Beberapa bagian di Tipiṭaka menegaskan bahwa tubuh Buddha memperlihatkan tiga puluh dua tanda baik(mahāpurisa lakkhaṇa), inovasi paling menarikdan membingungkan dalam teks awal agama Buddha—menarik karena tanda-tandanya sungguh aneh, membingungkan karena bertentangan dengan teks lainnya.
Ketika Raja Ajātasattu pergi menemui Buddha, dia tidak dapat membedakan Beliau dari para bhikkhu di sekeliling-Nya, yang akan bisa langsung dia lakukan jika Buddha memiliki tanda-tanda ini. Lelaki muda Pukkasāti duduk berbicara dengan Buddha selama beberapa jam sebelum menyadari siapa Beliau. Jika Buddha memiliki tanda-tanda apa pun, Pukkasāti pasti akan segera menyadarinya dan mengetahui bahwa dia berada dalam keberadaan seseorang yang sangat tidak biasa.
Dan seperti yang disebutkan di atas, ketika Upaka bertemu Buddha berjalan di sepanjang jalan dari Uruvelā ke Gayā, yang menangkap perhatiannya bukan tubuh Buddha yang tidak biasa, tetapi ketenangan dan warna kulit-Nya yang bercahaya. Yang lebih penting, Buddha menolak gagasan ciri-ciri tubuh membuat seseorang menjadi istimewa. Lebih tepatnya Beliaumengatakan bahwa dengan memiliki pikiran yang terbebaskan (vimutticitta), seseorang memenuhi syarat untuk disebut“orang hebat”.
Tulisan di atas adalah petikan yang berasal dari buku “Jejak Langkah di Hamparan Debu – Kehidupan Buddha dari Sumber-sumber Paling Kuno” karya terbaru dari Bhante S. Dhammika. Buku yang akan diluncurkan pada hari Sabtu, 16 Juli 2022. Link.
Namun menurut Bhante S. Dhammika, pembubuhan belakangan hal-hal istimewa yang dimiliki Buddha ke dalam Tipiṭaka tidak kemudian berarti transmisi materi inti Tipiṭaka tidak dapat diandalkan.
Sebagai hasil penelitian, banyak hal dalam buku ini yang mungkin akan mengejutkan bagi mereka yang belum pernah mengetahui hal-hal tersebut. Antara lain bahwa Suddhodana sesungguhnya bukan raja dalam pengertian masa kini. Lalu versi tradisional kisah Siddharta yang meninggalkan rumah diam-diam juga berbeda dengan kisah orangtua-Nya keberatan dengan air mata berlinang di wajah. Ada pun dramatisasi berlebihan yang lebih suka untuk menjelek-jelekkan Devadatta juga telah diimbangi dengan kisah yang lebih utuh.
Pada Bab 13, “Hari-hari Akhir”, dibahas mengenai kemangkatan Buddha:Tampaknya kemungkinan besar kemangkatan Beliau terjadi karena kelanjutan dari sakit sebelumnya apa pun itu, dan gastroenteritis diperburuk dengan kelelahan dan lanjut usia, bukannya sepenuhnya karena hal terakhir yang Beliau makan.Lalu pada Lampiran II, “Buddha dan Upaniṣad”, setelah pemaparan sejumlah bukti dituliskan demikian: Seseorang tergoda untuk berpikir bahwa bukan Buddha yang mengadopsi kamma dan kelahiran berulang dari Upaniṣad, melainkan Upaniṣad dipengaruhi oleh agama Buddha dan mungkin juga Jainisme.
Tentu saja masih banyak hal penting dari buku;ini, buku yang menyajikan kehidupan Buddha secara langsung: menceritakan kisah dari peristiwa-peristiwa penting sebagaimana dijelaskan dan digambarkan di dalam Sutta dan Vinaya. Para pembaca yang siap dengan pendekatan “tanpa embel-embel”, pasti akan mendapatkan banyak manfaat dari buku ini.
Acara Live Stream Hari Ini (Sabtu, 16/7. 12.45 WIB)
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara