyak 6.579,6 ton.
Temanggung juga menghasilkan banyak produk perkebunan, di antaranya adalah kopi arabica, kopi robusta, kelapa, aren, tebu, cengkeh, tembakau, dan kakao. Dari sektor perkebunan ini, komoditas utama Kabupaten Temanggung adalah tembakau yang memiliki 12.764,38 ton di tahun 2019. Oleh karena itu Temanggung mendapat julukan Kota Tembakau.
Sejak zaman dulu sudah bertani
Bercocok tanam bukan profesi baru bagi masyarakat Temanggung. Sejak zaman dulu, para pendahulu Temanggung nampaknya sudah mengandalkan sektor pertanian sebagai penyambung hidup. Hal itu terbukti dalam beberapa prasasti temuan di Kabupaten Temanggung.
Seperti pada Prasasti Munduan yang ditemukan di Kecamatan Jumo Kabupaten Temanggung. Dalam prasasti yang diperkirakan dari masa Rakai Patapan Pu Manuku 728 saka (806 M) ditulis dalam Aksara & Bahasa Kawi, menyebutkan dibuatnya Sima Munduan untuk menggembalakan kambing milik Raja.
“Penggembala dekat dengan pertanian dan sudah pasti terdapat tempat baik itu hutan atau lahan untuk menggembala,” jelas Goenawan A. Sambodo, seorang arkeolog yang juga ahli Aksara Jawa Kuna kepada BuddhaZine.
Baca juga: Alam Temanggung
Di sisi mata pencaharian dalam istilah prasasti disebutkan dikenakannya pajak untuk peternak itik atau kerbau yang melebihi batas ketentuan. Dengan adanya binatang-binatang peliharaan ini bisa diasumsikan masyarakat masa itu dekat dengan pertanian.
Selain itu dalam prasasti juga disebutkan, “Manetek guluning ayam di watu lumpang”. Watu lumpang bisa kita lihat dari yang ada saat ini dengan bentuknya yang seperti Yoni, biasanya digunakan untuk menumbuk kopi dan lain-lain. Hal ini diasumsikan sebagai bekas-bekas kebudayaan pertanian masa lampau.
Bukti masyarakat Temanggung sudah menekuni profesi petani semakin diperkuat dengan temuan situs Liyangan, Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, Temanggung. Situs ini ditemukan oleh penambang pasir mulai tahun 2008. Salah satu temuan menarik di Situs Liyangan adalah temuan sisa-sisa hasil pertanian zaman dulu, yaitu sebuah lumbung padi dengan tumpukan padi yang sudah menjadi arang.
Kebudayaan pertanian
Bagi orang Jawa, bertani tak sebatas menanam, merawat, panen kemudian mengkonsumsi hasil. Lebih dari itu, bertani juga berhubungan dengan alam, juga dengan “sang liyan” yang dipercaya sebagai pemberi berkah.
Di sejumlah ladang pertanian, khususnya di Temanggung tidak sedikit ditemukan sebuah Yoni. Dalam mitologi pertanian, Yoni juga berfungsi sebagai sarana penghormatan pada dewa-dewi seperti Dewi Sri yang dianggap sebagai Dewi Kesuburan.
Penghormatan-penghormatan semacam ini sudah ada sejak zaman dulu dan hingga sekarang pun masih ada, dan dilakukan oleh para petani di pedesaan terutama. Contohnya saja seperti tradisi atau ritual wiwitan yang biasanya diadakan oleh petani menjelang panen.
Oleh orang Jawa, pemujaan kepada Dewi Sri dimaknai sebagai wujud syukur dan rasa terima kasih kepada semesta alam beserta para dewa-dewi penjaganya. Bisa juga dilihat dari doa-doa untuk memulai tanam maupun mulai panen.
*Artikel ini dipersembahkan oleh ALTANI
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara