Setelah dua tahun absen akibat pandemi covid-19, Pusdiklat Buddhis Bodhidharma kembali gelar Dharmabhakti Tiga Langkah Namaskara; San Bu I Bai di Candi Borobudur. Pusat pelatihan dan Pendidikan di bawah pimpinan Biksu Vidyasasana itu sudah rutin menggelar Dharmabhakti San Bu I Bai di Candi Borobudur saat Waisak sejak 2010.
“Luar biasa rasanya. Setelah dua tahun terhenti, hari ini kita bisa kembali melakukan puja di puncak Candi Borobudur,” ucap Suhu Vidyasasana usai Shang Gong, persembahan makanan kepada Para Buddha, Bodhisattwa Mahasattwa, Senin (16/5) penuh rasa syukur.
Sejak pandemi melanda Indonesia, Candi Borobudur ditutup untuk pengunjung. Bahkan, hingga hari ini wisatawan hanya boleh menikmati Borobudur dari kaki candi. Orang-orang tertentu dengan kepentingan yang jelas saja yang bisa naik. Itu pun melalui proses perizinan dan pengawalan ketat.
“Bisa dibilang proses perizinannya panjang. Membutuhkan waktu satu bulan lebih,” tutur Widya Seni, pengurus Pusdiklat Buddhis Bodhidharma, Jakarta.
Tanggal 12 Maret, pihak Pusdiklat mengajukan permohonan izin ke Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Satu bulan kemudian baru mendapat respon dari Kemendikbudristek untuk minta rekomendasi dari Ditjen Bimas Buddha.
“Setelah mendapat rekomendasi, kami kirimkan kembali ke Kemendikbud. Tanggal 22 April surat izin baru keluar dengan ketentuan-ketentuan. Antara lain, yang boleh naik ke atas candi dibatasi hanya 20 orang,” lanjut Widya.
Mengundang rasa haru
Bisa melakukan pradaksina, pujabhakti, dan meditasi di puncak Candi Borobudur menjadi harapan sebagian besar umat Buddha. Apalagi puja dilakukan saat Waisak, hari lahir Sidharta Gotama, Petapa Sidharta mencapai ke-Buddha-an, dan parinibbananya Buddha Gotama.
Jo Priastana, mengaku mendapat kado Waisak istimewa setelah mengikuti puja Waisak di puncak Candi Borobudur. Dosen filsafat agama Buddha di beberapa kampus Buddhis itu salah satu dari 20 orang beruntung bisa menapakkan kaki di puncak Candi Borobudur.
“Dapat melakukan puja Waisak di puncak Borobudur merupakan sebuah berkah Waisak yang menghampiri hidup saya. Karena, kini bagi wisatawan biasa sangat sulit untuk bisa naik ke puncak Borobudur. Saya termasuk orang yang beruntung,” tutur lulusan STF Driyarkara itu.
Menurut Jo, berada di puncak stupa Borobudur memberikan rasa hati yang tak terkira luasnya. Panorama alam indah yang terbentang adalah keluasan ruang kesadaran yang tak terkira.
“Seakan hadir kekuatan menjalani bersama: suka-duka susah-senang, dan seakan hadir kekuatan bersama hadirnya kejernihan yang menyatakan begitulah hidup adanya. Svaha!” lanjut Jo Priastana kepada BuddhaZine.
Penantian dan proses panjang Widya Seni untuk mendapat izin melakukan puja di puncak Borobudur terbayar. “Saya sempat meneteskan air mata saat melakukan shan ghong di puncak Borobudur. Hati ini benar-benar terenyuh akhirnya kita bisa kembali naik ke Candi Borobudur,” tulis Widya.
Di puncak Borobudur Widya seperti merasakan hadirnya Buddha dan Bodhisatwa. “Ketika membaca mantra di puncak candi itu, betapa indah dan agungnya Dharma Buddha.
“Saya sangat tersentuh dan bahagia. Karena, jika kita ke Borobudur hanya sekadar naik, dibanding dengan kita melakukan puja, rasanya beda! Kebahagiaan ini tidak bisa diungkapkan dengan kata,” pungkas Widya.
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara