Hujan badai sangat besar di luar kewajaran menyebabkan banjir bandang yang menyapu hampir semua wilayah Thailand bagian tengah dan utara sejak Juli 2011, merenggut lebih dari 600 nyawa dan merusak jutaan rumah dan pemukiman.
Ayutthaya, sekitar 80 km sebelah utara Bangkok, adalah salah satu tempat yang paling parah terkena banjir. Sebuah gambar yang diambil dari udara pada bulan November memperlihatkan pemandangan yang dramatis dimana kuil-kuil seolah-olah menjadi pulau-pulau kecil di tengah-tengah danau yang terbentuk oleh banjir yang tak kunjung surut.
Kuil-kuil tersebut berminggu-minggu terendam air keruh dan sekarang retakan-retakan mulai terlihat pada bangunan-bangunan pagoda. Ayutthaya merupakan ibukota Thailand di masa lalu yang merupakan tujuan wisata utama dan masuk sebagai warisan cagar budaya dunia UNESCO.
Chaiyanand Busayarat, direktur Ayutthaya Historical Park, memperkirakan kerugian yang ditimbulkan mencapai 650 juta baht (20 juta dollar AS), namun angka sebenarnya belum diketahui.
“Bangunan-bangunan (kuil) tersebut tidak didesain untuk kuat menghadapi banjir sebesar ini. Banjir juga membuat tanah menjadi lembek sehingga menjadi tidak stabil. Bangunan bisa saja tersedot ke tanah, atau yang lebih buruk lagi, bisa saja ambruk,” katanya pada AFP.
Banjir sudah mulai surut di beberapa kota, tapi banyak kuil di area situs sejarah belum sepenuhnya kering. Ayutthaya terletak tepat di pertemuan Sungai Chao Phraya, Pa Sak, dan Lopburi, sehingga sangat rentan terkena banjir.
Kota tua ini sebenarnya dilindungi oleh kanal air yang bisa mengalihkan aliran banjir, kata salah seorang pakar cagar budaya dari UNESCO yang tidak mau disebutkan namanya. “Kanal-kanal tersebut telah penuh atau secara alamiah fungsinya telah menurun karena termakan waktu,” ujarnya.
“Ada semacam ketakutan penopang bangunan monumen-monumen tersebut menjadi tidak stabil,” ia menambahkan. Menurutnya masih belum jelas seberapa parah kerusakan yang ditimbulkan oleh banjir tersebut. “Sulit untuk dijelaskan saat ini monumen-monumen tersebut akan kuat bertahan berapa lama.”
Ayutthaya dibangun sekitar tahun 1350, merupakan salah satu ibukota dari kerajaan tua Siam dan pada puncak kejayaannya memiliki 3 istana dan lebih dari 400 kuil. Setelah 4 abad menjadi ibukota, Ayutthaya dikuasai oleh Myanmar pada tahun 1767 sehingga banyak bangunan yang dirusak. Beberapa bangunan yang tersisa harus dipugar kembali.
Di kuil Wat Phra Ram, Chaiyanand menunjukkan adanya retakan vertikal sepanjang sekitar 2 meter pada batu batanya. “Saya pikir ini terjadi akibat banjir kali ini, tapi saya tidak mengatakan bahwa pagoda-pagoda kecil mengkhawatirkan seperti ini. Bangunan yang besar yang beratnya beberapa ton justru perlu mendapat perhatian lebih, dan lebih mengkhawatirkan saya,” ujarnya.
Banjir besar meninggalkan sampah yang berserakan di area monumen, dari kantong plastik, sepatu, hingga ranting pohon. Suneewan Pudson (65), salah seorang petugas kebersihan sibuk menyapu area di sekeliling patung Buddha berbaring di Wat Lokayasutharam. Ia dan rekan-rekannya bekerja keras untuk mengembalikan kejayaan situs bersejarah tersebut.
Tugasnya sangat berat. Sejumlah penduduk lokal mengungsi di area monumen itu selama banjir, meninggalkan tumpukan sampah dan bahkan onggokan perahu tuk tuk (taksi perahu khas Thailand) yang ditinggalkan pemiliknya.
“Saya sangat sedih karena ini adalah situs bersejarah tujuan wisata yang kami harus jaga. Tapi kami tidak menyangka banjir akan sebesar ini. Banjir seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya,” kata Suneewan. (AFP)
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara