Oleh : Surahman Ana
Foto : Ngasiran dan Surahman Ana
Dusun Krecek, sebuah tempat yang menaungi kehidupan harmonis warga bersama alam yang asri, telah menorehkan sejarah panjang yang mengilhami generasi demi generasi. Di bawah bayang-bayang perbukitan yang menjulang, pepohonan rindang, dan di sisi sumber mata air yang terus mengalir, tradisi dan budaya mereka berkembang kuat, seiring dengan alam yang mereka peluk erat. Dalam perayaan tradisi Merti Dusun, yang selalu diadakan setiap tahun, warga menyatukan diri dalam rasa syukur kepada alam yang telah memberi begitu banyak berkat. Tahun ini, mereka merayakan yang ke-100, dan dikemas dalam sebuah festival megah dengan tema yang penuh makna, “Rahayu Alam Rupa.”
Festival yang berlangsung mulai Sabtu hingga Senin, tanggal 4-6 November 2023, digelar di Pendopo Dusun Krecek, Desa Getas, Kecamatan Kaloran, Temanggung. Acara luar biasa ini juga mendapat dukungan dari Amartha dan BuddhaZine. Selama tiga hari penuh, seni rakyat yang beragam dari berbagai sudut Temanggung menyatu dalam perayaan ini, menghadirkan pesona kaya budaya dan kreativitas masyarakat.
Pada hari pembukaan yang begitu istimewa, para tokoh penting berkumpul untuk merayakan momen ini. Bhikkhu Sangha, sekaligus Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Agama Buddha Indonesia (APTABI) Bhikkhu Ditti Sampanno, turut hadir, bersama dengan Dirjen Bimas Buddha Kementerian Agama RI Supriyadi, Bimas Buddha Provinsi Jawa Tengah Karbono, dan Presiden Festival Lima Gunung Tanto Mendut. Ratusan warga Dusun Krecek dengan penuh semangat hadir dalam pembukaan yang penuh makna ini.
Mbah Sukoyo, Kepala Dusun Krecek, mencerminkan betapa pentingnya Merti Dusun dalam memelihara harmoni antara manusia dan alam. Tema “Rahayu Alam Rupa” adalah pesan khusus bagi generasi muda Dusun Krecek. Dia menyerukan untuk meneruskan tradisi ini sebagai tanda syukur kepada alam dan mengajak semua warga untuk menjaga lingkungan sekitar mereka.
“Para sesepuh sejak jaman dulu telah mewariskan tradisi dan kebudayaan sebagai wujud syukur terhadap alam yaitu Merti Dusun. Marilah, semua masyarakat Dusun Krecek yang pertama yaitu terus menjaga dan melestarikan tradisi ini demi memajukan dusun. Marilah tingkatkan kesadaran dalam menjaga kelestarian alam yang menjadi penyokong kehidupan kita semua. Jagalah sumber-sumber air yang ada, karena itu adalah sumber kehidupan masyarakat Dusun Krecek,” ujar Mbah Sukoyo.
Dia juga mengajak masyarakat untuk menjaga dan melestarikan kebudayaan di Dusun Krecek melalui momen perayaan Merti Dusun. Dengan melestarikan tradisi ini, mereka dapat memperkuat kerukunan dan persatuan, yang pada akhirnya akan meningkatkan ketenteraman dan kesejahteraan masyarakat.
Presiden Festival Lima Gunung, Tanto Mendut, merasa senang bisa hadir dalam acara yang sangat berarti ini. Seperti Mbah Sukoyo, Tanto Mendut mendorong masyarakat untuk tidak meninggalkan tradisi warisan yang sudah melekat pada masyarakat Jawa. Dia juga mengungkapkan kekagumannya terhadap keistimewaan Bumi Jawa, khususnya Temanggung.
“Saya berharap semoga lima tahun, sepuluh tahun yang akan datang saya titip, tradisi Bersih Desa, Nyadran Kali, Nyadran Makam, Merti Dusun, dan lainnya, tradisi ini peliharalah. Soal lingkungan ini tanah Jawa sangat kaya, agamanya apapun, kalau ini bisa dirawat Temanggung adalah tempat yang sangat mutiara dalam konteks Jawadwipa. Ketika Jakarta belum apa-apa, Semarang, Singapura belum ada, New York, Paris belum ada, di sini Liyangan, Borobudur adalah lokasi di Jawa yang sangat luar biasa,” papar Tanto.
Pembukaan festival secara resmi dilakukan oleh Dirjen Bimas Buddha, Supriyadi, dengan pemukulan gong sebanyak lima kali, ditemani para tamu undangan yang hadir. Supriyadi mendorong warga Dusun Krecek untuk terus meningkatkan kesadaran dalam pelestarian alam.
“Kita semua mensyukuri atas alam di mana kita berdiam. Kegiatan Merti Dusun harus dimaknai sebagai upaya menjaga alam, agar alam juga menjaga kita. Ini adalah relasi kehidupan sosial, agar kita terus menyadari dan meningkatkan aktivitas untuk kelestarian alam. Kami mengapresiasi pelestarian tradisi dan kebudayaan untuk melestarikan lingkungan alam ini,” kata Supriyadi.
Acara dilanjutkan dengan penganugerahan Amartha Local Heroes kepada Mbah Sukoyo atas jasanya yang luar biasa dalam merawat dan menjaga sumber-sumber mata air di Dusun Krecek. Sejak 30 tahun yang lalu, Mbah Sukoyo memiliki kebiasaan yang mulia dalam menanami setiap sumber mata air di Dusun Krecek dengan pohon-pohon perdu seperti Pohon Beringin. Kebiasaan ini menjadikan Dusun Krecek tidak pernah mengalami kekurangan air di segala musim, bahkan beberapa sumber mata air dimanfaatkan oleh warga dusun lainnya di sekitar Desa Getas.
“Saya melihat Mbah Sukoyo merupakan salah satu sumber inspirasi bagi para generasi muda atas upayanya dalam melestarikan dan merawat sumber mata air yang ada di Dusun Krecek ini. Semoga penghargaan ini bisa memberikan inspirasi bagi kita semua untuk terus melestarikan lingkungan kita,” kata Arya, perwakilan dari Amartha.
Mengisi pesan Dhamma, Bhante Ditti Sampanno menjelaskan bahwa Merti Dusun adalah wujud merawat alam, baik dengan cara spiritual maupun dengan tindakan nyata. Bhante menekankan bahwa merawat alam harus berlandaskan rasa cinta dan kasih sayang dalam hati.
“Konsep Merti Dusun mengajarkan kita untuk merawat alam dan masyarakat sekitar kita. Ini berawal dari pikiran positif, mengharapkan kebahagiaan bagi semua makhluk, dan kelestarian alam sekitar kita. Dalam Buddhis kita mengenal Sabbe Satta Bhavantu Sukhitatta, semoga semua makhluk hidup berbahagia, ini hendaknya selalu direnungkan supaya menjadi landasan dalam merawat alam dan lingkungan sosial kita,” jelas bhante.
Selain itu, bhante juga mendorong warga untuk menjaga kerukunan dalam masyarakat dengan menjalankan Pancasila Buddhis. Dia percaya bahwa sila adalah senjata untuk merawat lingkungan sosial masyarakat. Dan dalam merawat lingkungan alam, warga harus menumbuhkan rasa syukur atas berkah alam yang selama ini memberi kehidupan pada Dusun Krecek.
“Sebagai wujud syukur terhadap alam dengan cara menjaga kelestarian alam itu sendiri. Ketika kita sudah merasakan keberlimpahan air, kita juga harus menjaga dan merawat sumber mata airnya. Pohon-pohon besar dijaga, jangan ditebangi karena itu menjaga keberlangsungan sumber mata air,” imbuh bhante.
Seusai sambutan dan doa, warga melanjutkan dengan prosesi keliling dusun sambil membawa tiga buah tandu gunungan, diikuti dengan barisan warga yang mengenakan busana adat Jawa. Prosesi ini menandai awal dari serangkaian acara seni yang akan menghiasi festival ini, menjadikan Merti Dusun sebagai perayaan yang tak hanya memelihara tradisi, tetapi juga menginspirasi dan menjaga hubungan erat antara manusia dan alam yang memelihara mereka selama satu abad penuh keindahan. [MM]
=================
Ayo Bantu Buddhazine
Buddhazine adalah media komunitas Buddhis di Indonesia. Kami bekerja dengan prinsip dan standar jurnalisme. Kami tidak dibiayai oleh iklan. Oleh sebab itu, kami membuka donasi untuk kegiatan operasional kami. Jika anda merasa berita-berita kami penting. Mari bordonasi melalui Bank Mandiri KCP. Temanggung 1850001602363 Yayasan Cahaya Bodhi Nusantara